legenda (sastra)

DESA SUMBERDAWESARI
Oleh: Imron Rosidi


            Sekitar abad ke-18 ada seorang putra Brawijaya yang bernama Nasarudin. Ia adalah salah satu warga DIY Yogyakarta yang kabur karena tidak menerima perjanjian Salatiga. Nasarudin kabur ke wilayah timur, tanpa seorang warga dari DIY Yogyakarta mengetahuinya. Ia merantau dari daerah satu ke daerah yang lainnya. Sampai akhirnya ia menetap di suatu kademangan, bernama kademangan Klindungan. Di sana ia banyak memperoleh ilmu. Mulai dari ilmu bela diri sampai ilmu kebatinan.
            Suatu hari Belanda datang untuk menyerang kademangan Klindungan dan sekitarnya. Nasarudin turun ke medan perang untuk bertempur membela rakyat. Pertempuran tidak kunjung redah, terus berlanjut bahkan makin sengit. Korban pun berjatuhan. Banyak wanita melamun, berharap agar suaminya pulang, dan anak-anak menangis mencari ayahnya.
            Belanda kewalahan melawan Nasarudin. Kegigihan dan kesaktian Nasarudin membawa hasil. Belanja meninggalkan wilayah kademangan Klindungan dan sekitarnya. Warga pun senang dan gembira. Mereka juga berterima kasih kepada Nasarudin yang telah menyelamatkan nyawa mereka. Karena kesaktiannya itulah, warga sekitar menjuluki Nasarudin sebagai Wongsopati.
            Nasarudin pindah ke sebuah desa kecil di sebelah timur utara kademangan Klindungan, namanya desa Pilang. Di sana mereka hidup bahagia dan damai. Warga sekitar pun menghormatinya. Mereka menjadikannya orang penting di desa tersebut. Sampai akhirnya ia meninggal di sana. Warga sempat sedih akan kematiannya. Kuburan Nasarudin mereka buat Pesarean untuk menghormatinya.
            Beberapa tahun setelah kematian Nasarudin, desa Pilang pun menjadi kacau balau. Terjadi kejahatan di mana-mana. Mulai dari pencurian, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, bahkan perebutan harta warisan. Desa itu pun berubah. Dari desa yang damai dan tenteram menjadi desa yang kacau balau. Tidak ada sosok seorang pemimpin yang bisa mencegah.
            ‘Desa ini sudah kacau,’kata seorang nenek kepada cucunya.
            ‘Memangnya desa ini dulunya bangaimana, nek ?’kata sang cucu
            ‘Dulu ada Den Nasarudin. Dia sangat sakti, tapi bijaksana. Tidak ada yang berani             menentang. Tapi sekarang tidak ada yang bisa mengganti. Yang jahat semakin             menjadi jahat karena tidak ada yang bisa mencegah,’kata sang nenek seperti             memelas.
            Kejahatan beberapa warga Pilang juga dirasakan desa lain. Mereka resah karena banyak harta benda maupun ternak mereka yang dicuri oleh warga desa Pilang. Mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Kekuatan masyarakat desa Pilang sulit ditandingi.
            Sampai pada suatu hari, hujan begitu deras mengguyur desa Pilang. Masyarakat desa Pilang kalang kabut menyelamatkan diri. Parit-parit sudah meluap. Ibu-ibu dan anak-anak yang tidak berdosa berteriak-teriak histeris meminta tolong.
            ‘Mak ….. Mak …., ‘teriakan itu terdengar di mana-mana.
            Warga Pilang kebingungan. Dalam sekejap desa mereka diratakan oleh air. Banyak warga yang tidak berdosa meninggal. Mulai dari anak-anak sampai orang yang sudah tua menjadi korban massal oleh tragedi itu. Mereka yang selamat tidak tahu harus berbuat apa. Hanya tangisan pilu yang terdengar karena kehilangan harta benda atau sanak saudaranya.
Warga desa Pilang yang selamat tidak ingin terus larut dalam kesedihan. Mereka rela mendapat cobaan dari yang Mahakuasa akibat perbuatannya sendiri. Mereka ingin menatap hidup baru yang penuh arti. Warga yang selamat sepakat untuk mengungsi ke rumah saudara mereka yang berada di desa lain. Mereka yang tidak mempunyai saudara di desa lain, terpaksa harus mengungsi ke sebuah hutan yang bernama Alas Dawe. Warga Pilang yang tinggal di sana harus memulai kehidupan dari awal. Sebelumnya, alas dawe tidak pernah dihuni manusia. Di sana juga tidak ada tempat tinggal dan persediaan makanan. Mereka memulai dengan membangun rumah, membeli makanan dari desa lain, juga bekerja untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari.
            Beberapa tahun kemudian, Alas Dawe berubah menjadi sebuah desa yang bernama desa Dawe dan dipimpin oleh seorang kepala desa yang bernama Pak Sholeh. Banyak warga lain yang datang ke desa Dawe. Letaknya yang strategis dan masyarakatnya yang sangat produktif menjadi daya tarik tersendiri. Sampai akhirnya desa tersebut menjadi desa yang ramai dan banyak warga desa lain yang tinggal di sana.
            Perselisihan antardesa akhirnya terjadi. Perebutan wilayah antara desa Sumber Topeng, desa Dawe, dan desa Jatisari tidak bisa dielakkan. Pertikaian antara ketiga desa tersebut menyebabkan kerusuhan di mana-mana dan memakan banyak korban jiwa. Kehidupan masyarakat pun menjadi tidak tenang. Serangan dari desa lain setiap saat bisa datang secara tiba-tiba.
            Melihat situasi yang demikian, Kades Sholeh berunding dengan Kades Retno (kepala Desa Jatisari) dan Kades Suro (Kepala Desa Sumber Topeng). Ketiga kepala desa tersebut sepakat untuk bersaing secara sehat. Mereka berkumpul di pendopo.
            ‘Bagaimana ini, apa yang dapat kita lakukan,’kata Kades Suro.
            ‘Saya kira, warga desa Suro harus mundur dulu,’kata Kades Retno.
            ‘Tidak bisa, warga Ibu juga sering mengacau di desa saya. Itu yang membuat             jengkel warga desa saya. Begitu pula warga desa Dawe,’Kades Suro membela             diri.
            ‘Baiklah, semua salah dan semua benar. Bagaimana kalau kita selesaikan secara             bijak,’tawar Kades Sholeh.
            ‘Apa yang dapat kita lakukan? Apa kita harus berperang?’kata Kades Suro
            ‘Baiklah, kalau kita harus berperang,’kata Kades Retno lebih sengit.
            ‘Oh, tidak. Itu bukan jalan yang terbaik. Kita adakan pemilihan Kades yang akan             memimpin ketiga desa kita ini. Bagaimana?’kata kades Sholeh menawarkan.
            ‘Baik, saya setuju,’keduanya serempak.
            Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Mereka bertiga mencalonkan diri kembali untuk dipilih oleh warga desa Sumber Topeng, Dawe, dan Jatisari dan yang menjadi pemenangnya akan memimpin ketiga desa tersebut secara bersamaan. Proses pelaksanaannya sendiri berlangsung selama 1 hari 1 malam dan berlangsung secara tertib dan damai.
            Warga desa tetap bergerombol untuk mengetahui pemenangnya. Ada yang santi bercengkerama sambil menggendong anaknya. Ada pula yang menerawang jauh ke depan sambil menghisap dalam-dalam batang rokoknya, bahkan ada yang ingin bertaruh, siapa pemenangnya.
            Pengumuman suara telah dimulai. Setiap jagonya disebutkan, warga bertepuk tangan kegirangan. Dari pengumpulan suara yang diperoleh, Kades Sholeh yang terbanyak. Kades Sholeh ingin ketiga warga desa tersebut hidup rukun. Diumumkanlah bahwa nama ketiga desa tersebut akan dilebur menjadi satu, yaitu desa Sumberdawesari untuk memudahkan dalam penyebutannya. Pusat pemerintahan terletak di Desa Dawe. Sejak itulah kehidupan warga menjadi tenang. Proses kehidupan berjalan dengan baik sampai sekarang ini.

Komentar :

ada 0 komentar ke “legenda (sastra)”

Posting Komentar