kebahasaan

Membedakan Ragam Bahasa Lisan dengan Bahasa Tulis
Oleh: Imron Rosidi


            Dalam pembagian ragam bahasa dikenal adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis. Ragam bahasa lisan digunakan dalam komunikasi lisan, sedangkan ragam bahasa tulis digunakan dalam komunikasi tulis. Antara kedua ragam tersebut tentu ada perbedaan. Apakah bedanya?
            Penggunaan bahasa dapat dibedakan menjadi bahasa tulis dan lisan. Bahasa tulis itu berupa rangkaian kalimat yang menggunakan ragam bahasa tulis, sedangkan bahasa lisan merupakan rangkaian kalimat yang ditranskrip dari rekaman bahasa lisan. Bahasa tulis dapat kita temukan dalam bentuk buku, berita koran, artikel, makalah, dan sebagainya, sedangkan wacana lisan misalnya percakapan, ceramah (spontan), dan siaran langsung di radio atau tv.
            Bahasa tulis berbeda dengan bahasa lisan dalam beberapa hal seperti berikut. Pertama, kalimat dalam wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal) apabila dibanding dengan bahasa tulis. Bahasa lisan berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan sering hanya berupa urutan kata yang membentuk frasa. Hal ini sangat alami (wajar) karena dalam menggunakan bahasa secara lisan penutur tidak sempat untuk merevisi bahasa yang diucapkannya. Penutur tidak mampu untuk memantau secara terus-menerus bahasa yang digunakannya. Sebaliknya, bahasa tulis cenderung lengkap dan panjang bahkan ada yang terdiri atas beberapa klausa. Penggunaan bahasa tulis dapat dipantau dan direvisi oleh penulisnya. Penulis memiliki kesempatan untuk melakukan hal ini.
            Kedua,, bahasa lisan jarang menggunakan penanda hubung karena didukung oleh konteksnya. Bahasa tulis sering menggunakan penanda hubung untuk menunjukkan suatu hubungan ide, seperti namun, oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan dengan hal itu dan sebagainya. Ketiga, bahasa lisan cenderung tidak menggunakan frasa benda yang panjang, sedangkan dalam tulis sebaliknya. frasa benda yang panjang seperti kegiatan armada pencari reruntuhan pesawat ulang alik Challenger. Frasa ini relatif panjang. Penggunaan frasa demikian ini sering digunakan dalam bahasa tulis. Keempat, kalimat-kalimat dalam bahasa tulis cenderung berstruktur subjek-predikat sedangkan bahasa lisan tidak menggunakan struktur tersebut. Kelima, dalam bahasa lisan, pembicara dapat mengubah struktur atau memperhalus ekspresi yang kurang tepat pada saat itu juga, sedangkan dalam bahasa tulis hal itu tidak dapat dilakukan. Misalnya, dengan menggunakan bentuk bahasa “Maksud saya …”, “Maksudnya begini ….”. Keenam, dalam bahasa lisan, khususnya dalam percakapan sehari-hari, pembicara cenderung menggunakan kosakata umum. Sebaliknya, dalam bahasa tulis sering digunakan istilah teknis yang mempunyai makna khusus. Penggunaan istilah khusus itu cenderung dihindari dalam wacana lisan, seperti dalam percakapan sehari-hari. Namun, dalam bahasa lisan yang resmi, seperti seminar atau diskusi, istilah teknis juga sering digunakan. Ketujuh, dalam bahasa lisan sering diulang bentuk bahasa yang sama dan digunakan sejumlah ‘pengisi’ misalnya: “Saya pikir …”, “Anda ketahui …”, “Jika Anda mengetahui apa yang saya maksud, ….”, dsb. Pada bahasa tulis jarang sekali pemakaian ‘pengisi’ dan pengulangan bentuk yang sama tersebut.

puisi


AKU TAKUT IBUKU
Oleh: Imron Rosidi


Aku mulai melangkah
Di antara wajah-wajah asing bagiku
Di antara sorotan mata buta bagiku
Menuju antrian orang-orang penghuni negeri ini
Penikmat keindahan bagi dirinya

Aku tersentak, telingaku berdengung
Seakan tersendat langkah kakiku
Seakan berdetak cepat degup jantungku
Ketika aku harus duduk
Di antara orang-orang yang tak selambang denganku
Tetapi dia seiman dengan diriku

Aku takut ibuku
Tidak bisa melanjutkan langkahku
Padahal engkau telah mencapkan harapan padaku
Sebab aku, anakmu yang kau junjung
Sebab aku, anakmu yang kau tuntun
Menuju dunia baru
Bagi keluarga dan negeriku

Pintu langkahku mulai terbuka, ibuku
Wajah asng itu mulai tersenyum kepadaku
Mata buta mulai dapat mengerti tentangku
Melihat aku bukan yang dicari
Mencatat aku bukan yang diburu


Pengalaman diinterogasi Polisi
Di bandara O’Hare Chicago

puisi


BANDARA HONGKONG
Oleh: Imron Rosidi



Hawa sejuk, menyeruak di seluruh kulitku
Menutup anganku, menuju chicago
Mataku tertakjub
Tertuju pada orang-orang berlalu-lalang kencang
Di antara orang-orangku yang lunglai
Letih tanpa asa

Mengapa dia begitu kencang?
Bertubuh tinggi, berlari mengejar perubahan setiap detik
Sedangkan aku dan orang-orangku
Berjalan kecil, perlahan tanpa suara
Perubahan detik terus berlalu

Aku ingin membuka asaku
Menyibak kebiasaan membuang detik
Ingin aku berjalan beriring dengan orang-orang itu
Menangkap cahaya global yang dinanti
Mengharap detik tanpa berlalu

Aku ingin menghilangkan dinginnnya kulitku
Yang selalu membuat mataku terkantuk
dengan darah semangat mengilir di tubuhku
Dengan langkah berlari di setiap detikku
menuju asa di atas angan


Bandara Hongkong
Transit sebelum ke Chicago


puisi


BUKAN PERJALANANKU YANG TERJAUH
Oleh: Imron Rosidi


Ada apa dengan pesawatmu?
Terbang jauh melewati batas awan
Memandang bumi terlihat samar
Menuju Chicago menatap harap


Temanku memegangku, ini perjalananku yang terjauh
Paling jauh selama dia terlahir
Tapi aku tidak mengangguk
Sebab perjalanan ini bukanlah yang terjauh
Yang terjauh nanti ke akhirat sauh

O’ Park, 10-5-2006
Home stay


MALAM PERTAMA DI OAK PARK
Oleh: Imron Rosidi


Jarum jam sudah malam, tapi belum malam
Selimut tebal sudah ditebar, tapi belum menyebar
Air putih sudah ku reguh, tapi belum mereguh
Mata hitam telah tertutup, tapi belum menutup
Mengapa aku?

Kedinginan di malam hari
O’ Park home stay


puisi


MALU AKU PADA Mr. BILL
Oleh: Imron Rosidi



Perlahan aku melangkah
Melewati mulut pintu menganga sempit
Terlihat bola-bola mata yang baru aku kenal
menancap ke mukaku


Mr. Bill meraih pundakku
Tidak terlepas sampai aku mengangguk
Jarum jam panjangku melewati dua angka
Dari angka-angka yang telah disepakati

Aku menundukkan kepalaku, sampai daguku
tak terlihat lagi, bersembunyi di antara kedua kerah bajuku
Rasa malu mulai menyeruak, karena itu sudah kebiasaanku
Saat waktu bukan lagi yang didambakan
Saat waktu bukan lagi yang dihargakan
Saat waktu bukan lagi yang dijunjungkan
Di atas segala yang diharapkan
Itulah yang berbeda aku dengan Mr. Bill

Aku mulai mengerti mengapa Mr. Bill meraih pundakku
Agar aku cepat dalam melangkah
Untuk dapat mengagungkan jarum jamku
Melewati waktu tanpa tertinggal dalam sedetikpun
Setiap detak jarum,
tidak terlewatkan dari angka yang telah dicatatkan

Aku mulai mengerti, mengapa Mr. Bill meraih pundakku
Berbicara dengan mata merah kepadaku
Aku harus berubah, berubah dari kebiasaan nenek moyangku
Yang waktu bukan segalanya
Terlambat langkah sudah biasa
Tempat duduk tanpa tuan selalu dirasa

Aku harus berubah


Jakarta, 4 Mei 2006
Sebelum pemberangkatan ke Amerika


puisi


ROSE PARKS DAN RA KARTINI
Oleh: Imron Rosidi



Aku masih ingat,
Ketika ibu guruku berkata
RA Kartini pejuang emansipasi wanita,
yang ingin mengangkat harkat kaumnya
Dengan berani keluar dari kungkungan
Menuju kesamaan derajat


Di sini, 1955
Rose Parks berani memberontak
terhadap kemapanan kulit berkuasa
Yang selalu istimewa dalam segala
Yang lebih bersih tempat minumnya
Yang selalu di depan tempat duduknya

Rose Parks ingin keadilan
Pergerakan hak sipil disuarakan
Meskipun kebebasanmu engkau pertaruhkan
untuk mengubah gelapnya sejarah
Sejarah kaummu yang selalu tertindas

Rose Parks adalah Kartini
Angan Rose Parks adalah angan Kartini
Senyum Rose Parks adalah senyum Kartini
Sebagai tanda pejuang kaum wanita
Di Amerika dan di Indonesia


Ditulis tahun 2006
Di National Voting Rights Museum
Amerika Serikat


kajian bahasa

HUT KEMERDEKAAN RI KE-64
KALIMAT YANG AMBIGU

Oleh: Imron Rosidi


            Pada artikel terdahulu pernah saya tulis tentang ciri kalimat baku, salah satunya tidak ambigu. Yang dimaksud dengan kalimat ambigu adalah kalimat yang maknanya medua sehingga dapat menimbulkan pengertian yang berbeda antarpemakai bahasa. Kalimat ambigu disebabkan beberapa hal, yaitu: (1) kata/klausa yang menerangkan letaknya berjauhan dengan kata yang diterangkan, dan (2) diksi yang tidak tepat.
            Mari kita perhatikan kalimat HUT KEMERDEKAAN RI KE-64. Ada pertanyaan yang perlu disimak ketika kita membaca kalimat tersebut. Apanya yang ke-64, HUT-nya, kemerdekaannya, ataukah RI-nya? Tentunya yang kita maksudkan adalah HUT-nya, bukan kemerdekaannya karena deklarasi kemerdekaan bangsa Indonesia hanya satu kali, yaitu 17 Agustus 1945, dan bukan pula RI-nya karena Republik Indonesia hanya satu, bukan 64. Dengan demikian, kalimat yang banyak terpampang di baliho-baliho dan spanduk-spanduk tersebut perlu diperbaiki. Kalimat itu seharusnya diubah menjadi:
(1) HUT KE-64 KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
     BUKAN
(2) HUT KEMERDEKAAN KE-64 REPUBLIK INDONESIA (SALAH)
(3) HUT KEMERDEKAAN RI KE-64 (RI-NYA YANG KE-64)

kajian

IMPLIKATUR
Oleh: Imron Rosidi



            Implikatur dikenalkan Grice (1975), Pratt (1981), Brown & Yule (1986), Carston (1991) dalam beberapa karya mereka. Istilah implikatur diantonimkan dengan istilah eksplikatur. Secara sederhana implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh yang tersurat (eksplikatur). Implikatur dimaksudkan sebagai suatu ujaran yang menyiratkan suatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Menggunakan implikatur dalam percakapan berarti menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Grice (1975:43) menjelaskan bahwa implikatur mencakup beberapa pengembangan teori hubungan antara ekspresi, makna tuturan, makna penutur, dan implikasi suatu tuturan.
            Seorang keluarga pasien yang menginginkan anaknya agar mendapatkan perawatan yang lebih dengan cara menyuntik cukup dengan mengimplikasikan melalui tuturan berikut.
(1) KP : Anak saya masih benter.
       P : Sebentar, saya suntik dulu.
            Dari pengalaman sebelumnya dan memperhatikan kebiasaan keluarga pasien rawat inap anak yang selalu mengharapkan anaknya yang panas agar disuntik, maka perawat akan langsung mengambil spet untuk menyuntik pasien tersebut. Jadi, implikatur akan dengan mudah dipahami jika antara penutur dan mitra tutur telah berbagi pengalaman dan pengetahuan.
            Dalam teorinya, Grice membedakan tiga macam implikatur, yaitu implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional, dan praanggapan.
Contoh: Seorang tamu baru saja masuk ke ruang tamu dan berkata “udara panas sekali”. Pernyataan itu mempunyai bermacam-macam makna yang diimplikasikan, yaitu sebagai berikut.
(2) meminta kepada tuan rumah untuk berbicara di teras rumah.
(3) meminta kepada tuan rumah air es atau air dingin;
(4) meminta kepada tuan rumah untuk membuka jendela atau pintu sehingga udara ruang      menjadi sejuk;
(5) meminta izin untuk membuka sebagian kancing baju;
(6) meminta kepada tuan rumah untuk menyalakan ac-nya atau kipas angin; dan
(7) memi nta kepada tuan rumah untuk mematikan lampu yang sangat terang.

            Keenam makna tidak langsung tersebut dinamakan makna implikasi/tersirat, sedangkan makna yang tersurat (literal) disebut eksplikatur. Makna yang tersurat adalah “menginformasikan bahwa keadaan (siang ini) sangat panas”.
Mengembangkan pendapat Grice (1975), bahwa implikatur dibedakan menjadi dua, yaitu (a) implikatur konvensional, dan (2) implikatur nonkonvensional. Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh dari makna kata, bukan dari pelanggaran prinsip percakapan. Adapun implikatur nonkonvensional adalah implikatur yang diperoleh dari fungsi pragmatis yang tersirat dalam suatu percakapan.
Cotoh implikatur konvensional:
“Matroji orang Madura sehingga dia pemberani.”
            Implikasi tuturan tersebut adalah bahwa keberanian Matroji karena dia orang Madura. Apabila matroji bukan orang Madura, tentu saja tuturan tersebut tidak berimplikasi bahwa keberanian Matroji karena ia orang Madura.
Contoh implikatur nonkonvensional:
“Dia sekarang sudah mapan”
            Implikatur nonkonvensional tersebut adalah pada waktu sebelumnya, dia kehidupannya serba tidak menentu, baik penghasilan, perumahan, pekerjaan, dan sejenisnya.
            Gunarwan (dalam Rustono, 1999:89) menegaskan adanya tiga hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan implikatur, yaitu (1) implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan, (2) implikatur bukanlah akibat logis tuturan, (3) sebuah tuturan memungkinkan memiliki lebih dari satu implikatur, dan itu bergantung pada konteksnya.
            Grice membedakan lagi secara dikotomis implikatur percakapan, yaitu (1) implikatur percakapan khusus, dan (2) implikatur percakapan umum. Implikatur percakapan khusus adalah implikatur yang kemunculannya memerlukan konteks khusus. Adapun implikatur percakapan umum adalah implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan tidak memerlukan konteks khusus.
Contoh implikatur percakapan khusus:
“Kucing itu kelihatan girang sekali”.
Konteks khususnya:
a. Mungkin kucing itu makan bandeng presto.
b. Di mana bandeng presto itu disimpan?
Contoh implikatur percakapan umum:
“Saya berkenalan dengan rektor Unigo”
(Sebelumnya saya tidak pernah berkenalan dengan rektor Unigo)
            Leech (1993:269) menyatakan bahwa implikatur digunakan agar pernyataan yang disampaikan itu lebih santun. Contohnya seperti pernyataan berikut ini.
“Pembangunan masjid kita sampai hari ini sudah mencapai tahap kedua, tepatnya 2 tahun 2 bulan. Namun sampai saat ini keramik yang sudah kita pesan belum dipasang juga. Saudara-saudara, lihatlah ke atas, langit-langit masjid ini belum sepenuhnya selesai. Untuk itu malam yang penuh barokah ini kita bertekat untuk menuntaskan semuanya. Alhamdulillah Bapak Wali Kota Malang malam ini juga hadir dalam upaya pembinaan mental spiritual warga Kota Malang”.
            Implikatur memberikan makna yang berkebalikan dengan eksplikaturnya. Menurut Stubbs (1983:210) implikatur bentuk ini meskipun maknanya berkebalikan tetapi tidak menimbulkan pertentangan logika.
Contoh:
Seorang ibu melihat anaknya memanjat pohon, kemudian mengatakan kepada anaknya “Ayo, naik lebih tinggi lagi. Ayo, naik sampai puncak, ayo teruskan...” Ujaran tersebut tidak dimaksudkan untuk menyuruh anaknya agar memanjat lebih tinggi lagi, tetapi sebaliknya `menyuruh anaknya turun, karena memanjat pohon itu berbahaya, dapat berakibat jatuh dari pohon`, dan seterusnya.

            Selanjutnya, Grice (1991) merumuskan adanya lima ciri implikatur percakapan. Pertama, dalam keadaan tertentu, implikatur percakapan dapat dibatalkan baik dengan cara eksplisit maupun dengan cara kontekstual. Kedua, ketidakterpisahan antara implikatur percakapan dengan cara mengatakan sesuatu. Biasanya tidak ada cara lain yang lebih tepat untuk mengatakan sesuatu itu sehingga orang menggunakan tuturan bermuatan implikatur percakapan untuk menyampaikannya. Ketiga, implikatur percakapan mempersyaratkan makna konvensional dari kalimat yang digunakan, tetapi isi implikatur percakapan tidak masuk dalam makna konvensional kalimat. Keempat, kebenaran isi implikatur percakapan tidak bergantung pada apa yang dikatakan, tetapi dapat diperhitungkan dari bagaimana tindakan mengatakan apa yang dikatakan. Kelima, implikatur percakapan tidak dapat diberi penjelasan spesifik yang pasti sifatnya.
            Teori implikatur dikemukakan Grice sebagai jalan keluar untuk menjelaskan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik. Berkaitan dengan itu, Levinson (1987) menyatakan bahwa: (1) Teori implikatur dapat memberikan penjelasan fungsional atas fakta-fakta kenahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik (struktural). (2) Teori implikatur memberikan penjelasan eksplisit adanya perbedaan antara apa yang diucapkan secara lahiriah dengan apa yang dimaksudkan oleh suatu ujaran dan pemakai bahasa pun memahaminya. (3) Teori implikatur dapat menyederhanakan deskripsi semantik hubungan antarklausa yang berbeda konjungsinya. (4) Teori implikatur dapat menerangkan berbagai macam gejala kebahasaan yang secara lahiriah tampak tidak berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata berhubungan.

kajian

ISI TULISAN (KONTEN) ATAUKAH BAHASA
Oleh: Imron Rosidi



            Tertarik dengan salah satu pertanyaan tentang mana yang lebih penting antara isi dengan bahasa dalam sebuah tulisan, saya mencoba untuk memberikan penjelasan secara singkat. Dalam dunia tulis-menulis, ada beberapa jenis tulisan. Tulisan yang pertama adalah tulisan ilmiah, misalnya: makalah, skripsi, artikel ilmiah, biografi, sejarah, dan sebagainya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam tulisan ilmiah, misalnya: (1) isi harus objektif, (2) bentuk tulisan sesuai dengan aturan yang berlaku, dan (3) bahasa yang digunakan bahasa Ilmiah.
            Bagaimanakah dengan tulisan popular (nonilmiah). Untuk karya/tulisan nonilmiah, seperti: karya sastra, esai popular, ataupun iklan, aturan kebahasaan kurang begitu ketat. Yang dipentingkan adalah tersampainya ide/gagasan dari penulis/pembicara kepada pembaca/pendengar. Begitu pula dengan iklan. Iklan lebih mementingkan isi dan kesederhanaan bahasa. Iklan harus dapat dibaca dengan cepat. Dengan demikian, bahasa iklan tidak harus mengikuti kaidah gramatikal sebuah kalimat.
            Kemudian muncul pertanyaan, mana yang lebih penting antara bahasa dengan isi dalam tulisan ilmiah. Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa keduanya penting karena keduanya masuk dalam ciri karya ilmiah yang baik. Karya ilmiah yang isinya bagus bisa saja hilang keilmiahannya apabila ditulis dengan bahasa popular, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, perlakuan terhadap tulisan tergantung pada jenis tulisan tersebut.

kebahasaan

KALIMAT EFEKTIF
Oleh: Imron Rosidi


Pengertian
            Kalimat efektif adalah kalimat yang mampu menggambarkan secara lengkap dan tepat apa yang dimaksud oleh penutur kepada petutur. Secara tertulis, kalimat ditandai dengan huruf besar di awal kalimat, dan di akhir kalimat ditandai dengan tanda titik, tanda seru, atau tanda tanya, di antara klausa kadang kala terdapat tanda koma, titik dua, tanda petik, dan sebagainya. Dalam bahasa lisan, kalimat diakhir dengan intonasi menurun pada kalimat berita, naik pada kalimat perintah langsung, dan panjang mendatar pada kalimat tanya.

Ciri-ciri Kalimat Efektif
a. Keutuhan : dalam bahasa tulis, ada unsur subjek dan predikat (gramatikal) pada     kalimat intransitif, dan unsur subjek, predikat, objek pada kalimat transitif,
b. Pertautan : adanya hubungan yang erat antarunsur-unsur kalimat dan logis,
c. Keringkasan: menggunakan kata-kata yang benar-benar memiliki fungsi (diksi).
d. Ketepatan diksi: menggunakan kata yang tepat, sesuai, dan lazim.

Marilah kita perhatikan kalimat berikut!
a. Sebagaimana telah ditetapkan, dinas rumah sakit itu biasanya dilakukan dua kali     seminggu.
b. Aspek yang lain yang perlu dipertimbangkan ialah segi hubungan masyarakat.
c. Secara jasmaniah orang itu bertubuh sehat dan kuat.
d. Saya sudah bilang bahwa kamu harus menebus resep itu.
e. Karena Anda tidak menuruti perintah saya di mana kamu tidak boleh bergerak, luka itu     tidak akan cepat kering.
f. Saya ingin tetap sehat. Dan saya harus selalu berolahraga dengan rutin.

Penjelasan
            Kalimat (a) merupakan kalimat yang tidak jelas maknannya. Ketidakjelasan kalimat tersebut diakibatkan adanya unsur yang hilang, sehingga mengganggu keutuhan kalimat. Apa yang dilakukan dinas rumah sakit selama satu minggu? Selain itu, dalam kalimat tersebut terdapat penggunaan pilihan kata (diksi) yang mubazir. Kata “biasanya” merupakan kata yang tidak perlu adanya karena sudah ada frase “sebagaimana telah ditetapkan”. Kalimat tersebut sebaiknya berbunyi:
Sebagaimana telah ditetapkan, kunjungan dinas rumah sakit dilakukan dua kali dalam seminggu.
Atau
Sebagaimana telah ditetapkan, dinas rumah sakit melakukan kunjungan dua kali dalam seminggu.
            Kalimat (b) juga kurang efektif karena adanya kemubaziran kata serta kekurangtepatan pilihan kata. Penggunaan kata “segi” tampaknya tidak diperlukan lagi karena telah terwakili oleh adanya kata “aspek”. Selain itu, penggunaan kata “ialah” juga kurang tepat. Kata ialah digunakan untuk definisi. Kalimat tersebut sebaiknya berbunyi:
Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah hubungan masyarakat.
            Bagaimana dengan kalimat c? Kalimat (d), dan (e) merupakan kalimat yang berbelit-belit sehingga dapat mengaburkan makna. Kalimat (f) maknanya kabur akibat kesalahan penggunaan tanda baca. Bagaimana yang efektif?