keterampilan berbahasa

TINGKAT PEMAHAMAN MEMBACA
Oleh: Imron Rosidi



            Ketika membaca, seseorang berusaha memahami isi pesan penulis yang tertuang dalam bacaan. Pemahaman ini merupakan prasyarat bagi berlangsungnya suatu tindakan membaca. Membaca dikatakan tidak berlangsung apabila tidak ada pemahaman pada diri pembaca. Pemahaman terhadap isi bacaan tersebut memiliki beberapa tingkatan. Bagaimana tingkatannya?
            Tingkat pemahaman dalam membaca dapat dibedakan berdasarkan kekompleksan kognitif dalam memahami bacaan. Burn, dkk (1996) dan Syafi’ie (1993) mengemukakan dua tingkatan pemahaman membaca, yaitu pemahaman literal dan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman tingkat tinggi mencakup pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif. Pemahaman kritis dan kratif dapat digolongkan ke dalam pemahaman evaluatif. Hafni (1981) dan Tollefson (1989) mengklasifikasikan pemahaman membaca atas lima tingkatan, yaitu: pemahaman literal, reorganisasi, inferensial, evaluasi, dan apresiasi.
            Pemahaman literal adalah kemampuan menangkap informasi yang dinyatakan secara tersurat dalam teks. Pemahaman literal merupakan pemahaman tingkat paling rendah, tetapi jenis pemahaman ini tetap penting karena dibutuhkan dalam proses membaca secara keseluruhan. Untuk bisa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, pembaca harus melalui tingkat pemahaman literal. Untuk meletakkan detail secara efektif, pembaca membutuhkan beberapa arahan tentang jenis detail yang menjadi syarat dari pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, misalnya pertanyaan siapa untuk menanyakan nama orang, pertanyaan di mana untuk menanyakan tempat, pertanyaan kapan untuk menanyakan tahun, dan seterusnya. Cochran (1991:16) menjelaskan bahwa pemahaman literal mencakup rincian yang terdapat teks, rujukan kata ganti, dan urutan peristiwa dalam cerita.
            Pemahaman literal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan mengenali kembali dan mengingat kembali informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Kemampuan mengenali kembali (recognition) adalah kemampuan mengidentifikasi atau menunjukkan informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Kemampuan ini mencakup beberapa hal, yaitu: mengenali kembali rincian-rincian, ide-ide utama, urutan, perbandingan, hubungan sebab-akibat, dan karakter tokoh yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Selanjutnya, kemampuan mengingat kembali adalah kemampuan mengingat kembali informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Kemampuan ini mencakup: mengingat kembali rincian, ide utama, suatu urutan, perbandingan, hubungan sebab-akibat, dan karakter tokoh yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks.
            Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemahaman literal merupakan prasyarat untuk tingkat pemahaman yang lebih tinggi, yaitu membaca untuk memperoleh detail isi bacaan secara efektif. Pemahaman ini dimaksudkan untuk memahami isi bacaan secara efektif. Pemahaman ini dimaksudkan untuk memahami isi bacaan seperti yang tertulis pada kata, kalimat, dan paragraf dalam teks bacaan. Pemahaman literal menuntut kemampuan ingatan tentang hal-hal tertulis dalam teks.
            Tingkat pemahaman yang kedua adalah pemahaman interpretatif, yang menurut Hafni (1981) dan Tollefson (1989) sebagai pemahaman reorganisasi dan inferensial. Pemahaman interpretatif adalah pemahaman makna antarkalimat atau makna tersirat atau penarikan kesimpulan teks. Pemahaman interpretatif merupakan proses memperoleh gagasan-gagasan yang diimplikasikan oleh teks, bukan yang bisa langsung ditemukan dalam teks. Membaca pemahaman interpretatif mencakup penarikan kesimpulan tentang gagasan utama dari suatu teks, hubungan sebab akibat yang dinyatakan secara tidak langsung dalam teks, rujukan kata ganti, rujukan kata keterangan (adverb), dan kata-kata yang dihilangkan. Pemahaman interpretatif juga mencakup pemahaman suasana hati pelaku yang terdapat dalam cerita (mood of a passage) tujuan penulis cerita tersebut, dan makna bahasa figuratif (Burn, dkk., 1996).
            Cochran (1991) menyebut pemahaman interpretatif sebagai pemahaman inferensial. Dia mengemukakan bahwa pemahaman inferensial mencakup beberapa keterampilan membaca, yaitu keterampilan menghubungkan cerita dengan pengalaman pribadi, keterampilan menemukan gagasan utama, menemukan hubungan sebab-akibat yang dinyatakan secara tidak langsung dalam suatu cerita, mengampil kesimpulan, memprediksikan kelanjutan dari suatu teks setelah membaca sebagian dari teks tersebut, serta keterampilan menemukan persamaan dan perbedaan dua hal. Dengan kata lain, pembaca bisa menemukan persamaan dan perbedaan yang tidak dinyatakan secara langsung dalam suatu teks, misalnya persamaan dan perbedaan karakter tokoh yang terdapat dalam cerita.
            Jenis pemahaman yang tertinggi adalah pemahaman evaluatif. Pemahaman evaluatif merupakan kemampuan mengevaluasi materi teks. Pemahaman evaluatif terdapat dalam kegiatan membaca kritis. Pemahaman pembaca berada pada tingkat ini apabila pembaca mampu membandingkan gagasan-gagasan yang ditemukan dalam teks dengan norma-norma tertentu dan mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan teks. Pemahaman kritis bergantung pada pemahaman literal, pemahaman interpretatif, dan pemahaman gagasan penting yang dimplikasikan (Burn, dkk., 1996).
            Pemahaman evaluatif munurut Cochran (1991) mencakup kemampuan menilai atau memutuskan yang berkenaan dengan (1) menganalisis karakter dan latarnya, (2) menilai apakah cerita atau gambar riil atau hasil imajinasi penulis, (3) meringkas alur cerita, (4) menilai apakah sebuah fakta atau opini, (5) memahami cara penulis menggambarkan suasana hati tokoh melalui pelukisan fisik dan psikologis para tokoh, dan (6) memahami cara penulis meyakinkan pembaca melalui pernyataan yang diungkapkannya.
Dengan demikian, membaca evaluatif (membaca kritis) merupakan kegiatan membaca yang bertujuan untuk memahami isi bacaan. Pembaca tidak saja menginterpretasi maksud penulis, tetapi juga menilai apa yang disampaikan penulis.
            Pemahaman kritis ditandai oleh kemampuan membandingkan isi bacaan dengan pengalaman pembaca sendiri, mempertanyakan maksud penulis, dan mereaksi secara kritis gaya penulis dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya (Syafi’ie, 1993:49). Terkait dengan pendapat Syafi’ie, Cochran (1993) mengemukakan bahwa membaca kritis merupakan wilayah belajar sangat kecil atau bahkan tidak ada kaitannya dengan jawaban benar atau salah. Membaca kritis lebih mengarah pada kesan-kesan, suasana hati dan penilaian tentang cara atau alasan seseorang menulis suatu karya. Menurut Cochran, kegiatan membaca kritis mencakup: (1) menganalisis karakter dan latarnya, (2) meringkas alur cerita, (3) membedakan fakta dengan opini, (4) menangkap suasana hati suatu bacaan, dan (5) memahami tujuan penulis.
            Jenis pemahaman lainnya adalah pemahaman apresiasi (Hafni, 1981 dan Tollefson, 1989). Pemahaman apresiasi merupakan untuk mengungkapkan respon emosional dan estetis terhadap teks yang sesuai dengan standar pribadi dan standar profesional mengenai bentuk sastra, gaya, jenis, dan teori sastra. Pemahaman apresiasi melibatkan seluruh dimensi kognitif yang terlibat dalam tingkatan pemahaman sebelumnya. Dalam pemahaman apresiasi, pembaca dituntut juga menggunakan daya imajinasi untuk memperoleh gambaran yang baru melebihi apa yang disajikan penulis. Hal ini berarti bahwa pembaca dituntut merespon teks secara kreatif.
            DePorter dan Hernacki (1992) memberikan beberapa kiat dalam rangka meningkatkan pemahaman pembaca yang berkorelasi terhadap kemampuan membaca cepat seseorang. Kiat-kiat tersebut adalah (1) jadilah pembaca aktif, (2) bacalah gagasan, bukan kata-katanya, (3) libatkan indra, (4) ciptakan minat, dan (5) Buat Peta Pikiran dari Materi Bacaan. Untuk menjadi pembaca aktif, seorang pembaca tidak boleh melupakan dengan enam kata tanya: siapa? kapan? di mana? apa? mengapa? dan bagaimana? Ketika membaca, usahakan keenam pertanyaan tersebut dapat terjawab.
            Kiat yang kedua adalah bacalah gagasan, bukan kata-katanya. Satu-satunya cara untuk dapat “memahami gagasan” dalam sebuah bacaan adalah dengan membaca kata-kata dalam konteks yang berhubungan. Apabila yang dibaca kata demi kata, otak pembaca harus bekerja lebih keras untuk mengartikannya. Selain itu, pembaca harus dapat mengoptimalkan fungsi indra, terutama indra mata.
            Sebelum membaca, bertanyalah kepada diri sendiri “Mengapa aku perlu membaca bacaan ini?” Setelah itu, mulailah dengan melihat sekilas tentang bacaan itu dan menyingkirkan informasi yang kurang dibutuhkan. Untuk kiat yang terakhir, pembaca perlu membuat peta pikiran dengan menggunakan pembagian topik yang telah dibaca. Bacalah sekali lagi secara menyeluruh dan isilah detail-detail yang penting untuk diingat.

kajian bahasa

KALIMAT AMBIGU TIDAK BAKU
Oleh: Imron Rosidi


            Kebakuan kalimat tidak cukup memenuhi kaidah dan logis maknannya. Kalimat baku harus terhindar dari ambiguitas, artinya makna kalimat tersebut tidak mendua. Makna kalimat tersebut harus jelas sehingga semua pembaca memiliki pemahaman yang sama terhadap makna kalimat yang dibacanya. Coba kita perhatikan kalimat iklan yang berbunyi “Arkarin dapat menghilangkan kulit yang gatal.” Kalimat tersebut seakan-akan sudah baku. Kalimat itu memiliki unsur subjek Arkarin, predikat dapat menghilangkan, dan objek kulit yang gatal. Mengapa dikatakan kalimat tidak baku? Bagaimanakah maknanya?
            Kalimat iklan di atas seakan-akan ada obat yang bisa menghilangkan kulit yang gatal. Bagaimanakah jadinya kalau obat itu menghilangkan kulit? Padahal, kalimat itu menyiratkan bahwa ada obat yang bisa menghilangkan gatal, bukan menghilangkan kulit. Kalimat itu seharusnya berbunyi “Arkarin dapat menghilangkan gatal pada kulit.” Mengapa sebuah kalimat memiliki makna ambigu?
Keambiguan sebuah kalimat disebabkan beberapa hal, antara lain: (1) subjeknya tidak jelas, (2) keterangan yang jauh dari kata yang diterangkan. Perhatikan kalimat-kalimat berikut.
a. Imron sedang merayakan hari Ulang Tahun anaknya yang kelima. (padahal anak pak     Imron hanya dua).
b. HUT Kemerdekaaan RI ke-65.
c. Sakit pada mulut dan kerongkongan yang ringan mudah diobati.
            Kalimat (a) ambigu karena kata kelima jauh dengan kata ulang tahun. Apanya yang kelima, anaknya ataukah ulang tahunnya. Kalau yang kelima itu anaknya, maka kalimat itu benar, tetapi apabila yang dimaksud dengan kelima itu ulang tahunnya, maka kalimat itu seharusnya berbunyi “Imron sedang merayakan ulang tahun yang kelima buat anaknya. Bagaimanakah dengan kalimat (b) dan (c)? diskusikan!

kajian bahasa

KALIMAT BAKU
Oleh: Imron Rosidi


            Sebuah kalimat mungkin berterima, tetapi bukan kalimat baku. Begitu pula sebaliknya, ada pula kalimat baku, tetapi tidak berterima. Kalimat baku mengacu kepada ketepatan kaidah gramatikal, sedangkan keberterimaan mengacu pada seringnya kalimat tersebut dalam komunikasi di masyarakat. Masyarakat tidak mempedulikan apakah kalimat tersebut baku atau tidak. Masyarakat hanya mementingkan kekomunikatifan antara penutur dengan mitratutur. Mengapa demikian?
            Ada beberapa kriterika kalimat baku. Kalimat baku memiliki ciri: (1) sesuai dengan kaidah ejaan dan tanda baca, (2) tidak ambigu, (3) maknanya logis, (4) tidak mengandung kata yang tidak baku, dan (5) tidak bertele-tele. Kelima ciri tersebut saya uraikan di bawah ini.
            Dalam bahasa tulis, sebuah kalimat dikatakan baku apabila memenuhi kaidah yang berlaku, misalnya diawali dengan huruf besar dan diakhiri dengan tanda baca (?), (.), atau (!). Sebuha kalimat secara gramatikal harus mengandung unsur S dan P pada kalimat intransitive dan S P O pada kalimat transitif. Dengan demikian, kalimat yang berbunyi “ Dalam rapat itu membicarakan kenakalan siswa.” Tidak baku karena tidak mengandung unsur subjek. Kalimat tersebut berpola K P O. Kalimat itu seharusnya berbunyi “Dalam rapat itu dibicarakan kenakalan remaja.” Atau “Dalam rapat itu, peserta membicarakan kenakalan remaja.” Bagaimanakah dengan kalimat “Kendaraan harap turun?”
            Kalimat tersebut dari segi kaidah benar. Kalimat itu berpola kendaraan (P), harap turun (S). Dengan demikian, dari segi kaidah, kalimat tersebut baku. Akan tetapi, logiskah kalimat tersebut? Kalimat itu tidak baku karena tidak logis maknanya. Bisakah kendaraan sebagai benda mati turun. Kata turun berarti berpindah dari ketinggian ke tempat yang lebih bawah. Kalimat itu seharusnya berbunyi “Pengendara harap turun.” Setujukah Anda?

pembelajaran bahasa

PEMBELAJARAN MEMBACA CEPAT
DENGAN SOFTWARE SPEED READING
DI SMK NEGERI 2 PASURUAN


Oleh: Imron Rosidi, M.Pd 


Pengantar
            Berbagai informasi di era globalisasi saat ini semakin mudah diterima dan semakin gencar masuk ke negara kita. Hal ini disebabkan semakin bervariasi dan canggihnya media informasi. Hasil-hasil penelitian serta kemajuan ilmu dan teknologi begitu cepat dipublikasikan dan disebarkan. Satu judul buku tentang suatu masalah yang menjadi perhatian kita belum sampai separuhnya dibaca telah disusul judul buku baru, apalagi sejak kemunculan internet. Padahal, waktu yang kita miliki sampai saat ini tetap, 24 jam setiap harinya, tidak terus bertambah seperti informasi tersebut. Akibatnya, banyak informasi yang tidak sempat kita serap. Hal ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah kecepatan membaca kita yang masih perlu ditingkatkan.
            Membaca merupakan suatu proses dinamis untuk merekonstruksi suatu pesan yang secara grafis dikehendaki oleh peneliti (Goodman 1996). Dalam perkembangan studi membaca dikenal tiga pandangan tentang proses membaca. Pandangan pertama biasa disebut dengan pandangan kuno. Pandangan ini menganggap membaca sebagai proses pengenalan simbol-simbol bunyi yang tercetak (Harris dalam Olson, 1982). Pandangan kedua, membaca sebagai suatu proses pengenalan simbol-simbol bunyi yang tercetak dan diikuti oleh pemahaman makna yang tersurat (Carrol dalam Olson, 1982). Pandangan ketiga disebut pandangan modern, membaca bukan sekadar pemahaman dan pengenalan simbol tercetak saja, tetapi lebih jauh, yaitu sebagai proses pengolahan secara kritis.
            Mengenai cara membaca dikenal empat macam, yaitu: reguler (biasa), melihat dengan cepat, mengilas, dan kecepatan tinggi. Pertama, cara membaca reguler (biasa). Kedua, cara membaca melihat dengan cepat (Skimming). Ketiga, cara membaca melihat sekilas (Scanning), dan keempat cara membaca kecepatan tinggi (Warp Speed).
            Kemampuan membaca cepat seseorang harus dibarengi dengan kemampuan memahami isi bacaan. Seseorang dapat dikatakan memahami isi bacaan secara baik apabila ia dapat (a) mengenal kata-kata atau kalimat yang ada dalam bacaan atau mengetahui maknanya, (b) menghubungkan makna, baik konotatif maupun denotatif yang dimiliki dengan makna yang terdapat dalam bacaan, (c) mengetahui seluruh makna tersebut atau persepsinya terhadap makna itu secara kontekstual, dan (d) membuat pertimbangan nilai isi bacaan yang didasarkan pada pengalamannya.
            Kemampuan membaca cepat seseorang bisa ditingkatkan. Pada saat mulai belajar membaca di sekolah dasar dipelajari huruf-hurufnya, lalu menghubungkan huruf menjadi kata, selanjutnya menjadi kalimat tanpa mengeja huruf demi huruf. Untuk meningkatkan kecepatan membaca, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan mitos yang berbunyi: (1) membaca itu sulit, (2) tidak boleh menggunakan jari ketika membaca, (3) Membaca harus dilakukan dengan mengeja kata per kata, dan (4) harus membaca perlahan-lahan supaya dapat memahami isinya.

PENGERTIAN MEMBACA CEPAT
            Membaca cepat adalah perpaduan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitif seseorang dalam membaca. Membaca cepat merupakan perpaduan antara kecepatan membaca dengan pemahaman isi bacaan. Kecepatan membaca yang seseorang harus seiring dengan kecepatan memahami bahan bacaan yang telah dibaca.
            Ketika kita membaca cepat suatu bacaan, tujuan sebenarnya bukan untuk mencari kata dan gambar secepat mungkin, namun untuk mengidentifikasi dan memahami makna dari bacaan tersebut seefisien mungkin dan kemudian mentransfer informasi ini kedalam memori jangka panjang dalam otak kita. Kemampuan membaca cepat merupakan keterampilan memilih isi bacaan yang harus dibaca sesuai dengan tujuan, yang ada relevansinya dengan pembaca tanpa membuang-buang waktu untuk menekuni bagian-bagian lain yang tidak diperlukan.
            Dalam membaca cepat terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat pula. Pemahaman inilah yang diperioritaskan dalam kegiatan membaca cepat, bukan kecepatan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa membaca lambat akan meningkatkan pemahaman, bahkan orang yang biasa membaca lambat untuk mengerti suatu bacaan akan dapat mengambil manfaat yang besar dengan membaca cepat. Sebagaimana pengendara mobil, seorang pembaca yang baik akan mengatur kecepatannya dan memilih jalan terbaik untuk mencapai tujuannya.             Kecepatan membaca seseorang sangat tergantung pada materi dan tujuan membaca, dan sejauh mana keakraban pembaca dengan materi bacaan.

MEDIA BERLATIH MEMBACA CEPAT
            Dalam Kegiatan Belajaran Mengajar (KBM), siswa selalu berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru melalui proses pembelajaran. Lingkungan belajar tersebut meliputi tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, dan metodologi pembelajaran. Dalam metodologi pembelajaran, ada dua aspek yang paling menonjol, yaitu metode pembelajaran dan media pembelajaran sebagai alat bantu pembelajaraan.
Media yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca cepat siswa bisa menggunakan transparansi yang dibantu dengan OHP. Media ini memiliki manfaat antara lain (1) pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa, (2) materi pembelajaran lebih jelas maknannya sehingga siswa lebih menudah memahami, (3) metode pembelajaran lebih bervariasi, dan (4) pembelajaran terfokus kepada siswa dengan melakukan berbagai aktivitas.
            Media pembelajaran membaca cepat yang dapat digunakan dalam meningkatkan kemampuan membaca cepat terbagi atas dua jenis, yaitu (1) media pembelajaran membaca cepat untuk pelatihan awal, dan (2) media pembelajaran membaca cepat untuk pengukuran. Kedua jenis media ini diuraikan secara rinci sebagai berikut.
1) Media Pelatihan Awal
            Media pembelajaran membaca cepat yang digunakan untuk pelatihan awal memiliki berbagai variasi. Variasi media pelatihan membaca cepat ini bertujuan untuk (1) melatih gerak mata siswa (fiksasi), (2) melatih konsentrasi, (3) melatih persepsi siswa, dan (4) melatih daya ingat. Keempat variasi media pelatihan awal ini disampaikan kepada siswa sebelum dilakukan pengukuran membaca cepat siswa secara utuh.
Media pelatihan awal membaca cepat yang bertujuan untuk melatih gerak mata memiliki dua variasi. Media pertama berupa dua lingkaran kecil dalam satu garis horizon yang memiliki jarak yang berbeda dalam setiap barisnya. Siswa perlu melihat lingkaran tersebut secara cepat tanpa menggerakkan kepala.
            Media yang kedua berupa urutan angka maupun abjad yang diacak dalam sebuah kotak (persegi panjang). Di dalam persegi panjang berikut terdapat dua puluh enam huruf (A – Z) dan angka 1 – 50. Siswa perlu menarik secepat mungkin garis yang menghubungkan huruf atau angka yang ada secara berurutan dengan cepat dan dicatat waktu tempuhnya dengan mengurangi waktu selesai baca dengan waktu mulai baca.
            Media pelatihan awal membaca cepat yang bertujuan untuk melatih konsentrasi siswa berupa urutan gambar yang disusun secara vertikal dengan jumlah yang berbeda. Bentuk gambar yang disusun secara vertikal tersebut disesuaikan dengan kebutuhan siswa atau yang biasa ditemui siswa di sekolah. Tanpa menggunakan jari, siswa menghitung jumlah gambar dengan durasi waktu tidak lebih dari 30 detik dan menuliskan pada lingkaran yang tersedia.
            Media pelatihan awal lainnya bertujuan untuk melatih persepsi siswa. Media ini berbentuk deretan kata yang disusun secara horisontal maupun vertikal. Siswa mencoret atau berusaha menemukan kata yang sama dengan kata kunci yang telah ditentukan.             Selanjutnya, media pelatihan awal yang bertujuan untuk melatih daya ingat siswa berupa serangkaian gambar maupun angka yang ditunjukkan secara cepat (tidak lebih dari 30 detik) kepada siswa, selanjutnya siswa menggambarkan kembali.
            Dari berbagai media pelatihan awal tersebut diharapkan siswa memiliki kemampuan dalam menggerakkan mata dan memiliki daya ingat yang cukup baik.
Media Pengukuran Kemampuan Membaca Cepat Siswa
            Sesesorang yang sedang membaca cepat sebuah bacaan hendaknya dapat mengondisikan otak bekerja lebih cepat sehingga konsentrasi akan lebih membaik secara otomatis. Dengan demikian, kemampuan membaca cepat merupakan kemampuan seseorang dalam memadukan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitifnya atau pemahaman isi bacaan melalui menjawab pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan.
            Di negara-negara maju, khususnya Amerika, telah dilakukan penelitian tentang kecepatan membaca siswa dalam setiap jenjang pendidikan. Kecepatan membaca siswa Amerika untuk setingkat SD/Diniyah di Indonesia adalah 140 kpm, setingkat SLTP/MTs adalah 140 s.d 175 kpm, setingkat SMA/SMK/MA adalah 175 s.d 245 kpm, dan setingkat perguruan tinggi 245 s.d 280 kpm. Untuk kaum profesional, kecepatan membacanya bisa mencapai 500 kpm.
Untuk mengukur kemampuan membaca cepat siswa, ada dua aspek yang perlu diukur, yaitu aspek kecepatan membaca dan aspek pemahaman. Aspek kecepatan membaca dapat diukur dengan jumlah kata dalam bacaan yang dibaca dibagi dengan selisih antara waktu akhir baca dengan awal baca, sedangkan pemahaman dihitung dengan membagi skor yang diperoleh siswa dengan skor maksimal yang bisa didapat siswa. Hasil perkalian antara kecepatan membaca dengan pemahaman menghasilkan kecepatan efektif membaca (KEM).
Media pembelajaran untuk mengukur kemampuan kecepatan membaca cepat siswa tentunya berupa sebuah bacaan dan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pemahaman siswa. Bacaan dapat diambil dari berbagai media informasi, baik media elektronik maupun nonelektronik.
            Media pembelajaran membaca cepat yang bersifat manual ini tentunya membutuhkan tenaga lebih dari para guru, terutama dalam mengoreksi hasil pemahaman siswa. Hal ini bisa diatasi dengan penggunaan software membaca cepat. software ini telah penulis buat dan sampai saat ini belum penulis hak patentkan, tetapi sudah penulis uji cobakan.
Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Cepat dengan Software Speed Reading
            Kemampuan membaca cepat merupakan kemampuan seseorang dalam memadukan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitifnya atau pemahaman isi bacaan melalui menjawab pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan. Untuk itu, untuk meningkatkan kemampuan membaca cepat, seseorang harus dapat meningkatkan kemampuan motorik dan kemampuan kognitifnya.
            Kemampuan motorik dapat ditingkatkan dengan selalu berlatih viksasi. Pelatihan viksasi dapat dilakukan dengan cara: (1) senam mata yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan motorik (melihat lingkaran hitam, mengurutkan abjad dan angka, membaca per kelompok kata, mendata kata yang sama), (2) meningkatkan kemampuan kognitif dengan melatih daya ingat (mengingat angka, mengingat gambar), dan (3) terus berlatih membaca cepat (membaca bacaan dan menjawab pertanyaan.
            Dengan demikian, tidak ada kata lain untuk meningkatkan kemampuan membaca seseorang selain berlatih terus menerus dan menjadikan kegiatan membaca sebauh budaya, bukan dipaksakan. Tanpa membaca kita akan menjadi orang yang kerdil, buta pengetahuan luar, dan kurang dapat bersosialisasi. Ingat, informasi terus berjalan dengan derasnya, sedangkan waktu kita tetap dapat setiap harinya, yaitu 24 jam per hari. Untuk itu, tingkatkan kemampuan membaca cepat Anda.

kajian bahasa

PEMBOMAN ATAU PENGEBOMAN
Manakah yang Baku?

Oleh: Imron Rosidi


            Setelah tiga tahun tenang dari aksi teroris, pada 17 Juli 2009 kita tersentak dengan meledaknya dua bom di dua tempat yang berbeda. Akibatnya, 9 orang yang tidak berdosa tewas. Padahal, mungkin saja orang-orang tersebut bukan sasaran utama. Dia hanya korban kebiadaban orang-orang yang tidak beratnggung jawab. Masalahnya, kedua orang yang meledakkan dirinya di dua tempat tersebut melakukan pemboman ataukah pengeboman?
            Kata pemboman ataupun pengeboman berasal dari kata bom. Kata ini hanya memiliki satu suku kata yaitu bom, seperti halnya kata tik, las, cat, dan lap. Kata-kata tersebut memiliki perlakuan berbeda dengan kata-kata yang memiliki lebih dari satu suku kata, misalnya sapu, pukul, bangun, jual apabila mendapatkan imbuhan. Kata-kata tersebut ada yang mengalami peluluhan, ada juga yang tidak apabila mendapat imbuhan peN- atau pun peN-an.
            Kata-kata yang diawali dengan fonem /k/,/p/,/t/,/s/ akan mengalami pelulusan apabila dilekati imbuhan meN- maupun peN-/peN-an, misalnya peN- + sapu menjadi penyapu, peN-an –kata + kapur menjadi mengapuran, meN- + tulis menjadi menulis, dan peN-an + pukul menjadi pemukulan. Kaidah ini tidak berlaku apabila kata yang dilekati masih terasa asing atau berkonsonan rangkap, misalnya: survay menjadi pen-survay, berbeda apabila survai sudah disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia penulisannya, maka akan menjadi penyurvai. Kata yang dilekati imbuhan peN-an juga tidak bisa mengalami peluluhan apabila berkonsonan rangkap, misalnya transfer menjadi pentarsferan, struktur menjadi penstrukturan, dan sebagainya. Bagaimanakah dengan pemboman dan pengeboman?
            Kata yang hanya memiliki satu suku kata tidak akan mengalami peluluhan meskipun diawali dengan konsonan /k/,/p/,/t/,/s/. Imbuhan peN-an akan menjadi penge-an apabila melekat dengan kata yang terdiri atas satu suku kata, misalnya cat menjadi pengecatan bukan pencatan, las menjadi pengelasan bukan pengelasan. Begitu juga dengan kata tik, apabila mendapatkan imbuhan peN-an bukan menjadi penikan karena luluh atau pentikan, tetapi menjadi pengetikan. Dengan demikian, kata bom apabila mendapat imbuhan peN-+an akan menjadi pengeboman, bukan pemboman.

kajian bahasa

PERBEDAAN INDIVIDUAL
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Oleh: Imron Rosidi



1. Pendahuluan
            Setiap individu memiliki variabel-variabel perbedaan abilitas. Keberhasilan pembelajaran bahasa terkait erat dengan variabel-variabel perbedaan individual tersebut. Variabel-variabel abilitas individual terbagi atas dua klasifikasi yaitu abilitas kognitif dan abilitas afektif/konatif. Abilitas kognitif meliputi intelegensi, bakat, kecepatan, dan pengaktifan ingatan (kapasitas kerja memori), sedangkan abilitas afektif/konatif mencakup kecerdasan, motivasi dan emosi.
            Proses perolehan bahasa kedua menglami kendala dan ketidakleluasaan. Hal ini terlihat saat terjadi periode kritis pembelajaran bahasa kedua dan pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa. Efek periode kritis terhadap pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh pengetahuan bawaan (innate) dan mekanismenya.
            Berkait dengan hal di atas, dalam makalah ini dibahas pemikiran teoritis dan penelitian empiris tentang aspek-aspek perbedaan individual dalam pembelajaran bahasa kedua dan kondisi pembelajaran di kelas pembelajaran bahasa kedua yang mencakup intelegensi, motivasi, kecemasan, bakat bahasa, pengaktifan ingatan, dan usia.


2. Intelegensi
    2.1. Teori  Succesfull  Intelegence  dan  Implikasinya  bagi  Pengujian  antara           Kecemasan dan Bahasa

    Gadner (2003) menyebutkan kecerdasan sebagai biopsikologi, artinya makhluk hidup memiliki potensi untuk menggunakan sekumpulan bakat kecerdasan bahasa. Kecerdasan bahasa bukanlah salah satu kuantitas tetap, namun melibatkan berbagai aspek. Banyak peneliti psikologi yang mempelajari intelegensi percaya adanya bukti pandangan konvensional psikometrik yang menempatkan kemampuan umum (g = general) pada puncak hierarki, kemudian abilitas di bawahnya yang lebih mengecil secara suksesif. Konstruk successfull intelegence lebih baik dalam menangkap sifat fundamental kemampuan manusia.
    Abilitas mental disusun secara hierarkis di bawah faktor general berdasarkan pada tingkat spesifik lebih besar secara suksesif. Sebutan intelegensi sebagai adaptasi lingkungan dan dioperasionalkan secara sempit dalam tes intelegensi kurang memadai. Sebaliknya, sebutan successfull intelegence mempertimbangkan abilitas untuk mencapai keberhasilan hidup, mempertimbangkan adanya standar personal dalam konteks sosio budaya. Abilitas orang untuk mencapai keberhasilan tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan kekuatan atau kelebihannya dan mengkoreksi atau mengimbangi kelemahannya melalui suatu keseimbangan kemampuan analitis, kreatif, dan praktis guna mengadaptasi, membentuk, dan menyeleksi lingkungan. Setiap orang mempunyai pola kemampuan yang berbeda sehingga dirinya akan berhasil belajar bahasa ketika cara mereka sesuai dengan pola kemampuannya.

    2.2. Intelegensi yang Belum Memadai
    Intelegensi bukan suatu konstruk unitary sehingga teori-teori yang didasarkan pada sebutan intelegensi general masih belum memadai. Pola korelasi positif di antara tes abilitas mencerminkan keterbatasan interaksi di antara individu yang diuji, jenis tes yang digunakan untuk menguji, dan situasi tempat yang individu diuji.
    Masalah teori-teori general-ability, Gardner (1999) mengusulkan model multiple-intellegences yang memandang intelegensi meliputi tujuh (sekarang delapan) multiple intellegences, yaitu: linguistic, logika-matematika, spatial, musical, bodily-kinetik, interpersonal, intrapersonal, dan (sekarang) naturtalistik. Gardner menambah dengan intelegensi eksistensi dan spiritual yang disebut candidate intelegen. Teori ini dapat diterapkan pada persoalan kecerdasan (aptitude) dalam belajar bahasa asing. Intelegensi linguistic dapat dimasukkan dalam pembelajaran bahasa asing. Semua bahasa memerlukan beberapa ukuran intelegensi logika-matematika, khususnya bahasa latin yang melibatkan tingkat analisis yang tinggi. Teori ini memberi kontribusi penting bagi literatur mengenai intelegensi karena memisahkan diri dari g theory. Namun teori ini masih problematik: pertama, meskipun teori ini diusulkan 20 tahun lalu namun masih belum ada studi yang dirancang untuk menghimpun bukti empiris; kedua, bukti yang mendukung interkorelasi setidaknya d iantara beberapa abilitas dalam teorinya (misal: spatial dan logika matematika) begitu membingungkan sehingga dibahas Gardner hanya dengan memberi label paper-and-pencil test sebagai hal yang kurang penting (travial); dan ketiga, kriteria yang digunakan Gardner untuk mengidentifikasikan intelegensi perlu dikaji ulang, khususnya dalam kaitannya dengan candidate intellegences.
    Apakah intelegensi itu. Menurut Binet (dalam Dedy, 1982) intelegensi paling tidak memiliki tiga aspek kemampuan yaitu kemampuan untuk memecahkan suatu persoalan, kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap pemecahan masalah, dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri. Intelegensi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
    Intelegensi yang dibutuhkan dalam mencapai keberhasilan hidup dan belajar bahasa asing meliputi aspek analitis, kreatif, dan praktis. Menurut usulan teori intelegensi manusia dan perkembangannya (Sternberg 1997) sejumlah proses umum mendasari tiga aspek intelegensi: meta komponen atau proses eksekutif, merencanakan apa yang harus dilakukan, memonitor hal-hal ketika sedang berbuat, dan mengevaluasi hal-hal setelah menyelesaikan pekerjaan. Contoh meta komponen; seorang pembelajar bahasa asing dalam pelajaran pengantar harus menentukan apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, bagaimana menguji pengetahuannya, dsb. Intelegensi analitik terlibat ketika komponen-komponen intelegensi diterapkan untuk menganalisis, mengevaluasi, menentukan, atau membandingkan dan membedakan.
    Intelegensi kreatif diperlukan apabila muncul masalah baru. Menurut teori seccesfull inteligen, intelegensi kreatif diukur dengan kemampuan untuk menilai masalah, yaitu seberapa baik individu dalam menghadapi masalah yang relatif baru (baik yang bersifat convergen atau divergen). Penelitian kreativitas menunjukkan sejumlah perbedaan dan perkembangan individu: 1) Seberapa jauh pemikiran individu bersifat baru? 2) Apa mutu pemikiran baru? dan 3) Seberapa jauh pemikiran individu memenuhi tuntutan tugas? Skill berfikir kreatif dapat diajarkan.
    Intelegensi praktis melibatkan individu untuk menerapkan kemampuannya menghadapi berbagai macam masalah dalam kehidupan sehari-hari, seperti masalah di rumah atau di tempat kerja. Intelegensi praktis meliputi penerapan komponen-komponen intelegensi terhadap pengalaman untuk: (a) beradaptasi, (b) membentuk, dan (c) menyeleksi lingkungan. Adaptasi terlibat ketika orang mengubah dirinya untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Banyak upaya intelegensi praktis berpusat pada konsep pengetahuan yang tidak diucapkan (Tacit Knowladge) (yaitu pengetahuan yang dibutuhkan orang agar dapat bekerja secara efektif dalam suatu lingkungan yang tidak diajarkan secara eksplisit dan sering tidak bersifat verbal: Sternberg 1986). Tacit knowledge dapat dihadirkan dalam bentuk sistem produksi, atau sekuensi statemen “jika-maka” yang menjabarkan produser yang diikuti orang dalam bermacam situasi sehari-hari. Umumnya, tacit knowledge diukur dengan menggunakan masalah yang berkaitan dengan upaya mengatasi masalah. Intelegensi yang terjelma dalam tacit knowledge meningkat seiring dengan bertambahnya pengalaman. Skill intelegensi dapat diajarkan melalui program pengajaran skill intelektual praktis.

    2.3. Evaluasi Perkembangan Teori Intelegensi
    Faktor-faktor akademik. Banyak psikolog yang disebutkan dalam buku mengenai faktor g menerima model konvensional dan tes intelegensi. Mengapa mereka mendukung teori dan tes tersebut jika data tidak mendukungnya? Jawabannya tergantung pada data yang terpilih. Terdapat banyak bukti bahwa:
a) Tes intelegensi konvensional menghasilkan faktor umum dan
b) Tes tersebut memprediksi banyak variasi hasilnya di sekolah, tempat kerja, dan dalam aspek lain kehidupan orang di sekolah, di tempat kerja, dll. Namun faktor general hanya bersifat general dalam kaitannya dengan aspek akademik atau analitik intelegensi. Ketika kita memasukkan abilitas kreatif dan praktis dalam penilaian, faktor umum hilang. Argumen ini menyatakan bahwa tes konvensional kurang sempurna. Di bidang intelegensi masih perlu banyak diteliti untuk menguji generalisasi tsb.
    Faktor-faktor societal. Mengapa tes konvensional cukup lama dipertahankan? Terdapat beberapa alasan. Pertama, tes konvensional telah siap ada untuk: (a) gangguan mental, (b) kelemahan dalam belajar, (c) memasuki sekolah swasta, (d) memasuki college, (e) memasuki sekolah professional dan sekolah graduate, dan penggunaan lainnya. Kedua, training dalam penggunaan tes tradisional cukup mudah karena diberikan secara turun-temurun. Ketiga, jenis skill yang diukur oleh tes konvensional menjadi bahan bagi prestasi sekolah.
    Sistem tertutup. Menurut Herrnstein dan Murray (1994), dalam tes konvensional intelegensi disebutkan bahwa sekitar 10% variasi rata-rata dalam berbagai macam hasil yang ada dalam dunia nyata. Gambaran tersebut menyatakan bahwa terdapat banyak orang yang mampu terabaikan karena berbagai abilitas yang dimilikinya (meskipun penting bagi performa kerja) tidak cukup penting bagi performan tes. Misalnya, jenis skill kreatif dan praktis yang menjadi salah satu kunci (matter) keberhasilan kerja umumnya tidak diukur pada tes yang digunakan untuk ujian masuk. Sistem tertutup dapat dikonstruksi untuk menilai hampir seluruh kumpulan atribut apapun. Di sebagian masyarakat, sistem kasta masih digunakan. Para anggota kasta tertentu dimungkinkan untuk naik kasta di atasnya sedangkan kasta lain tidak dapat.


3. Motivasi dalam Belajar Bahasa Kedua
            Motivasi ialah usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu bergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya (Depdikbud, 1998). Menurut Brown (1981), motivasi merupakan suatu kemudi, gerak hati, emosi, atau maksud yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Motivasi merupakan energi yang tersembunyi dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan (Hamid, 1985). Hamid juga menjelaskan bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang melakukan tindakan tertentu.
            Menurut Hamid (1985), motivasi berfungsi mengaktifkan, mengarahkan perilaku pada tujuan, dan membantu seseorang memilih dan memberikan respon yang akurat. Ausubel (dalam Brown, 1981) menyebutkan bahwa ada enam kebutuhan pokok manusia yang membentuk motivasi, yaitu (a) kebutuhan untuk mengeksplorasi suatu objek, (b) kebutuhan untuk memanipulasi objek, (c) kebutuhan untuk bertindak, baik yang bersifat fisik maupun mental, (d) kebutuhan terhadap stimulasi, baik dari lingkungan, orang, atau oleh ide, pikiran, dan perasaan, (e) kebutuhan untuk mengetahui seseuatu sebagai kelanjutan dari kebutuhan eksplorasi, memanipulasi, bertindak, dan stimulasi untuk menjawab kontradiksi atau problem yang selanjutnya akan dimasukkan ke dalam sistem pengetahuan, dan (f) kebutuhan untuk meningkatkan diri. Faktor lain yang menimbulkan motivasi adalah (a) kebutuhan primer yang merupakan kebutuhan fisik, misalnya udara, air, makan, dan (b) kebutuhan sekunder misalnya keamanan, identitas, dan penghargaan diri (Maslow, 1970 dalam Brown, 1981).
            Dalam pembelajaran bahasa kedua, motivasi termasuk salah satu faktor afeksi yang dapat menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Gardner dan Lambert (1972), dalam penelitiannya tentang peranan motivasi dan sikap terhadap penguasaan bahasa Inggris sebagai B2 di Kanada menemukan bahwa di samping intelegensi dan bakat, terdapat faktor lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan belajar bahasa Inggris sebagai B2, yaitu motivasi dan sikap.
            Dilihat dari sumbernya, motivasi dibedakan menjadi dua, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrisik (Winkel, 1987). Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar diri pembelajar. Adapun motivasi intrisik merupakan motivasi yang bersumber dari dalam diri pembelajar.
    3.1. Pendekatan Sosio-Edukasional
    Teori motivasi belajar menurut pendekatan Sosio-edukasional dikemukakan oleh Gardner. Menurut Gardner, motivasi melibatkan empat elemen, yaitu (a) tujuan, (b) hasrat untuk mencapai tujuan, (c) sikap positif, dan (d) usaha.
    Dalam model Gardner terdapat empat bagian utama, yaitu: (a) lingkup sosio-kultural, (b) perbedaan individual, (c) konteks pemerolehan bahasa, dan (d) out-comes belajar bahasa (perhatikan gambar). Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel kognitif dan afektif pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan bahasa, dan kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi, bakat bahasa, dan strategi belajar bahasa.
    Menurut Gardner, motivasi dapat dibedakan menjadi motivasi integratif dan motivasi instrumental. Yang pertama mencakup kemauan yang dimiliki pembelajar bahasa untuk mempelajari bahasa sasaran dengan didorong oleh keinginannya untuk dapat menggunakan bahasa sasaran tersebut demi keperluan berkomunikasi dengan masyarakat bahasa target. Di samping itu pembelajar ingin dihargai oleh kelompok atau masyarakat bahasa target tersebut. Motivasi instrumental adalah kemauan dan keinginan untuk mempelajari bahasa sasaran yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk keperluan atau tujuan tertentu, misalnya untuk memperoleh suatu pekerjaan atau mengembangkan karier.
    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa motivasi integratif dan motivasi instrumental berpengaruh terhadap penguasaan B2. gardner dan Lambert (1960) dalam penelitiannya tentang motivasi anak-anak yang belajar bahasa Perancis di Montreal memperoleh hasil bahwa motivasi integratif bagi anak-anak yang belajar bahasa Perancis di Montreal lebih kuat daripada motivasi instrumental. Jadi motivasi integratif sangat penting untuk mengembangkan keterampilan komunikasi. Dalam situasi yang lain, motivasi integratif memiliki skor lebih rendah daripada motivasi instrumental. Lukmani (1972) yang meneliti pembelajaran bahasa Inggris di India dan Kashru (1977) yang meneliti anak-anak Indian yang belajar bahasa Inggris menunjukkan bahwa motivasi instrumental pembelajar lebih kuat daripada motivasi integratifnya (dalam Brown, 1981).
    Perhatian Gardner yang utama adalah mengarah pada motivasi integratif. Menurut Gardner, motivasi integratif memiliki tiga variabel utama, yaitu (1) sikap terhadap situasi belajar, (2) keintegratifan, dan (3) motivasi. Motivasi integratif dapat dibedakan menjadi dua, (a) integrativeness dan (b) motivasi. Integrativeness merefleksikan tingkat interes individual dalam interaksi sosial dengan kelompok bahasa target dan sikap terhadap situasi belajar.
    Gardner mengemukakan bahwa efek motivasi integratif pada pembelajar bahasa sebagian besar merupakan hasil dari komponen motivasi. Komponen tersebut merupakan kombinasi dari intensitas motivasional, minat untuk belajar bahasa, dan sikap terhadap bahasa. Menurut Gardner, pembelajar yang bermotivasi berusaha menggunakan bahasa, adapun yang tidak bermotivasi tidak menunjukkan usaha yang besar.
    Perbedaan individu beroperasi dalam situasi belajar formal dan informal dan memberikan out-come baik linguistik dan non-linguistik. Situasi formal merupakan situasi pembelajaran dalam kelas. Situasi non-formal merupakan konteks pemerolehan bahasa dalam berinteraksi dengan berbagai pihak. Dalam hal ini motivasi memainkan peran substansial dalam pajanan individu pada situasi yang memberikan kesempatan untuk belajar bahasa.
    Keberadaan emosi sebagai variabel dalam belajar B2 kurang mendapat perhatian dalam belajar B2. Tomkin memberikan argumen bahwa faktor afektif dikonsepsikan sebagai motivasi utama. Emosi berfungsi sebagai pengeras (amplifier), yang memberikan intensitas, urgensi, dan energi untuk menggerakkan tindakan.

    3.2 Kecemasan Bahasa
    Kecemasan bahasa masuk sebagai variabel dalam model sosio-edukasional Gardner. Kecemasan merupakan permulaan dari motivasi. Gardner dan MacIntyre menyatakan bahwa motivasi dan kecemasan merupakan dua variabel yang berhubungan secara timbal balik. Richard Clemant mengusulkan suatu model kombinasi kecemasan dan persepsi diri tentang kemampuan berbahasa untuk menciptakan kepercayaan diri yang dipandang sebagai proses motivasi kedua.
    Hubungan antara kecemasan dan kemampuan B2 memunculkan pertanyaan tentang arah sebab. Apakah kecemasan menyebabkan miskin performansi ataukah sebaliknya. macIntyre dan Gardner melakukan penelitian untuk melihat efek kecemasan terhadap proses kognitif. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap (a) tahap input, (b) tahap proses, dan (c) tahap output. Kelas dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Selama studi, kelas kelompok eksperimen dipasang kamera. Pada awalnya, kecemasan subyek sangat meningkat dan performansinya sangat kecil. Setelah mereka beradaptasi dengan kamera, kecemasan menghilang dan terjadi peningkatan performansi. Hal itu mendukung ide bahwa kecemasan mengganggu proses atau aktifitas kognitif.
    Dengan berkurangnya kecemasan, usaha untuk menampilkan performansi meningkat, yang berarti menunjukkan hubungan antara emosi dan motivasi. Kecemasan dapat menjadi penyebab perbedaan individual dalam capaian bahasa. macIntyre meringkas penelitian tentang efek kecemasan bahasa dalam empat bidang (a) akademik, (b) kognitif, (c) sosial, dan (d) personal.
Akademik. Kecemasan bahasa berkorelasi negatif dengan hasil belajar. Meneliti sikap, motivasi, dan kecemasan di berbagai lokasi dan menemukan bahwa kecemasan secara konsisten merupakan prediktor terkuat bagi hasil belajar bahasa (language course grades).
Kognitif. Sumber pengaruh akademik dapat dijelaskan dengan melihat gangguan berpikir yang diakibatkan oleh kecemasan.
Sosial. Efek sosial yang paling dramatik dari kecemasan adalah keseganan/keengganan untuk berkomunikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Daly & McCroskey (1984) menampakan bahwa menghindari komunikasi melahirkan sejumlah persepsi sosial yang negatif.
Personal. Secara personal, kecemasan dapat menimbulkan trauma dalam belajar bahasa. Kecemasan seseorang dalam belajar bahasa di lain pihak juga memiliki andil dalam membentuk konsepsi diri tentang bahasa, kegiatan belajar-mengajar bahasa, dan keberhasilan belajar.

    3.3 Aspek-aspek Motivasi untuk Melaksanakan Tugas
    Apa yang dimaksud dengan tugas? Tugas dalam kegiatan instruksional merupakan bagian terpisah dari perilaku belajar dalam situasi tertentu. Spesifikasi terpenting dari tugas adalah identifikasi tentang batas-batas yang menentukan kapan suatu tugas berawal dan berakhir. Dalam konteks ini, tugas-tugas belajar dimaknai sebagai jumlah operasi mental dan perilaku yang kompleks dengan mengacu pada tujuan-tujuan tertentu yang dilakukan mahasiswa selama periode antara awal pelajaran sampai dengan hasil akhir belajar. Tugas belajar merupakan hubungan antara tujuan pendidikan, guru, dan mahasiswa.
    Tremblay, Golberg, dan Gardner (1995) membedakan trait motivation dan state motivation. Trait motivation merupakan watak atau kecenderungan yang tetap atau stabil, sedangkan state motivation bersifat temporal. Pembedaan ini telah diterapkan pada psikologi yang berkenaan dengan sejumlah variabel perbedaan individu. Meskipun pendekatan trait/state dapat digunakan untuk mengkonseptuaisasi motivasi pelaksanaan tugas, ia mempunyai kelemahan sebagai konsepsi yang statik. Tugas instruksional mencakup seperangkat perilaku pembelajaran yang dapat bertahan/menghilang dalam tempo tertentu (beberapa jam). Berbeda dengan pendekatan trait/state, karakteristik yang lebih akurat diberikan melalui pendekatan berorientasi proses yang dijelaskan berikut ini.

    3.4 Motivasi dari Perspektif Orientasi Proses
    Pendekatan berorientasi proses mencoba menerangkan perubahan-perubahan motivasi yang terus terjadi sepanjang waktu. Dari perspektif ini, motivasi tidak dipandang sebagai atribut yang statis, tetapi merupakan faktor yang dinamis, memperlihatkan fluktuasi dan pasang-surut yang terus menerus.
    Dari perspektif temporal, terdapat tiga tahap proses motivasi.
(1) Tahap Pra-Aksi
Pertama-tama, motivasi perlu dibangkitkan. Dimensi motivasi pada tahap permulaan ini berhubungan dengan pemilihan motivasi sebab motivasi yang dibangkitkan ditujukan pada pemilihan tujuan atau tugas yang ingin dicapai.
(2) Tahap Aksi
Kedua, motivasi yang dibangkitkan perlu dipelihara dan dipertahankan secara aktif. Dimensi motivasi ini disebut motivasi eksekutif dan secara khusus relevan dengan kegiatan belajar dalam setting kelas, yang kepada pembelajar dipajangkan sejumlah berbagai pengaruh yang mengganggu, misalnya kecemasan terhadap tugas, kelelahan fisik, gangguan dari orang lain. Gangguan-gangguan tersebut membuat seorang pembelajar tidak dapat dengan mudah menyelesaikan suatu tugas.
(3) Tahap Pos-Aksi
Tahap ketiga mengikuti penyelesaian aksi yang disebut sebagai retrospeksi motivasi. Pada tahap ini pembelajar mengevaluasi apa yang telah dilakukan. Pembelajar meninjau ulang pengalamannya yang baru lalu sehingga menimbulkan motivasi dalam melaksanakan kegiatan selanjutnya.
    Dari ketiga tahap tersebut, tahap kedua tampaknya merupakan tahap paling penting dalam model berorientasi proses ini. Pembelajar memasuki tahap kedua dengan penuh motivasi dan dengan segera menimbulkan pengaruh yang kuat dalam proses pelaksanaan tugas. Hal itu melibatkan dua submekanisme yang saling berkaitan, yaitu (a) penilaian yang terus menerus dan (b) kontrol aksi.
    Selama melaksanakan tugas, pembelajar secara kontinu menilai berbagai stimulus yang datang dari lingkungan dan menilai kemajuan yang dicapai menuju hasil aksi. Proses penilaian ini terkait dengan mekanisme yang kedua (kontrol aksi) yang mengacu pada pengetahuan dan strategi yang digunakan untuk menggunakan sumber-sumber kognitif dan non-kognitif dalam rangka mencapai tujuan (Carno & Kanfer, 1993). Pemprosesan motivasi dipandang sebagai sistem kontrol dan penilaian. Kekuatan utama pendekatan berorientasi proses adalah dapat menginterprestasikan dan mengintegrasikan bermacam-macam faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku belajar mahasiswa dalam seting kelas.
    Dornyei meneliti hubungan perbedaan individual dengan performansi bahasa Inggris. Variable perbedaan individual mencakup subvariabel sikap dan motivasi dengan tujuh aspek, yaitu (a) integrativeness, yaitu kecenderungan positif terhadap masyarakat penutur B2 yang mencakup perhatian terhadap kehidupan, budaya, dan keinginan untuk mengadakan kontrak dengan mereka, (b) Nilai insentif kemampuan berbahasa Inggris adalah faktor yang terkait dengan berbagai keuntungan dari kemampuan ber-B2, (c) sikap terhadap pelajaran bahasa Inggris, (d) kepercayaan diri dalam kaitannya dengan penguasaan linguistik, (e) kecemasan penggunaan bahasa, (f) sikap terhadap tugas, (g) keinginan untuk berkomunikasi. Variabel performansi bahasa mencakup dua subvariabel, yaitu jumlah ujaran yang diukur berdasarkan jumlah kata dan jumlah giliran.
    Subjek penelitian terdiri atas 44 mahasiswa Hongaria yang belajar bahasa Inggris dengan mengintegrasikan empat kemahiran berkomunikasi. Data tentang performasi bahasa diambil dengan cara: subjek diberi tugas berbicara/dialog argumentatif untuk memecahkan masalah tertentu. Subjek bekerja secara berpasangan. Mula-mula mereka diberi masalah dan secara individual diminta merumuskan cara pemecahannya. Selanjutnya, mereka diminta berkompromi dengan cara bernegoisasi. Data tentang motivasi dan sikap diperoleh melalui angket. Perekaman terhadap performansi pembelajaran direkam selama kelas bahasa Inggris berlangdung lalu ditranskripsikan.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) adanya hubungan antara sikap terhadap tugas dengan variabel-variabel perbedaan individual lainnya, utamanya (a) sikap terhadap pelajaran, (b) integrativeness, dan (c) kecemasan menggunakan B2. (2) Sikap adanya hubungan positif antara variabel bahasa dengan aspek (a) sikap terhadap pelajaran dan (b) sikap terhadap tugas, (3) Adanya hubungan signifikan antara kepercayaanan dengan jumlah ujaran. (4) Adanya hubungan positif yang signifikan antara kemauan untuk berkomunikasi dengan jumlah giliran, tetapi tidak dengan jumlah kata, (5) Pada kelompok dengan skor sikap tinggi, jumlah ujaran berkorelasi dengan sangat signifikan dengan (a) integrativeness dan (b) kepercayaanan dan jumlah giliran mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan nilai insentif. Adapun pada kelompok dengan skor sikap rendah tidak terlihat hubungan yang signifikan, (6) Pada kelompok dengan skor sikap rendah hanya ditemukan satu hubungan yang signifikan dengan variabel bahasa, khususnya jumlah ujaran dengan sikap terhadap pelajaran, (7) Terdapat pengaruh motivasi terhadap tugas dibentuk oleh partisipan dalam pelaksanaan tugas, (8) Motivasi terhadap situasi yang spesifik ataupun lebih umum memberikan kontribusi terhadap motivasi pelaksanaan tugas.


4. Bakat Bahasa
            Van Els, dkk berpendapat bahwa ada asumsi yang diyakini sebagai sesuatu yang khusus dengan nama yang berbeda-beda seperti: “talenta”, “kecakapan khusus”, “pemberian” atau “bakat” untuk belajar bahasa kedua yang dimiliki sejumlah pembelajar, yang relatif berbeda dengan yang lain, sebagai penanda perbedaan individual dalam keberhasilan belajar bahasa kedua. Neufeld dalanm van Els (1987) berdasarkan observasinya menyimpulkan bahwa bakat linguistik tetap eksis karena tanpa hal tersebut belajar bahasa yang kita kenal ini sungguh tidak mungkin terwujud. Semua anak normal lahir dengan kemampuan belajar bahasa.
            Bakat bahasa secara tradisional didefinisikan sebagai kemampuan untuk berhasil dalam belajat bahasa asing berdasarkan pengajaran atau pengalaman. Penelitian yang berkaitan dengan bakat berlanjut terus untuk mendukung empat hipotesis berikut.
(1) Bakat bahasa adalah stabil secara tipikal, dan tidak renta pada pelatihan jangka pendek;
(2) Bakat  terdiri  dari beberapa kemampuan kognitif yang berbeda (seperti kemampuan      penanda fonemik, kepekaan gramatika, alur kemampuan mengingat dan kemampuan      belajar induktif bahasa);
(3) Bakat  adalah  independen secara parsial dari kemampuan kognitif lain sebagaimana      intelegensi umum;
(4) Bakat secara umum memiliki korelasi tinggi dan konsisten dengan profisiensi bahasa      kedua, diperoleh secara formal dan informal, daripada perbedaan variabel kepemilikan      individual lain semacam gaya kognitif dan personalitas.
            Pimsleur membedakan tiga komponen bakat bahasa yaitu (1) inteligensi verbal, (2) motivasi, dan (3) kemampuan mendengar (auditori). Inteligensi verbal mencakup dua hal yaitu pengetahuan tentang kosa kata dan kemampuan bernalar secara analitik tentang materi verbal. Motivasi berkaitan dengan kekuatan, keinginan yang merupakan faktor independen dalam belajar bahasa kedua. Kemampuan auditori adalah kemampuan mengidentifikasi faktor tunggal yang tersembunyi pada inti kemampuan belajar bahasa kedua yang secara independen berhubungan dengan inteligensi dan motivasi.
            Penelitian Skehan (1980) yang berfokus pada memori, salah satu aspek dari bakat multidimensional, dan mencari korelasi antara nilai skor keragaman tes memori dan pengukuran lain dari keberhasilan pembicara dewasa bahasa Inggris dalam belajar bahasa Arab. Berdasarkan analisis data (1986a) Skehan menemukan dua tipe perbedaan keberhasilan pembelajar bahasa: secara relatif, kelompok muda bergantung pada memori dan kelompok usia tua lebih bergantung pada kemampuan analitik.
            Penelitian asal bakat dengan menguji hubungan antara tiga karakter tersembunyi: pengembangan bahasa pertama, bakat, dan keberhasilan bahasa asing. Dari penelitian ini Skehan menemukan korelasi positif dan signifikan antara beberapa indikasi bahasa pertama dan sejumlah bakat. Menurut penelitian mereka dikatakan bahwa perbedaan individual dalam bakat belajar bahasa berpengaruh pada kesuksesan belajar bahasa bagi anak dan orang dewasa dalam beberapa cara.
            Peter Robinson menemukan bahwa bakat menunjukkan pengaruh pada belajar insidental, khususnya kaidah lokatif terhadap penundaan sembilan bulan postes dan sangat kuat berkaitan pada semuanya.
    4.1 Kritik terhadap Bakat Bahasa
    Kajian terhadap bakat bahasa menjadi berkurang dengan beberapa alasan. Pertama, bakat bahasa asing dipersepsi sebagai anti-legalitarian. Bakat yang dijadikan dukungan nilai individual sangat tidak tepat (berkurang). Daripada bergulat dengan pengukuran bakat bahasa, lebih baik mengekploisasi keefektifan pengajaran. Kedua, bakat secara khusus ketinggalan jaman dibanding dengan metode audilingual. Dewasa ini pendekatan komunikatif sangat berpengaruh serta penelitian pemerolehan bahasa kedua yang memperkenalkan proses pemerolehan bahasa. Dengan demikian, bakat tampaknya tidak relevan dan lebih mengarah pada kelas pembelajaran model lama. Ketiga, temuan tentang bakat hanya penting bagi kritik akademik (ilmiah). Guru bahasa (Inggris) tidak begitu tertarik pada keberadaan perbedaan di antara pembelajar.

    4.2 Pemikiran “Baru”
    Akhir-akhir ini, kajian terhadap bakat bahasa mulai marak. Para peneliti berusaha memadankannya dengan tahapan pemerolahn bahasa kedua. Tahapan makro pemerolehan bahasa seperti perhatian (noticing), pemolaan (patterning), pengontrolan (controlling), dan pengataan (lexicalizing) senantiasa berkaitan dengan komponen bakat seperti kemampuan pengkodean fonemik, kepekaan gramatika, dan belajar induktif bahasa.
    Dengan demikian, penelitian kembali tentang bakat bahasa kedua menjadi relevan karena (1) pandangan tradisional terhadap bakat masih relevan bagi linguistik terapan dan pemerolehan bahasa kedua, dan (2) walaupun tidak komprehensif, kajian terhadap bakat bahasa dapat menambah pemahaman tentang cara-cara yang signifikan dalam belajar mengajar bahasa.


5. Pengaktifan Ingatan
            Dalam bidang psikologi kognitif/psikolinguistik, sebuah hal penting yang menjadi bahan kajian adalah pengaktifan ingatan (selanjutnya PI) dalam kaitannya dengan input verbal selama belajar bahasa kedua. Temuan penelitian dalam PBK tampaknya menunjukkan bahwa perbedaan individual dalam PI dapat berpengaruh pada beberapa perbedaan performansi dan pemerolehan bahasa kedua.
            Selama penelitian PI dan PBK yang telah dilakukan telah memfokuskan pada peranan ingatan jangka pendek fonologis, pengoperasian konstruk sebagai kemampuan mengulangi input fonologis secara tepat. Temuan-temuan umumnya mendukung pentingnya peranan ingatan jangka pendek fonologis. Penelitian eksperimental juga menunjukkan bahwa ingatan jangka pendek fonologis memainkan peranan dalam belajar butir-butir leksikal baru. Banyak peneliti menganjurkan bahwa ingatan jangka panjang fonologis tidak saja mencakup pemerolehan leksikal tetapi juga dalam pemerolehan kaidah gramatikal.
            Robinson (1995) berpendapat bahwa pemusatan perhatian berhubungan dengan perbedaan individual dalam kapasitas PI. Hal yang sama diungkapkan oleh Scmidt (2000) bahwa setidaknya faktor bakat, kapasitas PI terkait erat dengan perhatian. Pakar lain juga berpendapat bahwa untuk sebuah model dari PI yang dalam kapasistas PI mengacu pada pengontrolan perhatian dari bentuk gangguan, perbedaan individu dalam kapasitas PI yang merefleksikan perbedaan individual dan pengontrolan perhatian. Perhatian adalah hal yang krusial bagi pembelajaran, para pakar berkeyakinan bahwa pembelajaran tidak akan berlangsung baik tanpa perhatian (Schmidt 1990; 1993; 1995).
            Penelitian yang Alison, dkk dalam Robinson (2002) menegaskan bahwa terdapat hubungan antara PI dengan perhatian. Temuan ini mendukung kajian teoritis keterkaitan kapasitas PI, hasil pemprosesan input dan efektivitas pencarian eksistensi pengetahuan skematik. Walaupun demikian, interaksi umpan balik tidak hanya ditentukan oleh kapasitas PI tetapi juga oleh faktor lain seperti kepekaan gramatika dan faktor psiko-sosial.
            Sehubungan dengan pengaktifan ingatan, Su’udi (1990) berpendapat bahwa prinsip-prinsip ingatan dapat dimanfaatkan untuk menunjang pengajaran atau pembelajaran bahasa. Prinsip itu adalah (1) pengulangan berperan penting dalam menguatkan penyimpanan, (2) kebermaknaan membantu memudahkan penyimpanan dan pengingatan, (3) perhatian pembelajar menentukan besar kecilnya informasi yang ditangkap, (4) organisasi informasi berpengaruh terhadap penyimpanan maupun pengingatan, dan (5) penggambaran memudahkan penyimpanan dan pengingatan.

6. Usia
            Pengaruh usia terhadap belajar bahasa kedua telah menjadi isu kontroversial yang hingga saat ini masih tetap menjadi perdebatan. Pada saat kita mendiskusikan, “Landasan Konseptual dan Empiris Belajar Mengajar Bahasa Kedua”, persoalan usia telah disinggung-singgung. Dari sisi biologi, neurology Penfils dan Roberts (1959) berpendapat bahwa kemampuan anak yang lebih besar untuk belajar sebuah bahasa dapat dijelaskan oleh kelenturan otak. Anak yang telah berusia 10 tahun memiliki kemampuan yang baik dalam mengakuisisi bahasa, sedangkan kelenturan otak orang dewasa akan berkurang seiring dengan pertambahan usia. Lenneberg berpendapat bahwa belajar bahasa dapat terjadi antara umur 2 tahun dan pubertas. Anak-anak belajar bahasa kedua secara intuitif tanpa dukungan kesadaran, sedangkan anak setelah pubertas lebih menggunakan intelektual (dalam Robinson, 2002). Dari sejumlah penelitian didapatkan bukti-bukti bahwa usia di atas pubertas umumnya tidak memperoleh kemahiran dalam pelafalan seperti penutur asli karena berkurangnya kelenturan otot alat bicara (Ellis, 1986).
            Penelitian Rosansky dan Krasen dalam Ellis (1986) menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan kognitif menyebabkan pembelajar yang lebih tua lebih berhasil dalam aspek bahasa kedua yang lebih kompleks (morfologi dan sintaksis) daripada anak-anak. Demikian juga penelitian Taylor dan Schuman dalam Ellis (1986) menyimpulkan bahwa emptik anak permulaan pubertas lebih besar daripada orang dewasa sehingga tidak terhalangi belajar bahasa kedua. Harley dan Hart berpendapat bahwa kemampuan analitik lebih berkaitan dengan hasil belajar bahasa kedua pada usia remaja dan dewasa daripada pajanan pertama pada anak-anak. Hal ini ditemukan dalam penelitian DeKeyser yang berkesimpulan bahwa kemampuan analitik bahasa pada usia remaja memiliki pengaruh kuat dalam belajar bahasa kedua di lingkungan alami.
            Berdasarkan penelitian Saukah (2003) terhadap kemampuan bahasa Inggris para mahasiswa baru PPS-UM (pen.: angkatan 2002), walaupun tidak terlalu signifikan, diperoleh informasi bahwa mahasiswa baru yang berusia lebih muda umumnya cenderung memiliki kemampuan bahasa Inggris lebih baik daripada mahasiswa baru yang lebih tua.

Kesimpulan
            Teori-teori konvensional dan tes intelegensi masih belum sempurna sehingga perlu teori baru (teori succesfull intellegences) yang lebih lengkap. Kita perlu berusaha melampaui sebutan konvensional dalam menguji kecerdasan bahasa. Ada beberapa cara yang perlu dilakukan: pertama, menguji kemampuan kreatif dan praktis dalam belajar bahasa, kedua perlu analisis lebih rinci terhadap skor umum kecerdasan bahasa; dan perlu memikirkan penggunaan testing yang dinamik yang terjadi bersamaan dengan pengajaran sehingga pihak peneliti dapat menilai kemampuan belajar.
            Motivasi merupakan suatu usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu bergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan. Dalam belajar B2, motivasi termasuk salah satu faktor afeksi yang menentukan keberhasilan kegiatan belajar selain intelegensi dan bakat bahasa. Perbedaan individu dalam situasi belajar. (di luar kelas maupun di dalam kelas) berkait dengan motivasi akan memberikan dan berkontribusi terhadap hasil belajar bahasa. Atas dasar itu, belajar bahasa harus dilandasi dengan motivasi yang kuat. Motivasi memberikan energi yang besar untuk belajar atau melaksanakan tugas-tugas belajar.
            Setiap individu memiliki bakat bahasa yang berbeda. Bakat bahasa sebagai aspek pembelajaran bahasa kedua memiliki kedudukan yang sangat penting. Antara bakat bahasa dan pencapaian pemerolehan bahasa memiliki korelasi tinggi dan konsisten. Bakat bahasa dapat diperoleh melalui aktivitas formal dan informal. Tanpa adanya bakat bahasa, belajar bahasa tidak akan terwujud.
            Pengaktifan ingatan adalah hal yang penting dalam belajar bahasa kedua. Dalam pemprosesan pemahaman, pengaktifan ingatan merupakan bagian yang mendasar. Untuk mengaktifkan ingatan (jangka pendek dan jangka panjang) secara maksimal dalam pembelajaran bahasa perlu adanya dorongan, pemusatan perhatian, dan pengontrolan.
            Walaupun masih terdapat kontroversial antara usia dan pemerolehan pembelajaran bahasa, namun kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Dari berbagai hasil penelitian terhadap usia dan pemerolehan bahasa ditentukan bahwa pada usia anak-anak, usia muda, masa pubertas, dan usia tua memiliki ciri-ciri yang spesifik. Belajar bahasa dapat dimulai ketika anak berusia dua tahun. Ketika anak berusia 10 tahun memiliki kemampuan yang baik dalam mengakuisi bahasa. Pada orang dewasa, kemampuan untuk belajar bahasa akan berkurang.

Daftar Pustaka
Brown, H.D. 1981. Affective Factors in Second Language Learning dalam Alatis (et.al)             The Second LanguageClassroom: Direction for Th 1980’s. New York: Oxford             University Press.
Dornyei, Z. 2002. The Motivational Basis of Language Learning Tasks. Dalam Robinson,             P (Ed.). 2002. individual Differences and Instructed Language Learning.             Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition. New York: Oxford             University Press.
Gardner, R.C. dan Lambert, W.E. 1972. Attitude and Motivation in Second Language             Learning. Rowley, Mass: Newbury House.
Gardner, H. 2003. Kecerdasan Majemuk Teori dalam Praktik. Alih bahasa Alexander             Sindoro. Batam: Interaksara.
Hamid, A. J. 1985. Psikulujiyah Al-Ta’allum wa Nazhariyatul Ta’allum. Al-Qohirah:             Darun Nahdhah Almisriyah.
MacIntyre, P.D. 2002. Motivation, anxiety and Emotion in Second Language             Acquisition. Dalam Robinson, P (Ed.). 2002. Individual Differences and             Instructed Language Learning. Amsterdam/Philadephia: John Benjamins             Publishing Company.
Robinsin, P (Ed.). 2002. Individual Differences and Instructed Language Learning.             Amsterdam/Philadephia: John Benjamins Publishing Company.
Saukah, Ali. 2003. Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia: Tinjauan Terhadap Unjuk             Kerja Pembelajar serta Upaya Peningkatannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar             FS UM. Malang: Universitas Negeri Malang.
Su’udi, Astini. 1990. Ingatan dan Bahasa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Van Els, Theo et. al. 1987. Applied Linguistic and the Learning and Teaching of Foreign             Languages. London: Edward Arnold.

kajian bahasa

BEBAS PARKIR ATAUKAH PARKIR GRATIS
Oleh: Imron Rosidi



            Istilah bahasa Indonesia dikenal sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dengan ikrar pemuda yang ketiga, yaitu menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sejak itulah bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat komunikasi antarsuku. Sebagai negara yang memiliki berbagai suku tentunya sangat dibutuhkan bahasa nasional. Dengan demikian diharapkan tidak terjadi saling menang-menangan tentang bahasa yang akan digunakan ketika terjadi komunikasi antarpemakai bahasa yang berbeda suku. Dia akan langsung menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi. Masalahnya sekarang, dengan relatif mudanya umur bahasa Indonesia menyebabkan kosa kata bahasa indonesia juga tidak terlalu kaya seperti bahasa Jawa. Untuk itu diperlukan kelapangdadaan bahasa Indonesia dalam menerima kosa kata baru dari bahasa Asing maupun bahasa daerah.
            Bahasa asing saat ini sangat besar peranannya dalam memperkaya kosa kata bahasa indonesia. Bahasa Asing tersebut meliputi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, bahasa Arab sebagai bahasa yang dibawa oleh penyebar agama islam ke indonesia, bahasa Belanda sebagai bahasa penjajah bangsa kita, bahasa Jepang sebagai bahasa teknologi, bahasa Cina dengan kosa kata berbagai jenis makanan, dan bahasa Portugis. Semua kosa kata dari bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa indonesia tidak bisa langsung, tetapi melalui saringan, yaitu: adopsi, adaptasi, kreasi, dan terjemahan.
            Kosa kata asing yang memiliki kaidah ejaan yang sama dengan bahasa indonesia bisa langsung diserap tanpa perubahan, atau melalui saringan yang bernama adopsi, misalnya bus (bahasa Inggris) dan jadwal (bahasa Arab). Proses adaptasi adalah penyerapan kosa kata asing melalui penyesuaian sebagian karena tidak sesuai dengan kaidah ejaan bahasa indonesia, misalnya komputer berasal dari kata computer (Inggris), karier dari kata carier (Inggris). Proses terjemahan adalah penyerapan bahasa asing melalui proses penerjemahan, misalnya: garis polisi dari police line (Inggris), dan proses kreasi adalah penyerapan kosa kata asing melalui pengambilan makna atau konsepnya, misalnya makanan siap saji dari fash food (Inggris). Bagaimanakah dengan kosa kata free parking?
            Kosa kata free parking memiliki makna parkir tanpa membayar. Tentunya, kata ini tidak bisa diserap dengan terjemahan karena akan memiliki makna yang berbeda dengan makna sesungguhnya. Kalau diterjemahkan, kata ini diserap sebagai bebas parkir atau parkir bebas. Kata bebas parkir bermakna tidak ada parkir, tetapi kenyataannya justru di tempat tersebut banyak pengendara yang memarkirkan sepeda motor maupun mobilnya. Perhatikan makna gabungan kata bebas dosa, bebas asap rokok, jalan bebas hambatan, tentunya bermakna tidak punya dosa, tidak ada asap rokok atau tidak boleh merokok, dan jalan tanpa hambatan atau jalan tol. Dengan demikian, gabungan kata free parking diserap ke dalam bahasa Indonesia bukan melalui terjemahan.

kebahasaan

CARA MENULIS ABSTRAK
Oleh: Imron Rosidi


            Dalam sebuah laporan penelitian terdapat abstrak. Bagian awal teks abstrak terdapat identitas laporan yang meliputi: nama penulis, tahun penulisan, judul laporan yang ditulis dengan huruf kapital pada huruf pertama setiap kata pada judul (kecuali konjugasi dan preposisi), jenis karya tulis, nama sekolah dan diakhiri dengan nama pembimbing lengkap dengan gelar akademis. Semua diketik satu spasi.
            Bagian kedua abstrak dicantumkan kata kunci yang ditempatkan di bawah identitas laporan. Kata kunci dapat diambil dari judul atau kata penting dalam karya tulis. Jumlah kata kunci tidak lebih dari lima kata. Kata kunci diperlukan untuk komputerisasi sistem informasi ilmiah. Dengan kata kunci, kita dapat menemukan judul-judul laporan beserta abstraknya dengan mudah.
            Bagian selanjutnya adalah teks abstrak yang berisi intisari tulisan yang mencakup latar belakang penelitian, masalah yang diteliti, metode yang digunakan, hasil-hasil yang diperoleh, kesimpulan yang dapat ditarik, dan (kalau ada) saran yang diajukan.
Abstrak ini diketik satu spasi atau spasi tunggal dan panjangnya disarakan tidak lebih dari satu halaman kertas kuarto atau A4. Abstrak ini berfungsi untuk membantu pembaca dalam memahami isi pokok dari sebuah karya tulis secara cepat, metode yang digunakan, serta data yang dikelola.
            Adakalanya abstrak disusun dalam bentuk bebas yang biasa disebut dengan intisari karangan. Intisari ini berisi ringkasan hasil penelitian dan pembahasan. Teknik pengetikan intisari menggunakan spasi ganda atau 1,5 spasi tergantung pada petunjuk dalam brosur lomba. Dalam LPIR (Lomba Penelitian Ilmiah Remaja) tingkat nasional, intisari karangan tidak boleh lebih dari 250 kata atau dua halaman.

Kajian sastra

SULITNYA MENULIS CERPEN
Oleh: Imron Rosidi

            Mungkin sebagian dari kalian yang sudah terbiasa menulis cerpen, baik cerpen dari hasil imajinasi murni maupun gubahan dari kisah nyata kalian. Akan tetapi, masih banyak di antara kalian yang merasa kesulitan. Untuk memulainya terasa sulit dan serba takut salah. Rasa takut salah inilah yang harus dibuang jauh-jauh. Menulislah sesuka hatimu dengan menyibak ketakutan tersebut. Menulislah sebagaimana kalian bercerita tentang senetron yang pernah kalian lihat di televisi. Menulis sebuah cerpen tak ubahnya bercerita tentang sinetron kepada teman kalian. Percayalah.
            Untuk bisa menulis sebuah cerpen, cobalah kalian baca sebuah cerpen di surat kabar, misalnya Jawa Pos atau Kompas atau cerpen-cerpen yang sudah diterbitkan. Melalui kegiatan membaca tersebut diharapkan muncul pengetahuan pada diri kalian tentang cerpen yang baik, bentuk cerpen, isi cerpen, dan komponen-komponen yang ada dalam sebuah cerpen.
            Sebelum menulis cerpen, yakinkan dulu diri kalian bahwa kalian bisa menulis cerpen layaknya orang-orang yang lain. Setelah itu, mulailah mempelajari teori tentang cerpen yang baik dan bagian-bagian yang ada dalam cerpen. Pada prinsipnya, cerpen yang baik tentunya yang dapat membuat pembaca terpuaskan setelah membaca. Untuk dapat memuaskan pembaca, penulis cerpen harus mampu membawa pembaca kepada peristiwa yang diceritakan dalam cerpen melalui kata dan kalimat-kalimat yang dapat menyentuh perasaan, tema yang sedang hangat dibicarakan di masyarakat, dan memunclkan suspensi-suspensi pada diri pembaca.

keterampilan berbahasa

TIPE-TIPE MENYIMAK
Oleh: Imron Rosidi


            Tipe menyimak bermacam-macam, dan dapat diklasifikasikan menurut sejumlah variabel, misalnya tujuan menyimak, peran penyimak, dan tipe teks yang disimak. Masing-masing tipe itu akan menuntut sebuah strategi tertentu pada pihak penyimak.
            Ada sejumlah cara yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan teks. Satu pembagian yang umum adalah antarmonolog (misalnya kuliah, ceramah, dan pembacaan berita), dan dialog. Monolog dapat dibagi ke dalam monolog-monolog yang direncanakan dan monolog yang tidak direncanakan. Monolog yang direncanakan termasuk siaran media dan ceramah. Banyak monolog ini yang berupa teks yang ditulis untuk dibaca, meskipun tidak mesti selalu demikian. Monolog-monolog yang tidak direncanakan mencakup anekdot, narasi, dan ekstemporisasi (pembicaraan tanpa persiapan).
            Dialog dapat diklasifikasikan menurut tujuan: apakah pada dasarnya dialog-dilog tersebut bersifat sosial/interpersonal atau transaksional. Dialog interpersonal lebih jauh dapat diklasifikasikan menurut tingkat ketidakasingan antara para individu yang terlibat.
            Tujuan menyimak merupakan variabel penting lainnya. Menyimak terhadap siaran berita untuk mendapatkan gagasan umum tentang berita hari itu melibatkan berbagai proses dan strategi yang berbeda daripada menyimak siaran yang sama untuk mendapatkan informasi khusus, misalnya hasil-hasil peristiwa olahraga yang penting. Menyimak terhadap serangkaian pengajaran untuk mengoperasikan seperangkat software komputer baru menuntut keterampilan dan strategi menyimak yang berbeda daripada menyimak puisi atau cerpen. Dalam merancang tugas-tugas menyimak, siswa harus diajari untuk mengadopsi sejumlah strategi menyimak yang fleksibel. Hal ini dapat dilakukan dengan memegang teks menyimak tetap tak berubah (bekerja, misalnya, dengan siaran berita radio yang melaporkan serangkaian peristiwa internasional), dan meminta siswa menyimak teks tersebut beberapa kali, tetapi tetap mengikuti berbagai pengajaran yang berbeda setiap saat. Dalam contoh yang pertama, mereka bisa dituntut untuk menyimak untuk mencari intisari, hanya untuk mengidentifikasi negara-negara dimana peristiwa-peristiwa tersebut telah terjadi. Kali yang kedua mereka menyimak, mereka diminta untuk mencocokkan tempat-tempat tersebut dengan sejumlah peristiwa. Yang terakhir, mereka bisa diminta untuk menyimak secara mendetail, dengan membedakan antara berbagai aspek khusus peristiwa tersebut, atau, mungkin, membandingkan siaran radio tersebut dengan keterangan-keterangan koran terhadap peristiwa-peristiwa yang sama dan mencatat berbagai perbedaan penekanan.
            Teknik pengembangan fleksibilitas dalam menyimak ini dicontohkan dalam tugas yang ditunjukkan dalam gambar 7.2. Ketika melibatkan anak-anak dalam tugas-tugas semacam ini, kita perlu menunjukkan kepada mereka strategi-strategi yang berbeda, yang selalu ada dalam masing-masing fase tugas, dan membuat mereka memikirkan berbagai situasi tersebut dimana strategi-strategi yang berbeda bisa digunakan. Pada contoh dalam gambar tersebut, siswa diminta untuk menyimak sebuah teks sebanyak tiga kali, dan mengerjakan tugas-tugas yang semakin menantang setiap saat.
            Cara lain untuk mengkarakterisasikan menyimak adalah dalam kaitannya dengan apakah penyimak juga diminta untuk berpartisipasi dalam interaksi. Hal ini dikenal dengan menyimak resiprokal. Katika menyimak monolog, baik secara live (langsung) maupun melalui media, menurut definisi, hal itu dinamai menyimak nonresiprokal. Penyimak tidak memiliki kesempatan untuk menjawab kembali, menjelaskan pemahaman, atau mengecek bahwa ia telah memahami secara benar. Pada kenyataannya, penyimak jarang sekali diberi peran “penguping” nonresiprokal dalam sebuah percakapan. Namun demikian, dalam kelas menyimak, hal ini merupakan peran yang normal. Dalam bagian tentang peran siswa dalam proses menyimak, akan diuraikan teknik yang dapat digunakan dalam kelas tersebut untuk memberi siswa kesempatan merespon sebagaimana yang mungkin mereka lakukan dalam pertukaran percakapan.

keterampilan berbahasa

BEBERAPA JENIS KARANGAN RINGKAS
Oleh: imron Rosidi


           Ketika Anda mendapat tugas membuat makalah, tentunya Anda perlu membuat intisari atau abstrak yang diletakkan di awal makalah Anda, sedangkan di bab akhir Anda perlu membuat simpulan. Begitu juga ketika Anda membaca sebuah novel, Anda pasti menemukan sinopsis novel pada sampul novel bagian belakang. Beberapa jenis tulisan ringkas tersebut akan diuraikan pada bagian berikut.

Sinopsis, Abstrak, dan Simpulan
           Sinopsis merupakan ringkasan cerita dengan mengutamakan alur atau plot yang tepat dan menarik dari suatu cerpen, novel, atau drama. Sinopsis dapat pula diartikan sebagai ikhtisar karangan yang biasanya diterbitkan bersama-sama dengan karangan aslinya agar pembaca tertarik untuk membaca isi utuh karangan tersebut. Dengan demikian, penulis sinopsis hendaknya mampu memberikan dorongan kepada pembaca agar tertarik membeli buku yang ada di depannya. Penulis sinopsis hendaknya mampu menggerakkan keinginan pembaca untuk membaca sebuah karangan dengan segala cara agar lebih nikmat dan lebih jelas daripada hanya membaca sinopsisnya.
           Sekalipun sinopsis merupakan bentuk ringkas dari suatu cerita karya sastra (cerpen, novel, drama), sinopsis tidak dimaksudkan untuk kegiatan mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi karya sastra tidak cukup dengan hanya membaca sinopsisnya sebab sinopsis hanya mengungkapkan alur cerita. Pembuatan sinopsis justru merupakan salah satu cara memahami karya tersebut, sedangkan untuk memahami sebuah karya sastra tidak cukup hanya dari satu sisi, misalnya alur cerita.
           Bertolak dari uraian di atas, berikut ini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh penulis sinopsis.
a. Alur atau jalan cerita sebaiknya disusun secara kronologis dan tepat, sesuai dengan alur     aslinya;
b. Bahasa yang digunakan adalah bahasa peringkas yang mengutamakan aspek persuasif;
c. Penulis sinopsis harus dapat memberikan rangsangan kepada pembaca untuk membaca     naskah aslinya atau menyaksikan pertunjukan drama yang disinopsiskan;
d. Penulis sinopsis hendaknya mampu menampilkan hal-hal yang menarik pada karya yang     disinopsiskan.
            Bagaimanakah dengan abstrak? Abstrak adalah bagian ringkas suatu uraian yang merupakan gagasan utama dari suatu pembahasan yang akan diuraikan. Abstrak digunakan sebagai “jembatan” untuk memahami uraian yang akan disajikan dalam suatu karangan (biasanya laporan atau artikel ilmiah) terutama untuk memahami ide-ide permasalahannya. Dari abstrak, pembaca dapat mengetahui jalan pikiran penulis laporan/artikel ilmiah tersebut dan mengetahui gambaran umum tulisan secara lengkap.
            Biasanya abstrak ditempatkan di awal suatu laporan/artikel ilmiah dengan tujuan agar pembaca yang mernpunyai waktu relatif sedikit cukup hanya dengan membaca abstraknya untuk memahami suatu karya ilmiah secara umum. Dalam artikel ilmiah, abstrak ditulis setelah judul dan nama pengarang yang diketik satu spasi. Untuk itulah, penulisan abstrak harus dapat mewakili isi karangan ilmiah secara keseluruhan, mulai dari latar belakang, metode, dan hasil penelitian.
            Beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam menulis abstrak, yaitu:
a. Abstrak harus dapat menjadi penghubung antara pemikiran pembaca dengan penulis     tentang lingkup materi yang diungkapkan di dalam suatu karangan ilmiah;
b. Abstrak harus dapat mengungkapkan keseluruhan isi materi yang diuraikan secara     lengkap di dalam suatu karangan ilmiah;
c. Abstrak harus dapat menuntun pembaca (mengondisikan pembaca) terhadap uraian     materi secara lengkap;
d. Abstrak merupakan ide pokok suatu uraian sehingga abstrak harus dapat membuat     pembaca tertarik dan tendorong rasa ingin tahunya untuk membaca uraian materi yang     lebih lengkap dari suatu laporan penelitian/artikel ilmiah.
            Pada bagian akhir sebuah makalah terdapat sebuah bab dengan judul kesimpulan atau simpulan. Simpulan adalah bagian ringkas yang mengungkapkan gagasan utama dari suatu uraian atau pembicaraan dengan memberikan penekanan pada ide sentral serta penyelesaian dari permasalahan yang diungkapkan. Simpulan ditempatkan pada bagian akhir suatu karangan sebagai inti dari semua uraian yang telah diungkapkan atau dibicarakan serta penyelesaian suatu persoalan sebagai suatu solusi. Simpulan dalam sebuah karya ilmiah disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat dalam rumusan masalah.
            Bahasa yang digunakan dalam simpulan harus dapat mewakili pokok-pokok persoalan yang diungkapkan di dalam suatu karangan. Dalam menyusun simpulan, penulis dapat bertolak pada pola penalaran deduksi atau induksi sehingga tampak jelas proses penyelesaian persoalan permasalahan yang terdapat di dalam suatu karangan.
            Berikut ini beberapa hal yang harus mendapat perhatian di dalam menyusun suatu simpulan.
a. Simpulan  merupakan  inti  suatu  uraian  atau pembicaraan yang mengarah pada     penyelesaian suatu persoalan yang diungkapkan di dalam suatu bahasan atau karangan;
b. Simpulan harus dapat menjiwai bagian uraian yang panjang secara keseluruhan sehingga     pembaca tidak perlu membaca atau mengingat kembali inti persoalannya;
c. Simpulan harus dapat menuntun pembaca dalam memahami kembali ide sentral dari     suatu karangan atau bahasan yang kemudian dihubungkan dengan penyelesaiannya     sebagai suatu solusi.

Contoh Sinopsis
TAMBO, SEBUAH PERTEMUAN
(Novel Karya Gus tf Sakai, 2000)

            Bila Tambo biasa kita pahami sebagai dunia lampau dan kita sepenuhnya hidup dalam dunia lampau itu, tak demikian dengan Tambo Gus tf. Kita mondar-mandir antara dunia kini dan lampau. Kita hidup dalam dialog antara dunia kini dan lampau. Dunia kini yang dunia nyata dan dunia lampau yang dunia impian.
            Kita tidak perlu heran bila dunia lampau dalam novel ini diidealisir sehingga Gus ingin membawa kita menghidupkan kembali dunia lampau. Orang tak akan kaget dengan permainan khayal dan realitias dalam Tambo karena dalam sejarah kita, hal itu telah dimulai oelh Belenggu Armijn Pane. Malah Tambo dirasa lebih mudah mengesan perpindahan dari dunia nyata ke dunia impian ketimbang dalam Belenggu.


Contoh Abstrak Laporan Ilmiah
ABSTRAK
Dani, dkk. 2005. Pemanfaatan Limbah Industri Mebel di Pasuruan sebagai Bahan Dasar Pembuatan Mainan Edukatif Anak. Karya Tulis Ilmiah, SMA Negeri 2 Pasuruan. Pembimbing: Imron Rosidi, M.Pd.
Kata Kunci: Pemanfaatan, Limbah Mebel, Mainan Edukatif Anak

            Limbah mebel adalah sisa hasil produksi mebel yang tidak dipergunakan lagi. Di Pasuruan tepatnya di desa Bukir, banyak pengusaha mebel yang tidak memanfaatkan sisa hasil produksinya. Limbah tersebut langsung dibuang di sungai. Keadaan ini diperparah lagi dengan pembakaran serbuk kayu sisa industri mebel yang dapat menyebabkan polusi udara.
            Limbah mebel berupa serbuk kayu ini sebenarnya dapat dimanfaatkan dan dapat diolah menjadi bahan dasar mainan edukatif anak. Mainan edukatif anak yang dibuat dalam penelitian ini merupakan mainan anak yang berfungsi sebagai alat untuk memancing atau mengembangkan daya ingat anak melalui permainan non-elektronik. Mainan ini diharapkan dapat menyampaikan pengetahuan secara khusus kepada anak berusia 2 sampai 5 tahun atau anak usia pra sekolah.
            Untuk itu tujuan penelitian ini adalah pengolahan limbah industri mebel sebagai bahan dasar pembuatan mainan edukatif anak. Untuk mendapatkan data yang diinginkan, peneliti menggunakan teknik studi pustaka dan teknik eksperimen. Penelitian dilakukan selama 2 bulan, yaitu mulai Desember 2006 sampai dengan Januari 2007.
            Dari kedua teknik di atas dapat diperoleh hasil penelitian, yaitu 1) Alat yang digunakan dalam pengolahan serbuk kayu antara lain: cetakan, wadah, timbangan, sendok makan, ayakan, kuas eterna, kertas gosok, cetok besi, plastik mika; sedang bahan yang digunakan antara lain: limbah serbuk kayu dari sisa industri mebel, lem kayu, air, cat kayu, plamir, glassir. 2) Ada 7 tahap dalam pembuatan mainan edukatif anak dari limbah serbuk kayu yaitu: (1) pembuatan adonan dengan mencampurkan limbah serbuk kayu, lem kayu dan air, (2) pencetakan mainan dengan menuangkan adonan yang sudah tercampur ke dalam cetakan, (3) pengeringan mainan di bawah sinar matahari secara langsung, (4) penghalusan permukaan mainan yang masih kasar dengan menggunakan kertas gosok, (5) pelapisan plamir pada perrmukaan mainan yang sudah halus, (6) pengecatan mainan, dan (7) pelapisan glassir pada seluruh bagian mainan edukatif anak; dan 3) jenis-jenis mainan edukatif anak yang peneliti hasilkan dalam penelitian ini antara lain: papan-papan pasak, puzzle sederhana, acak warna. Dari hasil penelitian yang dilakukan, saran yang dapat disampaikan adalah: 1) mainan edukatif anak dari bahan dasar limbah serbuk kayu ini diharapkan dapat memasuki pangsa pasar mainan; 2) pembuatan mainan edukatif anak ini diharapkan sesuai dengan prosedur agar kualita dan mutunya tetap terjaga; dan 3) perlu adanya penelitian lanjutan untuk mendapatkan mainan edukatif anak yang berkualitas dan bervariasi.


Contoh Abstrak dalam Artikel Ilmiah

PERAN GURU
DALAM MEMBENTUK SISWA BERAKHLAK MULIA
DI ERA GLOBALISASI


Oleh: Imron Rosidi, M.Pd


Abstrak: Fenomena pendidikan di Indonesia saat ini memiliki berbagai tantangan (global, nasional, dan lokal). Memasuki era global pada abad 21, bangsa Indonesia menghadapi tantangan globalisasi yang membawa dunia menjadi global village yang dapat membawa perubahan masyarakat yang teramat cepat, diikuti dengan pergeseran nilai kehidupan, termasuk kehidupan para siswa. Untuk itu diperlukan peran guru dalam membentuk siswa berakhlak mulia, antara lain: 1) dalam mengajar, guru tidak hanya menitikberatkan pada potensi intelektualnya saja, akan tetapi juga harus menitikberatkan pada budi pekertinya (akhlak), 2) mengubah paradigma guru dalam proses pembelajaran, 3) memberikan kasih sayang terhadap siswanya melalui perkataan dan perbuatan yang baik, dan 4) memasukkan muatan akhlak di setiap mata pelajaran umum yang diajarkan.

Kata Kunci: Sistem Pendidikan, Berakhlak Mulia, dan Globalisasi




Contoh 1: Kesimpulan

Kesimpulan
            Demikianlah konfigurasi global tentang peran Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah kota Pasuruan dalam memajukan pendidikan di kota Pasuruan. Peningkatan kualitas pendidikan di kota Pasuruan adalah tugas kita bersama. Selain itu, kita harus rela berkorban waktu, energi, dan finansial untuk kuntinuitas proses pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Kita sudah harus berani meninggalkan alergi saran maupun kritik karena saran dan kritik selalu untuk kemajuan pendidikan dan kepentingan bersama.

Contoh 2: Kesimpulan
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Dari berbagai uraian yang ada pada bab II dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1) Perpustakaan di sekolah sebenarnya merupakan sumber belajar bagi siswa. Siswa dapat     menggali berbagai informasi melalui perpustakaan. Siswa dapat mengerjakan tugas dari     para guru dengan memanfaatkan buku-buku yang ada di perpustakaan.
2) Peran  guru  sangat   diperlukan   dalam  meningkatkan  minat  baca  siswa   melalui      pemberdayaan perpustakaan. Peran tersebut bisa berupa motivasi, program wajib baca,     tugas, bimbingan membaca, dan pembuatan poster-poster.

terampil menulis

MEMBEDAKAN RANGKUMAN DAN IKSTISAR
Oleh: Imron Rosidi


            Mulailah dari menulis sebuah karangan sederhana menuju yang lebih kompleks! Nasihat ini mungkin perlu dicamkan bagi para penulis pemula. Sebelum Anda mencoba menulis sebuah esai, editorial, artikel, resensi, berita, laporan penelitian dan sebagainya, Anda perlu memulai dengan berlatih menulis rangkuman dan ikhtisar. Dengan menulis rangkuman dan ikhtisar, selain Anda terlatih untuk menulis, juga dapat menambah wawasan Anda tentang sesuatu sebagai bekal seorang penulis. Hal itu disebabkan Anda harus membaca terlebih dahulu sebuah tulisan yang akan Anda rangkum atau ikhtisarkan.
            Pada bagian ini akan diuraikan berbagai masalah yang berhubungan dengan rangkuman dan ikhtisar, mulai dari pengertian sampai dengan bentuk-bentuk rangkuman dan ikhtisar. Memang, tidak sedikit pembaca yang menyamakan antara pengertian rangkuman dan ikhtisar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rangkuman dan ikhtisar tidak dibedakan. Akan tertapi, sebenarnya antara rangkuman dengan ikhtisar terdapat sedikit perbedaan. Untuk mengetahui perbedaan di antara keduanya, berikut ini akan diuraikan satu per satu.
Pengertian Rangkuman dan Ikhtisar
            Rangkuman merupakan hasil kegiatan merangkum. Rangkuman dapat diartikan sebagai suatu hasil merangkum atau meringkas suatu tulisan atau pembicaraan menjadi suatu uraian yang lebih singkat dengan perbandingan secara proporsional antara bagian yang dirangkum dengan rangkumannya (Djuharni, 2001). Rangkuman dapat pula diartikan sebagai hasil merangkai atau menyatukan pokok-pokok pembicaraan atau tulisan yang terpencar dalam bentuk pokok-pokoknya saja.
            Rangkuman sering disebut juga ringkasan, yaitu bentuk ringkas dari suatu uraian atau pembicaraan, sedangkan ikhtisar disebut juga intisari dari suatu uraian atau pembicaraan. Pada tulisan jenis rangkuman, urutan isi bagian demi bagian, dan sudut pandang (pendapat) pengarang tetap diperhatikan dan dipertahankan. Hal itu berbeda dengan ikhtisar. Ikhtisar juga merupakan bentuk ringkas dari suatu uraian atau pembicaraan, namun dalam pembuatannya tidak perlu mempertahankan urutan isi dari suatu karangan secara proporsional. Penulisan ikhtisar bisa saja langsung tertuju pada pokok permasalahan.
Cara Membuat Rangkuman dan Ikhtisar
            Merangkum atau meringkas suatu bacaan bertujuan untuk menguji kemampuan penulis pemula dalam menemukan pokok-pokok permasalahan sebuah tulisan, kemudian menyusun kembali dalam sebuah tulisan yang lebih ringkas. Di dalam membuat suatu rangkuman, penulis bisa langsung mengemukakan isi suatu uraian atau pembicaraan itu tanpa harus menggunakan kalimat penyambung. Yang dimaksud dengan kalimat penyambung itu adalah menggunakan pernyataan dengan kata-kata:
“Pada buku yang berjudul Terampil Meringkas, pengarang memulai dengan penjelasan tentang masalah menulis ringkasan bagi para penulis pemula sebagai berikut.”
Atau
“Pengarang buku yang berjudul Ayo Menulis memulai uraiannya dengan menyebutkan hal-hal sebagai berikut.”
            Kalimat penyambung dalam sebuah rangkuman seperti contoh di atas tidak diperlukan. Penulis dapat langsung melakukan kegiatan mencari pokok-pokok permasalahan terhadap tulisan yang akan dirangkum sesuai dengan tulisan yang telah dibaca dan dipahami. Pokok-pokok permasalahan dalam sebuah tulisan dapat diambil dari kalimat-kalimat utama dalam setiap paragraf. Kalimat-kalimat utama tersebut selanjutnya dihubung-hubungkan dengan menggunakan konjungsi atau dengan menambah kalimat penghubung agar tampak koheren (padu). Kekurangkoherenan kalimat-kalimat dalam rangkuman yang Anda susun dapat mengganggu pemahaman para pembaca.
            Kegiatan merangkum sebenarnya tidak hanya dapat dilakukan dengan menggabungkan setiap kalimat utama dalam setiap paragraf. Kegiatan merangkum dapat pula dilakukan dengan mencari ide pokok dalam setiap atau beberapa paragraf. Ide-ide tersebut
selanjutnya dihubung-hubungkan dengan menambah konjungsi atau kalimat penghubung lainnya.
            Hal yang harus diperhatikan di dalam membuat rangkuman adalah penggunaan bahasa yang digunakan di dalam rangkuman. Bahasa rangkuman harus berbeda dengan bahasa asli penulis buku yang dirangkum. Akan tetapi, bahasa rangkuman yang dibuat bertolak dari ide pokok pengarang yang tertuang dalam setiap paragraf atau bacaan. Dengan demikian, jika akan merangkum uraian pengarang dari suatu paragraf, penulis terlebih dahulu perlu menemukan ide pokok yang terdapat di dalam paragraf tersebut, kemudian diungkap ulang dengan menggunakan bahasa yang berbeda dan singkat. Agar hasil rangkuman itu tidak menyimpang dari uraian aslinya, ide-ide pokok setiap paragraf jangan diabaikan.
            Bagaimanakah dengan menulis ikhtisar? Ikhtisar adalah tulisan ringkas yang berisi pokok persoalan dalam sebuah bacaan. Dalam pembuatan ikhtisar, penulis dapat langsung mengungkapkan persoalan dari suatu bahan bacaan atau pembicaraan yang akan diikhtisarkan. Penulis dapat membuat catatan atau memberi tanda tertentu pada bagian-bagian penting dalam bacaan yang akan diikhtisarkan ketika membaca.
            Dalam membuat ikhtisar, urutan isi tidak perlu dipersoalkan dan bahasa disusun dengan gaya bahasa yang mudah sehingga dapat dipahami oleh pembacanya. Dalam membuat ikhtisar dapat pula dilakukan dengan cara menyesuaikan bahasa ikhtisar dengan pembaca atau yang akan memahami ikhtisar tersebut. Penulis dapat pula memberikan penafsiran isi bacaan sesuai dengan kajian ilmu yang didalaminya, namun tetap mempertahankan pokok persoalan yang diungkapkan.
Langkah-langkah Menulis Rangkuman dan Ikhtisar
            Untuk dapat menghasilkan sebuah rangkuman yang baik, seorang penulis pemula perlu memperhatikan empat hal pokok, yaitu: (1) mampu membaca dengan baik bacaan yang akan dirangkum, (2) mampu memahami isi secara utuh terhadap bacaan yang akan dirangkum, (3) mampu menemukan ide-ide pokok ataupun kalimat topik dalam bacaan yang akan dirangkum, serta (4) mampu menyusun kembali ide-ide maupun kalimat topik yang telah ditemukan menjadi sebuah tulisan utuh dan koheren.
            Untuk mencapai hal di atas, langkah-langkah yang harus ditempuh bagi seorang penulis rangkuman adalah sebagai berikut.
a. Perangkum harus membaca uraian asli pengarang sampai tuntas agar memperoleh     gambaran atau kesan umum dan sudut pandang pengarang. Pembacaan hendaklah     dilakukan secara saksama dan diulang sampai dua atau tiga kali untuk dapat memahami     isi bacaan secara utuh.
b. Perangkum membaca kembali bacaan yang akan dirangkum dengan membuat catatan     pikiran utama atau menandai pikiran utama setiap uraian untuk setiap bagian atau setiap     paragraf.
c. Dengan  berpedoman  hasil  catatan,  perangkum mulai membuat rangkuman dan     menyusun kalimat-kalimat yang bertolak dari hasil catatan dengan menggunakan bahasa     perangkum sendiri. Hanya saja, apabila perangkum merasa ada yang kurang enak,     perangkum dapat membuka kembali bacaan yang akan dirangkum.
d. Perangkum perlu membaca kembali hasil rangkuman dan mengadakan perbaikan apabila     dirasa ada kalimat yang kurang koheren.
e. Perangkum perlu menulis kembali hasil rangkumannya berdasarkan hasil perbaikan dan     memastikan bahwa rangkuman yang dihasilkan lebih pendek dibanding dengan bacaan     yang dirangkum.
            Hal yang juga harus mendapat perhatian dari penulis rangkuman adalah tidak memberikan penafsiran baru terhadap suatu pengertian yang diuraikan oleh pengarang asli. Selain itu, perangkum tidak boleh memasukkan hasil pemikirannya sendiri ke dalam rangkuman sebab akan mengaburkan pengertian gagasan yang diungkapkan oleh pengarang asli.
            Pelatihan menulis rangkuman dapat dilakukan dengan memberikan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan yang akan dirangkum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut disusun berdasarkan urut-urutan paragraf atau urutan topik dalam bacaan agar tidak mengubah urutan topik bacaan asli. Jawaban pertanyaan tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat tunggal, kalimat majemuk, ataupun sebuah uraian singkat berdasarkan keinginan perangkum.
            Bagaimanakah langkah-langkah menyusun ikhtisar? Langkah-langkah menyusun ikhtisar tak ubahnya dengan langkah-langkah menyusun rangkuman. Hanya saja, setelah membaca bacaan yang akan diikhtisarkan, penulis dapat langsung menambah dengan pengetahuan yang dimiliki yang sesuai dengan bahan kajian dalam bacaan yang akan diikhtisarkan. Hasil penggabungan tersebut selanjutnya ditulis kembali dalam sebuah ikhtisar yang koheren.