keterampilan berbahasa

BAGAIMANA AGAR PIDATO ANDA EFEKTIF?
Oleh: Imron Rosidi



            Efektivitas pidato dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya pelafalan, intonasi, nada, dan sikap berpidato.
(1) Lafal
            Lafal adalah ucapan bunyi-bunyi bahasa. Setiap bahasa cenderung mempunyai karakteristik bunyi tertentu. Oleh karena itu, ketika berpidato dalam bahasa Indonesia, kita harus menggunakan lafal baku yang dimiliki oleh bahasa Indonesia. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mengukur kebakuan lafal yang kita ucapkan? Jika lafal yang kita ucapkan tidak menunjukkan warna lafal daerah atau asing, berarti lafal itu sudah dianggap baku. Lafal para pembaca berita di TV dan RRI merupakan contoh lafal baku.
            Ada pula beberapa fonem yang sering dikacaukan pelafalannya, antara lain sebagai berikut.
(a) Fonem /e/ yang dilafalkan taling [e] dan pepet [ ]
     Dalam kata-kata tertentu, pelafalan fonem itu sering dikacaukan. Contoh pelafalan      taling [e] terdapat pada kata [peka], [merah], [le ah], dan [petrUs]. Dan contoh      pelafalan pepet [ ] terdapat kata [ mas], [l mas], [t ga ], [s ra ], [t gas], dan [p luru].
(b) Fonem /k/ dilafalkan [k] dan [‘]
     Fonem /k/ harus dilafalkan sebagai [k] bila (a) terletak di awal suku kata, misalnya      [kali], [p rkalian], [b rk lana], [kasUr], dan [kasih]; dan (b) diikuti oleh akhiran –i atau      –an, misalnya [diduduki], [k dudukan], [m nduduki], dan [didikan]. Namun, fonem /k/      dilafalkan [‘] bila konsonan itu terletak pada posisi akhir suku kata yang tidak diikuti      oleh akhiran-i dan –an, misalnya [m masa’], [b ronta’], [tida’], [t kula’], dan [bapa’].
(c) Jelas tidaknya pelafalan fonem /h/
     Fonem /h/ dilafalkan jelas bila (a) fonem tersebut terletak pada posisi awal kata,      misalnya [hitam], [hasrat], [hiburan], [hambatan], dan [hina]; (b) fonem tersebut      terletak pada posisi akhir suku kata, misalnya [darah], [hujah], [parah], [rintih],      [p rih], dan [luruh]; (c) fonem tersebut diapit oleh vokal yang sama, misalnya [jahat],      [nihil], [pahat], dan[dahan]. Namun, fonem /h/ dilafalkan lemah bila fonem tersebut      diapit oleh dua vokal yang berbeda pada kata-kata yang bukan serapan, misalnya      [tahun], [p njahit], dan [pahit].
(2) Intonasi
            Dalam kegiatan pidato, intonasi mempunyai dua fungsi pokok. Pertama, intonasi menentukan makna kalimat yang kita tuturkan. Dengan intonasi yang berbeda, klausa sama dapat menjadi kalimat berita, tanya, atau perintah hanya karena perbedaan intonasi kalimat. Misalnya, Gogon duduk di pengurusan. (berita); Gogon duduk di pengurusan? (tanya); Gogon duduk di pengurusan! (perintah). Oleh karena itu, kesalahan penggunaan intonasi dapat menyebabkan kesalahan penafsiran terhadap makna kalimat oleh pendengar.
Kedua, intonasi dapat mempengaruhi daya persuasi pidato. Dengan penggunaan intonasi yang tepat, pembawa pidato dapat membujuk, mempengaruhi, atau meyakinkan pendengar. Oleh karena itu, daya tarik pidato juga sangat ditentukan ketepatan penggunaan intonasi.
(3) Nada
            Nada adalah tinggi atau rendahnya suara ketika berpidato. Kualitas nada biasanya ditentukan oleh cepat atau lambatnya pita suatu bergetar. Jika pita suara bergetar cepat, maka nada yang dihasilkannya akan tinggi, tetapi jika pita suara bergetar lambat, nada yang dihasikannya adalah rendah.
            Dalam proses pidato, nada mempunyai fungsi cukup penting. Walaupun dalam bahasa Indonesia nada tidak bersifat distingtif, tetapi penggunaannya dapat mempengaruhi daya tarik dan efektivitas pidato. Untuk itu, penggunaan nada tertentu dalam pidato bukanlah sewenang-wenang. Penggunaannya didasari oleh kesadaran akan fungsinya di dalam mengefektifkan proses penyampaian dan pemahaman isi pidato.
            Pidato yang efektif biasanya menggunakan nada yang bervariasi. Variasi nada ini sejalan dengan beragam kalimat yang digunakan dalam pidato itu. Ketika isi pidato mengajak sesorang untuk bangkit dari keterpurukan, maka nada tinggi lebih tepat digunakan. Namun, manakala beralih kepada duka cita atas gugurannya seseorang, penggunaan nada tinggi tampaknya bukan pilihan yang tepat. Dengan kata lain, penggunaan nada tinggi, rendah, sedang sangat ditentukan oleh isi kalimat yang dituturakan.
(4) Sikap
            Sikap merupakan unsur nonbahasa, tetapi sangat mempengaruhi efektivitas pidato. Sikap merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi seseorang terhadap diri dan lingkungannya.
Beberapa sikap berikut baik dilakukan ketika berpidato.
Berdiri dengan rileks, jangan tegang atau kaku.
Ciptakan rasa humor yang sehat.
Gunakan mimik dan gerakan tubuh secara wajar.
Hindarkan gerakan yang mengganggu konsentrasi pendengar, misalnya jari-jari tangan memainkan benda di sekitarnya; terlalu sering memasukkan dan mengeluarkan tangan di saku; sering menggaruk-garuk kepala atau pegang hidung.
Pandangan hendaknya tertuju ke semua pendengar.
Menghargai pendengar dan menciptakan rasa bersahabat.
Sopan.

sastra

Unsur-Unsur Puisi
Oleh: Imron Rosidi



1. Tema
    Tema adalah pokok persoalan atau pokok pikiran yang mendasari terbentuknya sebuah     puisi. Pokok persoalan itulah yang hendak disampaikan kepada pembaca.
2. Amanat atau pesan
    Sesuai dengan arti katanya, amanat atau pesan adalah sesuatu yang hendak disampaikan     oleh penayir kepada pembaca melalui puisinya. Bedanya dengan tema, kalau tema     adalah persoalan yang dikemukakan sedangkan amanat adalah sesuatu yang hendak     disampaikan lewat persoalan itu. Dengan kata lain, mau berbicara apa, bermaksud apa     dengan persoalan itu?
3. Simbolisasi atau perlambangan
    Pengertian simbolisasi atau perlambangan dalam puisi tidak mengacu pada gambar atau     benda yang menggantikan pengertian tertentu akan tetapi mengacu pada kata atau     lambang kebahasaan lain yang digunakan untuk menggantikan suatu pengertian atau hal     lain. Misalnya, kata merah melambangkan pengertian berani atau marah, kata kelabu     dalam minggu kelabu menggantikan suasana sedih.
4. Musikalitas
    Yang dimaksud musikalitas adalah hal-hal yang berhubungan dengan pengucapan     bunyi. Unsur ini meliputi dua hal, yaitu rima dan bunyi.
5. Korespondensi
    Yang dimaksud korespondensi dalam puisi adalah perhubungan yang terdapat dalam     puisi. Perhubungan itu bisa bermacam-macam yang meliputi perhubungan antara kata     dengan kata, frase dengan frase, kalimat dengan kalimat, bait dengan bait atau     campuran di antara unsur-unsur tersebut.
6. Diksi
    Diksi adalah ketepatan pemilihan dan penggunaan kata. Ketepatan dan pemilihan kata     sangat berpengaruh besar terhadap makna dan maksud yang hendak disampaikan serta     efek emosional yang ditimbulkannya.
7. Gaya bahasa
    Boleh dikatakan hampir tidak ada puisi yang hadir tanpa sebuah gaya bahasa. Dengan     gaya bahasa, gagasan yang terungkap akan terasa lebih konkret dan penuh serta     membuat puisi menjadi lebih hidup.

kebahasaan

BAGAIMANA MENULIS RUJUKAN?
Oleh: Imron Rosidi


            Kajian Pustaka atau Landasan Teori merupakan bagian kedua (Bab II) dalam sebuah karya ilmiah. Kajian pustaka memuat dua hal pokok, yaitu deskripsi teoritis tentang objek (variabel) yang diteliti dan argumentasi atas hipotesis yang diajukan. Bahan kajian pustaka dapat dirujuk dari buku teks, makalah, laporan-laporan sebelumnya, laporan kegiatan seminar, jurnal-jurnal penelitian, dan diskusi-diskusi ilmiah. Selanjutnya, bagaimanakah cara menulis rujukan dalam karya tulis?
            Teori-teori yang akan digunakan sebagai dasar dalam kajian pustaka dapat diambil dari berbagai sumber. Sumber kajian pustaka tersebut dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) sumber acuan umum, dan (2) sumber acuan khusus (Suryabrata, 1983:72). Yang dapat digolongkan ke dalam sumber acuan umum antara lain: buku-buku teks, ensklopedi, kamus, monograph, dan sejenisnya, sedangkan sumber acuan khusus meliputi: kepustakaan berbentuk jurnal, buletin penelitian, makalah dan sumber bacaan lain yang memuat laporan hasil penelitian, serta berbagai tulisan dari sumber internet. Sumber kajian pustaka juga dapat digolongkan ke dalam (1) sumber kepustakaan primer, dan (2) sumber kepustakaan sekunder (TIM IKIP Malang, 1993:13).

Cara Merujuk
            Perujukan dilakukan dengan menggunakan nama akhir. Jika ada dua pengarang, perujukan dilakukan dengan cara menyebutkan nama akhir kedua pengarang tersebut. Jika pengarangnya lebih dari tiga orang, penulisan rujukan dilakukan dengan cara menulis nama belakang pengarang pertama dan diikuti dengan singkatan dkk.
            Jika nama pengarang tidak disebutkan, yang dicantumkan dalam rujukan adalah nama lembaga yang menerbitkan, nama dokumen yang diterbitkan, atau nama koran. Untuk karya terjemahan, perujukan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya.

Cara Merujuk Kutipan Langsung
a. Kurang dari 40 kata
    • Ramelan (1990:91) mengemukakan bahwa “masa depan kehidupan manusia akan        dipengaruhi inovasi iptek yang berhubungan dengan penemuan, pengembangan, dan        penggunaan”.
    • Disadari atau tidak “masa depan kehidupan manusia akan dipengaruhi inovasi Iptek        yang berhubungan dengan penemuan, pengembangan, dan penggunaan” (Ramelan,        1990:91).

b. Kutipan yang berisi 40 kata atau lebih ditulis tanpa tanda kutip secara terpisah dari teks     yang mendahului. Pengetikan dimulai dengan first line 1,25 cm atau pada ketukan ke-6     dari garis tepi sebelah kiri untuk ketik manual, dan diketik dengan spasi tunggal. Nomor     halaman juga harus ditulis. Perhatikan contoh di bawah ini!

Lutony (1999:10) mengemukakan hal sebagai berikut
Data yang relatif akurat berkaitan dengan status gizi ini sekitar 11% penduduk Indonesia dalam kategori status gizi kurang dan buruk. Khusus untuk status gizi anak-anak terdapat sekitar 40,2% termasuk kategori gizi kurang dan 1,3% menderita gizi buruk.


Cara Merujuk Kutipan Tak Langsung
            Kutipan yang dikemukakan dengan bahasa penulis sendiri tanpa menggunakan tanda kutip dan terpadu dalam teks. Nama pengarang bahan kutipan dapat disebut terpadu dengan teks atau disebut dalam kurung bersama tahun penerbitannya. Nomor halaman tidak harus disebutkan.
•  Salimin (1990)  tidak  menduga  bahwa  kualitas siswa kejuruan ternyata tidak jauh    berbeda dengan siswa SMA.
•  Kualitas siswa kejuruan ternyata tidak kalah dengan siswa SMA (Salimin, 1990).

Cara Merujuk Kutipan yang Telah Dikutip di Suatu Sumber
            Merujuk teori seseorang pada buku orang lain dimulai dengan menuliskan nama pemilik asli teori tersebut yang dilanjutkan dengan penulis buku tempat teori tersebut yang didahului dengan memberi kata dalam.
Contoh:
            Damrosh (dalam Brockopp dan Tolsma, 2000:126) mengatakan bahwa salah satu metode yang telah diusulkan sebagai cara untuk melindungi kerahasiaan adalah mempunyai kode (identifikasi) yang dihasilkan peserta sendiri.

keterampilan berbahasa

MENGAJUKAN PERTANYAAN DALAM FORUM DISKUSI
BAGAIMANA?


            Ketika mengikuti gelar wicara, pernahkah Anda nyelonong bertanya, padahal belum diberi kesempatan? Atau, pernahkah Anda bertanya, tetapi pertanyaan yang Anda ajukan itu cenderung tidak jelas ke mana arahnya? Jika pernah, apalagi menjadi kebiasaan, alangkah baiknya hentikanlah! Selain tidak tidak efektif, kebiasaan itu bisa menghambat proses gelar wicara. Bagaimana cara menghentikannya?
(a) Bertanyalah setelah moderator memberikan kesempatan kepada peserta gelar wicara.
(b) Ketika Anda hendak bertanya, tunjukkan jari atau isyarat lain sehingga moderator tahu       bahwa Anda bermaksud bertanya.
(c) Sebelum menyampaikan pertanyaan, sebutkanlah identitas Anda, misalnya nama dan       asal.
(d) Tunjukkan kepada siapa Anda bertanya dan apa yang menjadi fokus pertanyaan.
(e) Fokuskanlah pertanyaan Anda dengan menggunakan kata-kata atau ungkapan berikut.
       apa untuk menanyakan benda (konkret/abstrak), tumbuh-tumbuhan, hewan, dan           identitas
       siapa untuk menanyakan Tuhan, malaikat, dan manusia
       mengapa/kenapa untuk menanyakan perbuatan dan sebab
       bagaimana untuk menanyakan keadaan dan cara mana yang didahului oleh di, ke,           dari untuk menanyakan tempat; dan bila didahului yang untuk menanyakan sesuatu           atau seseorang dari suatu kelompok
       bilamana, bila, dan kapan untuk menanyakan waktu
       berapa untuk menanyakan jumlah dan bilangan.
(f) Sampaikanlah pertanyaan Anda secara jelas, santun, dan tidak emosional.
            Selain bertanya, mengajukan tanggapan merupakan tindakan yang biasa dilakukan dalam diskusi. Ada berbagai bentuk tanggapan, misalnya persetujuan, penolakan, atau penambahan terhadap hal-hal yang sudah diungkapkan oleh penyaji atau peserta diskusi yang lain. Dalam memberikan tanggapan, Anda bisa menggunakan ungkapan-ungkapan penghubung antarkalimat.Misalnya “Sebenarnya saya tidak sependapat dengan simpulan diskusi ini. Akan tetapi, sebagai anggota yang baik, saya tetap akan melaksanakan simpulan diskusi ini”.
            Dengan ungkapan-ungkapan penghubung antarkalimat, Anda dapat mengembangkan bentuk-bentuk persetujuan, penolakan, penambahan, atau yang lain. Ada berbagai ungkapan penghubung antarkalimat yang dapat Anda gunakan, antara lain:
(a) ungkapan untuk menyatakan pertentangan: biarpun demikian/begitu, sekalipun tahu       demikian/begitu, sungguhpun demikian/begitu, walaupun demikian/begitu, meskipun       demikian/begitu:
(b) ungkapan untuk menyatakan kelanjutan dari peristiwa atau keadaan yang dinyatakan       tahu pada kalimat sebelumnya: kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya;
(c) ungkapan untuk yang menyatakan hal, peristiwa, atau keadaan di samping hal, tahu       peristiwa, atau keadaan yang telah disebutkan sebelumnya: tambahan pula, lagi pula,       selain itu, di samping itu;
(d) ungkapan untuk menyatakan kebalikan dari yang telah dinyatakan sebelumnya: tahu       sebaliknya;
(e) ungkapan untuk menyatakan bahwa yang digambarkan oleh predikasi adalah benar:       tahu sesungguhnya, bahwasanya;
(f) ungkapan untuk menyatakan penguatan terhadap peristiwa, hal, atau keadaan yang       tahu dinyatakan sebelumnya: malah(an), bahkan;
(g) ungkapan untuk menyatakan pertentangan dengan peristiwa, hal, atau keadaan yang       tahu dinyatakan sebelumnya: (akan) tetapi, namun;
(h) ungkapan untuk menyatakan keeksklusifan dan keinklusifan: kecuali itu;
(i)  ungkapan untuk menyatakan konsekuensi: dengan demikian;
(j)  ungkapan untuk menyatakan akibat: oleh karena itu, oleh sebab itu;
(k) ungkapan untuk menyatakan kejadian yang mendahului peristiwa, hal, atau keadaan       tahu yang dinyatakan sebelumnya: sebelum itu.

Kajian Bahasa

SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA
Oleh: Imron Rosidi



            Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar.
            Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan".
            Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
            Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
            Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika memang mirip "ilmu silat lidah".
            Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
            Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem¬beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
            Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men¬jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon¬takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena".
            Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-¬gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang".
            Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
            Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
            Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
            Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
            Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
            Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
            Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
            Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng¬anjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
            Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
            Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
            Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
            Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
            Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
            Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
            Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge¬mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
            Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
            Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
            Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan "jembatan keledai" untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me¬mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
            Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan¬gerakan, anggota badan (gestus moderatio cum venustate).

keterampilan berbahasa

BAHASA MAJALAH SEKOLAH DAN MADING
Oleh: Imron Rosidi

            Bahasa majalah/koran sekolah dan Mading merupakan salah satu jenis penggunaan bahasa jurnalistik. majalah/koran Sekolah dan Mading tidak memiliki ruang tulis yang luas, perlu penggunaan bahasa jurnalistik yang salah satunya memiliki ciri ringkas dan jelas. Dengan penggunaan bahasa Jurnalistik, majalah/koran sekolah yang diterbitkan tidak terlalu tebal, tetapi dengan jumlah kolom yang relatif banyak, begitu juga dengan Mading.

Ciri Bahasa Majalah Sekolah atau Mading
            Seperti yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu bahwa bahasa Majalah/koran sekolah dan Mading merupakan variasi tersendiri, menggunakan berbagai jenis karangan, dan merupakan bahasa tertulis yang harus mengutamakan kejelasan dengan mengacu kepada bahasa standar. Adapun ciri-ciri khusus yang harus dipenuhi di dalam penulisan media massa sekolah adalah sebagai berikut.

Judul Provokatif
            Judul-judul yang digunakan di dalam setiap tulisan pada majalah/koran sekolah maupun Mading merupakan bagian yang terpenting sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus oleh seorang staf redaksi. Judul tulisan dalam majalah/koran sekolah dan Mading hendaknya dibuat semenarik mungkin, tidak terlalu panjang, dan sesuai dengan isi berita/tulisan. Judul yang menarik dapat memotivasi para pembaca untuk mengetahui isi berita/tulisan secara lengkap.

Kurang Menarik                        Menarik
Polisi Tangkap Pencuri                 Polisi Tangkap Tommy

(Pencuri ayam yang ditangkap Polisi bernama Tommy dan saat itu Tommy - anak mantan presiden - memang sedang diburu Polisi)

Terlalu Panjang                        Singkat
Setelah puas Memukuli                Puas Pukuli Praja Junior,
Praja Junior, Praja Senior             Praja Senior Nyanyi
Bernyanyi Bersama                      Bersama

Bahasa Singkat dan Jelas
            Penggunaan bahasa di dalam majalah/koran sekolah dan Mading cenderung singkat dan hemat, tentu saja menghindari penggunaan kata-kata yang tidak berfungsi. Penggunaan konjungsi yang terlalu sering perlu dihindari. Bahasa singkat dan jelas dalam tulisan di majalah/koran sekolah dan Mading dapat diwujudkan dengan penggunaan kalimat-kalimat tunggal dan menghindari penggunaan kalimat-kalimat kompleks.
Terlalu Panjang dan Kurang Jelas
Satreskrim Polres Pasuruan membeber kasus dugaan korupsi dana KUT di wilayah Tosari yang berhasil diungkap. (Radar Bromo, 9 April 2007)

Singkat dan Jelas
            Satreskrim Polres Pasuruan membeberkan kasus dugaan korupsi dana Kredit Usaha Tani (KUT) yang berhasil diungkap di wilayah Tosari.

Serasi dan Menarik
            Majalah/koran sekolah dan Mading dapat tampil menarik apabila menggunakan bahasa yang serasi dan menarik. Bahasa yang serasi dan menarik adalah bahasa yang menggunakan kata-kata yang sesuai dengan pembacanya serta gaya bahasa yang sesuai dengan sasarannya. Penggunaan gaya bahasa juga disesuaikan dengan rubrik yang ada dalam majalah sekolah dan Mading tersebut. Gaya bahasa untuk rubrik ABG (Anak Baru Gede) tentunya tidak cocok apabila digunakan untuk rubrik yang serius, misalnya artikel. Begitu juga sebaliknya, gaya bahasa dalam rubrik editorial tentunya tidak cocok untuk rubrik sastra. Perhatikan contoh kutipan berikut!

Rubrik ABG
            Mau awet dalam pacaran. Kamu ajak si doi untuk bicara. Kamu nggak boleh egois alias mau menangnya sendiri. Sekali-kali, ajak si doi jalan-jalan. Jangan lupa, makan bersama dengan curhat juga perlu kamu lakukan.

Rubrik Editorial
            Masa Orientasi Sekolah (MOS) datang lagi. Masa ini selalu hadir setiap tahun, khususnya setelah Penerimaan Siswa Baru (PSB). Pada kegiatan MOS, calon siswa diberi berbagai materi, mulai dari wawasan wiyatamandala, materi bela negara, dan tata krama pergaulan. Tapi, sudah efektifkah pelaksanaan MOS selama ini?

Rubrik Berita
            Kepala Sekolah akhirnya angkat bicara soal kecelakaan yang terjadi saat kegiatan orientasi anggota baru dalam salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah ini. Menurut beliau, kecelakaan diakibatkan kekurangdisiplinan para anggota dalam mematuhi berbagai aturan yang telah disepakati. Selain itu, keterbatasan petugas jaga juga berperan dalam kecelakaan itu.

            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa dalam majalah/koran sekolah serta Mading hendaknya menggunakan ragam bahasa jurnalistik, khususnya dalam kolom editorial atau salam redaksi, kolom artikel, maupun kolom berita. Dalam kolom tulisan ringan, seperti cerpen, anekdot, dan cerita bergambar, staf redaksi bisa menggunakan ragam bahasa santai, tetapi juga tidak mengesampingkan keringkasan dan kehematan kata sehingga tidak terkesan bertele-tele yang dapat mengurangi halaman kolom tulisan lainnya.

kajian bahasa

ANALISIS WACANA
Oleh: Imron Rosidi


            Ketika kita membahas pragmatik, kita telah mengenal pertanyan-pertanyaan tentang penafsiran wacana yang dikehendaki oleh penutur. Hal-hal yang dikaji dalam pragmatik diperlukan juga dalam analisis wacana. Analisis wacana (discourse analysis) membahas bagaimana pemakai bahasa mencerna apa yang ditulis oleh para penulis dalam buku-buku teks, memahami apa yang disampaikan penyapa secara lisan dalam percakapan, dan mengenal wacana yang koheren dan yang tidak koheren.
Definisi Wacana
            Definisi wacana klasik yang diturunkan dari asumsi kaum formalis (dalam istilah Hyme “Struktural”) adalah bahwa wacana merupakan “bahasa di atas kalimat atau klausa” (Stubbs, 1983). Mey mengatakan bahwa wacana adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Istilah wacana mengacu ke rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula memakai bahasa tulis (Samsuri, 1987/1988:1). Wacana memperlakukan kaidah-kaidah tata bahasa sebagai suatu sumberdaya yang menyesuaikan dengan kaidah-kaidah itu ketika memang diperlakukan.
            Dijk (1985:4) mengamati “uraian-uraian struktural mengkarakterisasi wacana pada sejumlah tingkatan atau dimensi analisis dan dalam berbagai macam satuan, kategori, pola skematis atau relasi.” Di samping keberagaman pendekatan struktural yang dikemukakan oleh Van Dijk, juga ada inti yang umum. Analisis-analisis struktural difokuskan pada berbagai macam satuan yang berbeda berfungsi dalam kaitannya satu sama lain (sebuah fokus yang secara umum sama dengan strukturalisme, tetapi mengabaikan relasi-relasi fungsional dengan konteks (wacana merupakan bagian di dalamnya). Karena secara tepat hubungan ini (antara wacana dan konteks yang wacana merupakan bagian di dalamnya) yang mengkarakterisasi analisis fungsional, agaknya terasa bahwa kedua pendekatan memiliki sedikit persamaan.
Hakikat Analisis Wacana
            Daya tarik analisis wacana berasal dari realisasi bahwa bahasa, tindakan, dan pengetahuan tidak dapat dipisahkan. Wawasan terpenting, disampaikan oleh Austin bahwa ujaran-ujaran merupakan tindakan (Austin, 1962). Sejumlah tindakan tindakan hanya dapat dilakukan melalui bahasa (misalnya, meminta maaf), sementara yang lain dapat dilakukan secara verbal maupun nonverbal (misalnya mengancam). Selanjutnya, begitu kita mulai mengkaji bagaimana bahasa dipakai dalam interaksi sosial. Jelas kiranya bahwa komunikasi tidak mungkin terjadi tanpa adanya pengetahuan dan asumsi yang sama antara penutur dan pendengar.
            Analisis wacana dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa analisis wacana mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih besar seperti percakapan atau teks tulis. Di samping itu, analisis wacana juga mengkaji pemakaian bahasa dalam konteks sosial termasuk interaksi di antara penutur-penutur bahasa (Stubbs, 1984:1). Analisis wacana berusaha mencapai makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan makna yang dimaksudkan oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam wacana tulis. Untuk mencapai tujuan itu, analisis wacana banyak menggunakan pola sosiolinguistik, suatu cabang ilmu bahasa yang menelaah bahasa di dalam masyarakat, piranti-piranti, serta temuan-temuannya yang penting (Kartomihardjo, 1992:1). Analisis wacana adalah penyelidikan atas apa yang memberi keruntunan wacana. Analisis wacana juga memanfaatkan hasil kajian pragmatik. Oleh karena itu, analisis wacana berupakaya menafsirkan suatu wacana yang tidak terjangkau oleh semantik tertentu maupun sintaksis. Sebagai contoh, perhatikan ujaran berikut.
    (1) Jangan dilipat.
    (2) Rasanya seperti buka puasa
            Ujaran (1) tertera pada sebuah amplop yang dikirim oleh sebuah instansi/dinas. Ujaran tersebut berfungsi sebagai peringatan kepada jasa pengiriman surat agar tidak melipat surat itu karena di dalamnya berisi sesuatu yang dapat rusak kalau dilipat, misalnya lembar jawaban UAN. Tulisan itu tidak disertai ujaran tambahan amplop surat ini. Walaupun demikian, pengirim surat tentunya maklum bahwa yang dimaksudkan ialah amplop itu, bukan amplop yang lain.
            Ujaran (2) diucapkan oleh mahasiswa terundang yang sedang menghadapi berbagai jenis minuman dalam sebuah acara yang diadakan fakultas. Ujaran itu menunjukkan bahwa mahasiswa terundang sangat haus. Dia mengutarakannya dengan membandingkan siatuasi yang dialaminya pada saat itu dengan situasi ketika dia menjalani puasa. Pendengar yang sudah pernah merasakan hausnya saat puasa dan nikmatnya buka puasa mengetahui secara pasti apa yang dimaksudkan dalam ujaran itu.
            Dari kedua contoh di atas diketahui bahwa ternyata kedua kalimat tersebut tidak lengkap. Meskipun demikian, kalimat (1) dapat dipahami karena adanya dukungan konteks terjadinya ujaran itu yang memungkinkan penafsiran lokal, sedangkan ujaran (2) dapat dipahami karena adanya “pengetahuan tentang dunia” yang sama disampaikan berdasarkan analogi.
Asal Mula Analisis Wacana (The origins of discourse analysis)
            Jika kita menerima pembedaan antara dua pendekatan yang berbeda pada pencarian tatanan dan regularitas dalam bahasa, tidaklah tepat menganggap pendekatan kedua, analisis wacana sebagai sesuatu yang sepenuhnya baru, tanpa asal usul apapun dalam kajian bahasa di masa lalu. Para mahasiswa bahasa di tradisi barat, para sarjana Yunani dan Romawi juga sadar atas pendekatan yang berbeda itu dan memisahkan tata bahasa (grammar) dengan retorika, tata bahasa (grammar) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah bahasa sebagai objek tersendiri, dan retorika berurutan dengan bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata, mencapai efek dan berkomunikasi secara gemilang dengan orang-orang dalam konteks tertentu. Ironisnya, beberapa aliran analisis wacana yang seringkali dianggap sebagai salah satu disiplin ilmu terbaru dalam kajian bahasa, menggunakan istilah-istilah dari retorika klasik, salah satu kajian yang tertua.
            Di sepanjang sejarah selalu ada kajian-kajian bahasa dalam konteks dalam berbagai selubung. Dalam linguistik abad ke dua puluh, dalam linguistik kalimat juga ada pendekatan yang sangat berpengaruh yang mengkaji bahasa dalam konteksnya yang penuh, sebagai bagian masyarakat dan dunia. Di Amerika Utara, dalam dekade awal abad ini, kerja yang menarik di bidang bahasa dilakukan oleh orang-orang yang merupakan ahli antropologi dan ahli bahasa. Di Inggris, tradisi serupa berkembang dalam karya Firt yang memandang bahasa bukan sebagai sistem yang otomatis, namun sebagai bagian budaya yang sangat tanggap terhadap lingkungan. Tradisi-tradisi tersebut memiliki banyak wawasan yang ditawarkan pada analisis wacana. Selain itu, terdapat banyak disiplin ilmu yang lain -- filsafat, psikologi, psikiatri, sosiologi, dan antropologi. Kecerdasan tiruan, kajian media, kajian sastra -- yang sering kali meneliti objek kajiannya: jiwa, masyarakat, budaya-budaya lain, komputer, media, karya sastra melalui bahasa dan dengan demikian mereka sedang melaksanakan analisis wacananya sendiri, sering kali merupakan yang terbaik.
            Keterlibatan disiplin-disiplin ilmu yang berbeda ini bisa sangat membingungkan dan tampaknya menyatakan bahwa analisis wacana sama sekali bukanlah aktivitas yang terpisah, namun merupakan pencarian bahaya timbulnya penguapan pada ilmu-ilmu yang lain. Mungkin pembedaan yang paling berguna adalah menganggap disiplin-disiplin ilmu yang lain itu sebagai upaya mengkaji sesuatu yang lain melalui wacana: sebaiknya analisis wacana memiliki wacana sebagai objek utama kajian, dan meski bisa membawa ke arah kajian di banyak bidang yang berbeda, dia selalu kembali pada perhatian utamanya.
            Ironisnya, linguis kalimatlah yang menentukan istilah “analisis wacana” dan memprakarsai pencarian kaidah-kaidah bahasa yang menjelaskan bagaimana kaitan kalimat-kalimat dalam suatu teks dengan tata bahasa (grammar) yang diperluas. Linguis tersebut adalah Zellig Harris. Pada tahun 1952, dalam artikelnya berjudul “Analisis Wacana” dia menganalisis iklan untuk topik rambut -- di situ dia menghilangkan nama merk – dan mulai mencari kaidah-kaidah gramatikal untuk menjelaskan mengapa satu kalimat mengikuti kalimat yang lain ( untungnya bagi dia, setiap kalimat dalam iklan itu gramatikalnya bagus). Rincian analisisnya bukan menjadi pokok perhatian kita: namun kesimpulan-kesimpulannya sangat menarik. Di awal artikel ini, dia mengamati bahwa ada kemungkinan arah bagi analisis wacana. Satu arahnya adalah “ Meneruskan linguistik deskriptif di luar batas-batas kalimat tunggal di setiap waktu”. Inilah apa yang dia ingin dia capai. Arah yang kedua adalah: “Mengkorelasikan budaya dan bahasa (yakni perilaku linguistik dannon linguistik). Sebagai linguis kaliat, itulah yang tidak dianggap sebagai minatnya. Namun dengan mempertimbangkan dua pilihan itu, di akhir artikel itu, dia menyimpulkan: “……dalam setiap bahasa, ternyata bahwa hampir semua hasilnya terdapat dalam regangan yang relatif pendek yang bisa kita sebut kalimat. ….. hanya saja kita jarang bisa menyatakan kleterbatasan-keterbatasan dalam kalimat-kalimat.
            Jika kita harus menemukan jawaban atas masalah apa yang memberi jenis-jenis bahasa keutuhan dan makna, kita bisa memandang di luar kaidah-kaidah formal yang bekerja dalam kalimat-kalimat dan mempertimbangkan orang-orang yang menggunakan bahasa dan orang-orang yang menggunakan bahasa dan juga terjadinya bahasa itu. Namun sebelum kita melakukannya, juga perlu disimnak seberapa jauh kaidah-kaidah linguistik yang formal dan murni itu digunakan dalam menjelaskan cara keberhasilan satu kalimat dalam mendampingi kalimat lain. Inilah bidang inquiri katya berikutnya.
Analisis Wacana sebagai Disiplin Ilmu
            Analisis Wacana (discourse analysis) dapat dikatakan sebagai disiplin ilmu yang sudah lama maupun perkembangannya masih dianggap baru. Asal usul analisis wacana dapat ditelusuri hingga 2000 tahun yang lalu dalam kajian kesusastraan dan pidato-pidato. Salah satu disiplin ilmu yang menonjol pada saat itu ialah retorika klasik (clasical rhetoric), yaitu seni berbicara yang baik, termasuk merencanakan, menyusun, dan menyajikan pidato umum dalam bidang politik maupun hukum (Dijk, 1988).
            Asal usul analisis wacana modern dapat ditelusuri pada dasawarsa 1960-an. Pada waktu itu di Perancis diterbitkan analisis struktur wacana, analisis cerita, analisis film sampai analisis foto-foto media cetak. Meskipun latar belakang, tujuan, dan metode analisis itu masih beragam, banyaknya minat dalam kajian bidang kebahasaan secara luas itu akhirnya membentuk benang merah yang menjadikan wujud analisis wacana menjadi lebih utuh. Bersama dengan itu di Amerika Serikat Dell Haymes menerbitkan sebuah karya yang sangat berpengaruh, yaitu language in Culture and Society. Karya-karya awal analisis wacana dari dua belahan dunia itu didasarkan pada prinsip yang sama, yaitu mengawinkan antara linguistik dan strukturalis (structural linguistics) dan antropologi yang menekankan analisis pemakaian bahasa, bentuk wacana, dan bentuk komunikasi. Karya-karya lain yang mengawali munculnya analisis wacana juga terbit pada dasawarsa 1960-an.
            Pengamatan gejala perkembangan analisis wacana itu membuahkan beberapa kesimpulan. Pertama, pada mulanya analisis wacana merupakan kajian kebahasaan struktural dan deskriptif dalam batas-batas linguistik dan antropologi. Kedua, kajian pada tahun awal-awal itu lebih mengarah ke analisis ragam wacana populer, seperti cerita rakyat, mitos, dongeng, dan bentuk-bentuk interaksi ritual. Ketiga, analisis struktur kalimat atau wacana secara fungsional itu dipisakan dari paradigma gramatika transformasi generatif yang juga berpengaruh sebagai metode analisis bahasa pada waktu itu (Dijk, 1988).
            Kalau dasawarsa 1960-an merupakan periode lahirnya berbagai kajian pada teks dan peristiwa komunikasi, dasawarsa 1970-an memantapkan perkembangan analisis wacana yang sistematis sebagai bidang kajian tersendiri dengan dasar beberapa disiplin ilmu. Perkembangan itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi disertai dengan perkembangan aspek-aspek lain.
            Perkembangan pertama ialah perkembangan teoretis dan metodologis. Teori dan metodologi dalam analisis wacana juga dipengarui oleh perubahan paradigma dalam kajian bahasa. Misalnya, sosiolinguistik menjadi mantap pada akhir dasawarsa 1960-an dengan karya-karya Joshua Fishman. Pada tahun 1972, Labov menerbitkan hasil penelitiannya tentang pemakaian bahasa Inggris oleh orang-orang kulit kulit hitam yang menurut analisis bentuk percakapan antarremaja dan juga analisis pengalaman pribadi seseorang.
Perkembangan kedua yang cukup penting pada dasawarsa 1970-an ialah penemuan linguistik karya filsuf Austin, Grice, dan Searle mengenai tindak bahasa (speech acts). Berbeda dengan sosiolinguistik yang menekankan peran variasi bahasa dan konteks sosial, pendekatan itu memandang ujaran verbal tidak saja sebagai kalimat, tetapi juga merupakan bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam konteks tertentu juga dapat mengemban fungsi, yaitu fungsi ilokusi yang harus dijelaskan menurut maksud, kepercayaan atau evaluasi penutur, atau menurut hubungan penutur dan pendengar. Dengan cara itu, yang dapat dianalisis bukan saja hakikat konteks tetapi juga hubungan antara ujaran sebagai objek linguistik abstrak dan ujaran yang dipandang sebagai bentuk interaksi sosial. Dimensi baru itu menambah orientasi pragmatik pada komponen teoretis bahasa.
            Perkembangan ketiga, dalam kerangka teori gramatika itu sendiri seringkali diutarakan bahwa gramatika hendaknya jangan hanya memberikan penjelasan kalimat-kalimat lepas. Kajian pronomina dan pemarkah kohesif lain, koherensi, preposisi, topik, dan komentar, dan struktur semantik secara umum, ciri-ciri teks yang dipahami sebagai rangkaian kalimat mulai dikaji dalam linguistik dengan pandangan baru dan terpadu. Pendekatan itu mulai menunjukkan kinerjanya dengan mengkaji struktur pemakaian bahasa dengan munculnya kajian tentang teks dan wacana.
            Kehadiran pendekatan baru itu melengkapi perhatian yang besar saat itu pada jenis-jenis wacana monolog (teks, dongeng, mitos, dan lain-lain). Pemakainan bahasa secara spontan dan alamiah itu berwujud percakapan dan bentuk-bentk dialog dalam situasi sosial. Orang menjadi tidak saja mengetahui kaidah-kaidah gramatika secara tak langsung, tetapi juga kaidah-kaidah alih giliran (turn-taking) dalam percakapan. Pendekatan itu menjadi pendekatan pertama yang mengkaji struktur kalimat dan gramatika interaksi verbal. Oleh karena itu, pendekata itu tidak saja menambah dimensi baru dalam pengkajian struktur wacana monolog yang sudah banyak diminati pada waktu itu, tetapi juga memungkinkan pengkajian pemakaian bahasa sebagai bentuk interaksi sosial, sebagaimana yang telah dilakukan pragmatik dan teori tindak bahasa dalam istilah yang lebih formal dan filosofis. Analisis itu akhirnya berkembang pula ke analisis percakapan di kelas dan latar resmi yang lain. Dengan berkembangnya penelitian etnografi tentang peristiwa komunikasi yang disebut dengan etnografi komunikasi (ethnography of communication), ruang lingkup analisis wacana menjadi lebih berkembang. Analisis wacana tidak saja berhenti pada analisis bentuk sapaan, mitos, dan interaksi ritual, tetapi juga menangani berbagai bentuk percakapan dalam kebudayaan yang berbeda, seperti salam, cerita spontan, pertemuan formal, perdebatan, dan bentuk-bentuk komunikasi dan interaksi verbal yang lain.
Analisis Wacana Struktural
            Analisis wacana secara struktural berusaha mencari konstituen-konsituen (satuan linguistik yang lebih kecil) yang memiliki keterkaitan khusus satu sama lain dan yang muncul pada sejumlah pengaturan terbatas (seringkali berupa kaidah yang diatur). Pada kebanyakan pendekatan struktural, wacana dipandang sebagai suatu tingkat struktur yang lebih tinggi dari kalimat, atau satuan teks yang lain. Harris (1951), ahli bahasa pertama yang memakai istilah analisis wacana, secara terang-terangan mengklaim bahwa wacana adalah tingkat lanjutan dalam hierarki morfem, klausa, dan kalimat.
Kelemahan Pandangan Wacana di Atas Kalimat
            Ada beberapa akar permasalahan yang disebabkan oleh ketergantungan definisi dan analisis pada satuan kalimat yang lebih kecil. Sebuah permaalahan yang langsung timbul adalah bahwa satuan-satuan yang diucapkan oleh penutur tidak tampak sebagai kalimat. Penelitian yang dilakukan oleh Chafe (1980, 1987, 1992) misalnya, mengemukakan bahwa bahasa ucap dihasilkan dalam satuan-satuan akhiran intonasional dan semantik, bukannya kahiransintaksis (Schiffrin, 1994:25).
Wacana sebagai Text-Sentence
            Salah satu cara untuk mengatasi sejumlah masalah yang baru saja dikemukakan adalah dengan mengadopsi pembedaan Lyon (1977) antara system-sentence dengan text-sentence. System-sentence adalah berbagai jalinan yang bagus yang dihasilkan oleh tata bahasa, misalnya berupa konstruk-kontruk teoretis abstrak yang menghubungkan apa yang dihasilkan dari model sistem bahasa para ahli bahasa. Sebaliknya, text-sentence merupakan petanda-petanda ujaran (atau bagian-bagian dari petanda-petanda ujaran) yang bergantung pada konteks yang mungkin terjadi pada teks-teks tertentu. Pembedaan Lyon memungkinkan wacana diuraikan atas beberapa text-sentence dari system-sentence
Kepustakaan
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Cambridge: Harvard University Press.
Dijk, T.A. Van. 1988. Discourse Analisis as a New Cross-Discipline. Dalam Mercer, Neil             (Ed.). Language and Literacy. Milton Keynes, Philadelphia: Open University             Press.
Kartomihardjo, Soeseno. 1989. Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat. Prasaran             disampaikan dalam pertemuan Ilmiah MLI Regional Jawa Timur. Malang: IKIP             Malang. 20-21 Oktober.
Mey, Jacob L., 1996. Pragmatic An Introduction. USA: Blackweel Oxford UK &             Cambride.
Samsuri. 1987/1988. Analisis Wacana. Malang: Penyelenggaraan Pendidikan             Pascasarjana. Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. IKIP             Malang.
Stubbs, Michael. 1984. Discourse Analisis: The Sociolinguistic Analisis of Language.             Oxford: Basil Blackwell Publisher.

keterampilan berbahasa

MENULIS ARTIKEL
(dalam Majalah Sekolah)

Oleh: Imron Rosidi



            Jangan bosan-bosan untuk menulis dan mengirimkan ke mading, majalah sekolah, surat kabar, atau ke penerbit. Kirimkan hasil tulisan Anda dan jangan berhenti karena menunggu jawaban dari pimpinan redaksi atau penerbit. Tulisan pertama belum ada jawaban, kirimkan tulisan yang kedua, begitu seterusnya. Kiriman yang ke sebelas tidak diterima itu sudah biasa, dan kiriman kedua belas diterima, itu baru luar biasa.
            Kemampuan menulis artikel perlu dimiliki oleh seorang siswa, meskipun masih menjadi penulis pemula. Dengan menulis artikel, siswa dapat mengungkapkan isu tertentu yang ada di masyarakat dengan menggunakan sudut pandang tertentu. Siswa terbiasa mengulas dan mengupas sebuah masalah dengan menampilkan fakta-fakta yang diperoleh, baik yang diperoleh melalui studi pustaka, studi dokumentasi, maupun hasil observasi. Setelah mengungkapkan fakta-fakta tersebut, siswa perlu memberikan solusi agar masalah yang diangkat dapat dicarikan jalan keluarnya.
            Sebelum menulis artikel, baik yang berupa artikel populer maupun artikel ilmiah, siswa perlu memahami terlebih dahulu pengertian artikel. Selain itu, siswa perlu juga memahami langkah-langkah menulis artikel, serta hal-hal yang perlu diungkapkan dalam sebuah artikel. Dengan memahami hal-hal tersebut, siswa tidak akan kesulitan mengembangkan sebuah permasalahan dalam sebuah tulisan berbentuk artikel. Hal-hal yang berhubungan dengan artikel tersebut akan diungkapkan dalam uraian berikut.

Apa itu Artikel?
            Dalam dunia jurnalistik, artikel dapat diartikan sebuah karangan prosa yang dimuat dalam media massa, yang membahas isu tertentu dan menjadi masalah yang sedang ramai dibicarakan orang. Isu tersebut bukanlah sebuah desas-desus yang hanyalah sebuah kabar burung yang belum jelas keberadaannya. Sofyan mengartikan artikel sebagai karangan bebas yang mengangkat berbagai macam permasalahan (2006:150). Permasalahan yang diangkat dalam sebuah artikel hendaknya benar-benar terjadi dan sedang berkembang dalam masyarakat (lokal, nasional, mau¬pun internasional).
            Artikel dapat pula berupa tulisan lengkap dalam majalah, tabloit, atau surat kabar, termasuk majalah/koran sekolah dan Mading. Tulisan bentuk ini pada umumnya diisi para penulis yang memiliki spesifikasi keilmuan tertentu. Gus Dur misalnya, selalu mengisi kolom artikel yang membahas masalah kenegaraan, politik, dan agama. Habibie lebih suka mengisi kolom artikel tentang teknologi, sedangkan Mustofa Bisri tak jarang mengisi kolom artikel dalam surat kabar tentang keberadaan suatu organisasi keagamaan di Indonesia. Kalangan siswa bisa menulis artikel tentang kepemudaan, prestasi pelajar, atau tentang masa remaja.
            Melihat bentuk atau strukturnya, artikel tampak seperti esei. Hanya saja, artikel sebenarnya memiliki perbedaan dengan esei sebab artikel tidak bersifat pribadi, dan cakupannya sangat luas. Selain itu, berbeda dengan esei, artikel tidak begitu mengindahkan bentuk dan menonjolkan segi keindah¬an bahasa. Warna tulisan pada artikel lebih banyak ditentukan oleh gaya atau selera penulis, sementara esei lebih setia pada kaidah, hukum, dan tuntutan kebahasaan pada umumnya.
            Artikel lebih dimaksudkan untuk menyampaikan fakta, anali¬sis terhadap fakta, penilaian (setuju atau tidak setuju), dan melon¬tarkan ide atau gagasan alternatif pribadi dengan tujuan meyakin¬kan, membujuk, atau menghibur pembaca agar pembaca mengambil posisi tertentu terhadap pokok-pokok gagasannya. Fakta-fakta yang ditampilkan merupakan hasil penggalian secara saksama oleh penulis, baik melalui studi pustaka, studi dokumentasi, maupun dari hasil observasi. Fakta-fakta tersebut dapat diungkapkan dalam sebuah tabel, grafik, maupun uraian dalam bentuk contoh-contoh.
            Dari segi siapa yang menulis, ada: 1) artikel redaksi, dan 2) artikel umum. Artikel redaksi adalah karangan prosa dalam media massa (koran sekolah, majalah sekolah, surat kabar) yang digarap oleh redaksi (biasanya oleh tim) di bawah tema ter¬tentu yang menjadi isi penerbitan, sesuai dengan kejadian atau peristiwa aktual. Penyuguhannya bisa dalam bentuk laporan utama, atau laporan khusus, sedangkan artikel umum adalah karangan prosa dalam media massa yang ditulis oleh umum (bukan redaksi). Artikel demikian biasa juga disebut “opini.”
            Tema artikel umum biasanya di¬sesuaikan dengan tema artikel redaksi. Oleh karena itu, kalau ingin tulisan dimuat dalam media massa, Anda harus peka ter¬hadap tema-tema yang dipilih redaksi. Dalam hal ini, tidak ada rumus tertentu yang bisa dijadikan pegangan selain kejelian dan kepekaan menangkap tanda-tanda zaman atau gejala-gejala kemasyarakatan yang biasanya diangkat redaksi untuk menen¬tukan tema artikel-artikelnya.
            Dari segi fungsi atau kepentingannya, artikel dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) artikel khusus, dan 2) artikel sponsor. Artikel khusus adalah karangan prosa dalam media massa yang digarap oleh redaksi yang menjadi tema isi penerbitan saat itu. Artikel khusus disebut juga artikel redaksi, sedangkan artikel sponsor adalah artikel yang isinya membahas atau memperkenal¬kan sesuatu (produk, lembaga, jasa, dll) yang bersifat promosi, atau iklan yang berbentuk artikel.
            Pemuatan iklan dengan mengambil model artikel ini sekarang banyak diminati, baik oleh pemasang maupun oleh pembaca ka¬rena dianggap lebih menarik dan mempunyai nilai lebih. Bagi pembaca, pembaca tidak merasa hanya disuguhi ajakan untuk membeli produk atau memanfaatkan jasa, juga mendapat masukan berharga tentang produk yang ditawarkan. Sementara itu, pemasang iklan merasa tidak begitu bersalah dengan hanya manawarkan barang dagangan atau jasa. Artikel model ini sudah tentu tertutup bagi penu1is umum, kecuali secara pribadi mendapat pesanan dan pihak sponsor, atau dia bergabung dalam biro iklan.

Menulis Artikel dalam Majalah/Koran Sekolah dan Mading
            Siswa menulis artikel? Mengapa tidak? Bahkan apabila mungkin, siswa dapat mengirimkan artikel yang dibuatnya pada surat kabar atau majalah tertentu. Untuk berlatih sebelum mengirimkan artikel pada surat kabar atau majalah, siswa dapat menulis artikel yang dikirim pada redaksi majalah/koran sekolah, atau redaksi majalah dinding.
            Untuk menulis artikel, pada dasarnya tidak ada aturan baku, semua tergantung pada masing-masing penulis. Pada umumnya, semakin sering orang menulis artikel, semakin mudah bagi dia untuk mengganti gaya, menyuguhkan urutan penalaran, mempermainkan daya imajinasi pembaca, atau menuntun pembaca pada kesimpulan yang akan dia tarik.
            Untuk penulis tertentu, artikel ditulis dengan gaya bahasa santai dengan pembahasan yang santai pula melalui kata-kata umum yang sering didengar atau dipakai para pembaca. Pada penulis tertentu pula, ada artikel yang ditulis serius dengan bahasa ilmiah dengan bentuk yang ilmiah pula. Semua itu dapat Anda ketahui apabila Anda sering membaca artikel pada surat kabar atau majalah.
            Berbagai gaya penulisan artikel di atas berlaku untuk penulis senior yang sudah memiliki pengalaman cukup lama dan menjadi langganan surat kabar atau majalah tertentu. Untuk penulis pemula, agar tidak kehilangan kelogisan pikir atau arah, penulis artikel disarankan menggunakan pedoman berikut.
1. Carilah inspirasi, kemudian tentukan lebih dahulu isu atau masalah aktual yang akan     dibahas. Tengok kanan-kiri, perhatikan dengan saksama situasi masyarakat di sekeliling     akan Anda. Dengarkan, rasakan apa yang sedang hangat menjadi topik pembicaraan di     masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global, misalnya: masalah narkoba     di kalangan siswa, terorisme, masalah wabah penyakit, masalah pemilu, masalah     pilkada, masalah kematian Taufik Safalas, dan sebagainya. Pilih salah satu, dan pastikan     persoalan yang akan dibahas tidak terlalu luas sesuai dengan media massa yang akan     memuat, kawasan edar media massa bersangkutan, dan pembaca yang akan disasar.     Untuk majalah sekolah dan Mading tentunya masalah penyalahgunaan narkoba sangat     sesuai untuk dijadikan bahan kajian artikel.

Catatan:
Tentu saja tidak tertutup kemungkinan majalah sekolah memuat masalah berskala nasional, misalnya pelaksanaan Ujian Nasional. Akan tetapi, jarang sekali media massa nasional memuat artikel yang membahas tentang isu di sebuah sekolah. Ingat prinsip menulis artikel: jajaki selera pimpinan redaksi, termasuk redaksi majalah sekolah dan Mading.

2. Jabarkan isu atau persoalan yang akan dibahas mengikuti urutan sebagai berikut.
    • Pendahuluan: bersifat  sebagai  pengantar  untuk memasuki masalah yang        sesungguhnya. Bandingkan fungsinya dengan teras/lead dalam berita atau tulisan        khas/feature. Pada bagian ini yang diketengahkan, misalnya masalah moral pelajar,        pendahuluan dapat diisi dengan berbagai tingkah laku pelajar yang menyimpang di        masyarakat.
            Pelajar merokok di lingkungan sekolah. Itu sudah sering ditemui, meskipun        dengan sembunyi-sembunyi. Berpura-pura izin kebelakang untuk buang air kecil,        ternyata merokok di kamar kecil. Mengapa bisa terjadi?

    • Latar Belakang Persoalan: mengapa persoalan tersebut per¬lu dibahas, alasan-        alasannya, dan dampak yang ditimbulkan. Pada bagian ini Anda dapat menampilkan        fakta dan alasan fakta itu bisa terjadi sehingga dapat menjadi alasan pentingnya hal itu        dibahas.

    • Pembahasan:  apa  persoalan sesungguhnya yang perlu dibahas, diuraikan,        dibandingkan dengan persoalan lain, dan sebagainya.
    •  Gagasan pokok: saran-saran pemecahan masalah, ide-ide alternatif yang        dikemukan;
    •  Penutup kesimpulan sugesti, imbauan, ajakan, dan sebagainya.

3. Tuliskan uraian tersebut pada kertas buram atau buku yang Anda miliki. Anda tulis     artikel sementara yang menjadi naskah sementara. Anda dapat juga langsung mengetik     di media komputer apabila di rumah Anda tersedia.
4. Baca kembali naskah sementara itu. Periksa apakah ada salah ketik, salah ejaan, salah     menuliskan istilah atau nama (tempat, orang, lembaga/instansi). Pertimbangkan apakah     urutan penalarannya cukup logis!
5. Apabila semua koreksi sudah dilakukán, tulis atau ketik kembali menjadi naskah final.     Pastikan tidak akan diubah lagi, dan kirimkan ke redaksi media massa yang dituju.     Apabila Anda hendak mengirim ke redaksi majalah sekolah hendaknya sertakan surat     pengantar yang simpatik. Apabila tidak dimuat, Anda perlu mengoreksi lagi atau     mengembangkan atau mengubah isi artikel dari sudut pandang lain.
6. Artikel yang Anda kirim ke majalah sekolah tidak perlu terlalu panjang, cukup 3 sampai     dengan 4 halaman kwarto, 1,5 spasi.
7. Jangan sekali-kali membajak artikel orang lain, menjiplak, atau melakukan tindak plagiat.     Apabila untuk mendukung uraiannya diperlukan mengutip pendapat, kata-kata, atau data     hasil riset orang lain, sebutkan dengan jelas sumber dan mana kutipan atau data itu     diperoleh.
8. Terapkan semboyan: Tiada hari tanpa menulis. Sekali menulis, terus menulis. Jadilah     menulis sebuah budaya, bukanlah sebuah keterpaksaan. Tuliskan di dada Anda, Writing     is fun, menulis itu menyenangkan.

legenda (sastra)

DESA SUMBERDAWESARI
Oleh: Imron Rosidi


            Sekitar abad ke-18 ada seorang putra Brawijaya yang bernama Nasarudin. Ia adalah salah satu warga DIY Yogyakarta yang kabur karena tidak menerima perjanjian Salatiga. Nasarudin kabur ke wilayah timur, tanpa seorang warga dari DIY Yogyakarta mengetahuinya. Ia merantau dari daerah satu ke daerah yang lainnya. Sampai akhirnya ia menetap di suatu kademangan, bernama kademangan Klindungan. Di sana ia banyak memperoleh ilmu. Mulai dari ilmu bela diri sampai ilmu kebatinan.
            Suatu hari Belanda datang untuk menyerang kademangan Klindungan dan sekitarnya. Nasarudin turun ke medan perang untuk bertempur membela rakyat. Pertempuran tidak kunjung redah, terus berlanjut bahkan makin sengit. Korban pun berjatuhan. Banyak wanita melamun, berharap agar suaminya pulang, dan anak-anak menangis mencari ayahnya.
            Belanda kewalahan melawan Nasarudin. Kegigihan dan kesaktian Nasarudin membawa hasil. Belanja meninggalkan wilayah kademangan Klindungan dan sekitarnya. Warga pun senang dan gembira. Mereka juga berterima kasih kepada Nasarudin yang telah menyelamatkan nyawa mereka. Karena kesaktiannya itulah, warga sekitar menjuluki Nasarudin sebagai Wongsopati.
            Nasarudin pindah ke sebuah desa kecil di sebelah timur utara kademangan Klindungan, namanya desa Pilang. Di sana mereka hidup bahagia dan damai. Warga sekitar pun menghormatinya. Mereka menjadikannya orang penting di desa tersebut. Sampai akhirnya ia meninggal di sana. Warga sempat sedih akan kematiannya. Kuburan Nasarudin mereka buat Pesarean untuk menghormatinya.
            Beberapa tahun setelah kematian Nasarudin, desa Pilang pun menjadi kacau balau. Terjadi kejahatan di mana-mana. Mulai dari pencurian, perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, bahkan perebutan harta warisan. Desa itu pun berubah. Dari desa yang damai dan tenteram menjadi desa yang kacau balau. Tidak ada sosok seorang pemimpin yang bisa mencegah.
            ‘Desa ini sudah kacau,’kata seorang nenek kepada cucunya.
            ‘Memangnya desa ini dulunya bangaimana, nek ?’kata sang cucu
            ‘Dulu ada Den Nasarudin. Dia sangat sakti, tapi bijaksana. Tidak ada yang berani             menentang. Tapi sekarang tidak ada yang bisa mengganti. Yang jahat semakin             menjadi jahat karena tidak ada yang bisa mencegah,’kata sang nenek seperti             memelas.
            Kejahatan beberapa warga Pilang juga dirasakan desa lain. Mereka resah karena banyak harta benda maupun ternak mereka yang dicuri oleh warga desa Pilang. Mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Kekuatan masyarakat desa Pilang sulit ditandingi.
            Sampai pada suatu hari, hujan begitu deras mengguyur desa Pilang. Masyarakat desa Pilang kalang kabut menyelamatkan diri. Parit-parit sudah meluap. Ibu-ibu dan anak-anak yang tidak berdosa berteriak-teriak histeris meminta tolong.
            ‘Mak ….. Mak …., ‘teriakan itu terdengar di mana-mana.
            Warga Pilang kebingungan. Dalam sekejap desa mereka diratakan oleh air. Banyak warga yang tidak berdosa meninggal. Mulai dari anak-anak sampai orang yang sudah tua menjadi korban massal oleh tragedi itu. Mereka yang selamat tidak tahu harus berbuat apa. Hanya tangisan pilu yang terdengar karena kehilangan harta benda atau sanak saudaranya.
Warga desa Pilang yang selamat tidak ingin terus larut dalam kesedihan. Mereka rela mendapat cobaan dari yang Mahakuasa akibat perbuatannya sendiri. Mereka ingin menatap hidup baru yang penuh arti. Warga yang selamat sepakat untuk mengungsi ke rumah saudara mereka yang berada di desa lain. Mereka yang tidak mempunyai saudara di desa lain, terpaksa harus mengungsi ke sebuah hutan yang bernama Alas Dawe. Warga Pilang yang tinggal di sana harus memulai kehidupan dari awal. Sebelumnya, alas dawe tidak pernah dihuni manusia. Di sana juga tidak ada tempat tinggal dan persediaan makanan. Mereka memulai dengan membangun rumah, membeli makanan dari desa lain, juga bekerja untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari.
            Beberapa tahun kemudian, Alas Dawe berubah menjadi sebuah desa yang bernama desa Dawe dan dipimpin oleh seorang kepala desa yang bernama Pak Sholeh. Banyak warga lain yang datang ke desa Dawe. Letaknya yang strategis dan masyarakatnya yang sangat produktif menjadi daya tarik tersendiri. Sampai akhirnya desa tersebut menjadi desa yang ramai dan banyak warga desa lain yang tinggal di sana.
            Perselisihan antardesa akhirnya terjadi. Perebutan wilayah antara desa Sumber Topeng, desa Dawe, dan desa Jatisari tidak bisa dielakkan. Pertikaian antara ketiga desa tersebut menyebabkan kerusuhan di mana-mana dan memakan banyak korban jiwa. Kehidupan masyarakat pun menjadi tidak tenang. Serangan dari desa lain setiap saat bisa datang secara tiba-tiba.
            Melihat situasi yang demikian, Kades Sholeh berunding dengan Kades Retno (kepala Desa Jatisari) dan Kades Suro (Kepala Desa Sumber Topeng). Ketiga kepala desa tersebut sepakat untuk bersaing secara sehat. Mereka berkumpul di pendopo.
            ‘Bagaimana ini, apa yang dapat kita lakukan,’kata Kades Suro.
            ‘Saya kira, warga desa Suro harus mundur dulu,’kata Kades Retno.
            ‘Tidak bisa, warga Ibu juga sering mengacau di desa saya. Itu yang membuat             jengkel warga desa saya. Begitu pula warga desa Dawe,’Kades Suro membela             diri.
            ‘Baiklah, semua salah dan semua benar. Bagaimana kalau kita selesaikan secara             bijak,’tawar Kades Sholeh.
            ‘Apa yang dapat kita lakukan? Apa kita harus berperang?’kata Kades Suro
            ‘Baiklah, kalau kita harus berperang,’kata Kades Retno lebih sengit.
            ‘Oh, tidak. Itu bukan jalan yang terbaik. Kita adakan pemilihan Kades yang akan             memimpin ketiga desa kita ini. Bagaimana?’kata kades Sholeh menawarkan.
            ‘Baik, saya setuju,’keduanya serempak.
            Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Mereka bertiga mencalonkan diri kembali untuk dipilih oleh warga desa Sumber Topeng, Dawe, dan Jatisari dan yang menjadi pemenangnya akan memimpin ketiga desa tersebut secara bersamaan. Proses pelaksanaannya sendiri berlangsung selama 1 hari 1 malam dan berlangsung secara tertib dan damai.
            Warga desa tetap bergerombol untuk mengetahui pemenangnya. Ada yang santi bercengkerama sambil menggendong anaknya. Ada pula yang menerawang jauh ke depan sambil menghisap dalam-dalam batang rokoknya, bahkan ada yang ingin bertaruh, siapa pemenangnya.
            Pengumuman suara telah dimulai. Setiap jagonya disebutkan, warga bertepuk tangan kegirangan. Dari pengumpulan suara yang diperoleh, Kades Sholeh yang terbanyak. Kades Sholeh ingin ketiga warga desa tersebut hidup rukun. Diumumkanlah bahwa nama ketiga desa tersebut akan dilebur menjadi satu, yaitu desa Sumberdawesari untuk memudahkan dalam penyebutannya. Pusat pemerintahan terletak di Desa Dawe. Sejak itulah kehidupan warga menjadi tenang. Proses kehidupan berjalan dengan baik sampai sekarang ini.

ilmu bahasa

KLASIFIKASI TINDAK TUTUR
Oleh: Imron Rosidi


            Ada beberapa klasifikasi tindak tutur yang disampaikan Austin, Searle, dan Leech, seperti yang diuraikan di bawah ini. Tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca dalam memahami tindak tutur dalam kajian pragmatik, terutama bagi mahasiswa S1 jurusan bahasa.

Klasifikasi Tindak Tutur Austin
            Menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu, dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadian karena pada umumnya ujaran yang merupakan tindak tutur mempunyai kekuatan-kekuatan. Berdasarkan hal tersebut, Austin membedakan atau mengklasifikasi tindak tutur menjadi tiga aspek (kekuatan) (May,1996). Ketiga aspek tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut. (1) Kekuatan lokusi adalah makna dasar dan makna referensi (makna yang diacu) oleh ujaran itu. (2) Kekuatan ilokusi adalah kekuatan yang ditimbulkan oleh penggunaan ujaran itu sebagai perintah, ujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya. (3) Kekuatan perlokusi adalah hasil atau efek dari ujaran itu terhadap pendengar (mitra tutur), baik yang nyata maupun yang diharapkan.
            Ketiga kekuatan di atas dapat dicontohkan dalam sebuah tuturan berikut. Seseorang tuan rumah menyampaikan tuturan kepada tamunya ketika jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, “Sudah pukul 9 mas.” Lokusi kalimat itu menginformasikan bahwa saat itu sudah pukul 9 malam. Akan tetapi, sebagai sebuah ilokusi, tuturan itu memiliki tujuan memerintah agar sang tamu segera pulang karena sudah malam, dapat dikatakan tuturan itu sebagai perintah. Perlokusinya dapat membuat sang tamu segera berpamitan dan diwujudkan dengan tuturan tanggapan seperti “Ya, saya pulang”, “Ya, sebentar lagi.”, dan sebagainya.
            Pujian, ejekan, keluhan, janji, dan sebagainya merupakan fungsi tindak tutur. Hal ini menunjukan bahwa pada tindak ilokusi itu, dalam hal tertentu, melekat fungsi tindak tutur yang melekat dalam tuturan (Sumarsono, 2002:323). Kekuatan ilokusi inilah yang banyak digeluti oleh ahli tindak tutur (peneliti), meskipun dari sudut pandang pragmatik, aspek perlokusi adalah yang paling menarik untuk dikaji.
            Sebagian besar ahli tindak tutur mengatakan bahwa klasifikasi yang disampaikan Austin terlalu abstrak dan belum memberikan taksonomi yang jelas. Searle (1975) mengatakan antara lain bahwa dalam hasil kerja Austin masih terdapat hal yang yang membingungkan, yaitu definisi tindak tutur yang diberikannya terlalu luas. Kemudian, dalam skema klasifikasinya terdapat kategori yang tumpang tindih, seperti tindak tutur menjelaskan pada saat yang sama merupakan bagian dari kategori berbeda, yaitu dapat digolongkan dalam verdikatif dan ekspositif. Levinson (1985) menambahkan bahwa tindak tutur lokusi dan ilokusi memang bisa dideteksi sehingga studi makna kalimat dapat dilakukan secara lepas. Namun, yang tidak jelas dari teori tersebut adalah perbedaan tindak ilokusi dan perlokusi.
            Menurut Levinson, berdasarkan kondisionalnya, tuturan (10) di bawah ini dapat memiliki daya ilokusi, yaitu menyuruh, mendesak, menyarankan seseorang untuk memiliki pengaruh perlokusi, yakni meyakinkan atau mengancam seseorang untuk memukul dia. Tuturan (11) pun dapat memiliki daya ilokusi untuk memprotes, namun juga memiliki akibat perlokusi, yakni pengecekan tindakan kepada seseorang atau dapat juga bermakna memarahi.
    (10) Pukul dia!
    (11) Kamu pasti bisa melakukannya.
            Karena adanya berbagai kekurangan pada teori tindak tutur Austin, upaya-upaya untuk mengadakan klasifikasi secara lebih cermat telah banyak dilakukan para ahli tindak tutur. Dalam kaitan ini, klasifikasi tindak tutur yang disampaikan adalah dilakukan oleh Searle, Leech , dan rangkuman klasifikasi tindak tutur dari berbagai ahli tindak tutur.

Klasifikasi Tindak Tutur Searle
            Teori tindak tutur yang yang dikembangkan Searle dipandang lebih konkret oleh beberapa ahli. Searle menggunakan ide-ide Austin sebagai dasar mengembangkan teori tindak tuturnya. Bagi Searle (l969:16), semua komunikasi bahasa melibatkan tindak. Unit komunikasi bahasa bukan hanya didukung oleh simbol, kata atau kalimat, tetapi produksi simbol, kata, atau kalimat dalam mewujudkan tindak tutur. Produksi kalimat yang berada pada kondisi-kondisi tertentu merupakan tindak tutur, dan tuturan merupakan unit-unit minimal komunikasi bahasa. Berdasarkan pandangan tersebut, pada awalnya Searle membagi tindak tutur menjadi empat jenis, yakni (a) tindak ujaran (utterance act), yaitu kegiatan menuturkan kata-kata sehingga unsur yang dituturkan berupa kata atau morfem; (b) tindak proposisional (propositional act), yaitu tindak menuturkan kalimat; (c) tindak ilokusi (Ilocutionary act), yaitu tindak menuturkan kalimat, tetapi sudah disertai disertai tanggung jawab penutur untuk melakukan suatu tindakan; dan (d) tindakan perlokusi (perlocutionary act), yaitu tindak tutur yang menuntut mitra tutur untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
            Dalam perkembangannya, Searle (1975) mengembangkan teori tindak tuturnya terpusat pada ilokusi. Pengembangan jenis tindak tersebut berdasarkan pada tujuan dari tindak, dari pandangan penutur. Secara garis besar pembagian Searle adalah sebagai berikut.
1. Asertif (Assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi yang     diungkapkan, misalnya, menyatakan, mengusulkan, membuat, mengeluh,     mengemukakan pendapat, dan melaporkan.
2. Direktif (Directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan     yang dilakukan oleh penutur; misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut,     dan memberi nasihat.
3. Komisif (Commissives): pada ilokusi ini penutur sedikit banyak terikat pada suatu     tindakan di masa depan, misalnya, menjanjikan, menawarkan. Jenis ilokusi ini     cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif karena tidak     mengacu pada kepentingan penutur, tetapi pada kepentingan petutur (mitra tutur).
4. Ekspresif (Expressive): fungsi ilokusi ini ialah mengungkap atau mengutarakan sikap     psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya:     mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji,     mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.
5. Deklarasi (Declaration): berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya     kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya: mengundurkan diri,     membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/     membuang, mengangkat, dan sebagainya.

Klasifikasi Tindak Tutur Leech
            Seperti halnya Searle, Leech juga mengkritisi tindak tutur yang disampaikan Austin. Dia mempersoalkan penggunaan kata kerja tindak tutur Austin yang cenderung hanya melihat kata kerja dalam bahasa Inggris berhubungan satu lawan satu dengan kategori tindak tutur. Leech mengatakan bahwa dalam klasifikasi Austin ke dalam verdikatif, eksersitif, komisif, behabit, dan ekspositif mengandung kesalahan kata kerja ilokusi (Lihat Leech, 1983:176). Menurut Leech, situasi berbeda menuntut adanya jenis-jenis kata kerja berbeda dan derajat sopan santun yang berbeda juga. Pada tingkat yang paling umum fungsi ilokusi dapat dibagi menjadi empat jenis, sesuai dengan hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat.
            Klasifikasi fungsi ilokusi Leech adalah sebagai berikut.
1. Kompetitif (Competitif),  tujuan  ilokusi  bersaing  dengan  tujuan sosial, misalnya:     memerintah,  meminta, menuntut, mengemis.
2. Menyenangkan (convivial),  tujuan  ilokusi  sejalan  dengan tujuan sosial, misalnya:     menawarkan/mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih,     mengucapkan selamat.
3. Bekerja sama (collaborative), tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial, misalnya:     menyatakan, melapor, mengumumkan, dan mengajarkan.
4. Bertentangan (conflictive), tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya:     mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi.
            Di antara keempat jenis ilokusi ini yang melibatkan sopan santun ialah jenis pertama (kompetitif) dan jenis kedua (menyenangkan). Pada ilokusi yang berfungsi kompetitif, sopan santun mempunyai sifat negatif dan tujuannya ialah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi apa yang ingin dicapai oleh penutur dan apa yang yang dituntut oleh sopan santun. Yang disebut tujuan-tujuan kompetitif ialah tujuan-tujuan yang pada dasarnya tidak bertata krama (discourteous), misalnya meminta pinjaman uang dengan nada memaksa. Di sini, tata krama dibedakan dengan sopan santun. Tata krama mengacu kepada tujuan, sedangkan sopan santun mengacu kepada perilaku linguistik atau perilaku lainnya untuk mencapai tujuan itu. Oleh karena itu, prinsip sopan santun dibutuhkan untuk memperlembut sifat tidak sopan yang secara intrinsik terkandung dalam tujuan itu.
            Sebaliknya, jenis fungsi ilokusi yang kedua, yaitu fungsi menyenangkan, pada dasarnya bertata krama. Pada posisi ini, sopan santun lebih positif bentuknya dan bertujuan untuk mencari kesempatan beramah tamah. Jadi, dalam sopan santun yang positif, berarti menaati prinsip sopan santun, misalnya bahwa apabila ada kesempatan mengucapkan selamat ulang tahun, kita harus melakukannya. Jenis fungsi yang ketiga, yaitu fungsi ilokusi bekerja sama, tidak melibatkan sopan santun karena pada fungsi ini sopan santun tidak relevan. Sebagian besar wacana tulisan masuk dalam kategori ini.
            Dalam jenis fungsi ilokusi yang keempat, yaitu fungsi bertentangan, unsur sopan santun tidak ada sama sekali karena fungsi ini bertujuan untuk menimbulkan kemarahan. Mengancam atau menyumpahi orang misalnya, tidak mungkin dilakukan dengan sopan, kecuali penutur menggunakan eufemisme (penghalus). Agaknya dalam proses sosialisasi, si anak belajar menggantikan komunikasi yang konfliktif dengan jenis komunikasi lain, khususnya dengan jenis kompetitif. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam situasi yang normal, pengaruh linguistik yang konfliktif cenderung bersifat marginal dan tidak memegang peranan yang penting.
            Untuk itu, dalam membicarakan perilaku linguistik yang sopan dan tidak sopan, perhatian akan dipusatkan khusus pada ilokusi kompetitif dan ilokusi menyenangkan, dan pada kategori-kategori sopan santun yang negatif dan positif pada ilokusi-ilokusi tersebut.
            Klasifikasi yang dibuat Leech berdasarkan fungsi, sedangkan yang dibuat Searle berdasarkan pada berbagai kriteria. Menurut Leech, klasifikasi Searle juga terdapat pengaruh sopan santun. Secara garis besar kategori Searle apabila dikaitkan dengan sopan santun adalah sebagai berikut.
1. Asertif (Assertives): pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi yang     diungkap, misalnya: menyatakan, mengusulkan, membuat, mengeluh, mengemukaan     pendapat, melaporkan. Dari segi sopan santun ilokusi-ilokusi ini cenderung netral,     yakni, termasuk kategori bekerja sama. Akan tetapi, ada beberapa perkecualian,     misalnya membuat biasanya dianggap tidak sopan. Dari segi semantik ilokusi asertif     bersifat prosisional.
2. Direktif (Directives): ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan     yang dilakukan oleh penutur, misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut,     memberi nasihat. Jenis ilokusi ini sering dimasukkan ke dalam kategori kompetitif     karena juga mencakup kategori-kategori ilokusi yang membutuhkan sopan santun     negatif. Namun di pihak lain terdapat juga ilokusi direktif (seperti mengundang) yang     secara intrinsik memang sopan. Agar ilokusi direktif tidak dikacaukan dengan ilokusi     langsung dan tak langsung (direct and indirect ilocutions) digunakan istilah impositif     (impositive) khususnya untuk mengacu pada ilokusi kompetitif dalam kategori direktif     ini.
3. Komisif (Commissives): pada ilokusi ini penutur sedikit banyak terikat pada suatu     tindakan di masa depan, misalnya: menjanjikan, menawarkan. Jenis ilokusi ini     cenderung berfungsi menyenangkan dan kurang bersifat kompetitif karena tidak     mengacu pada kepentingan penutur tetapi pada kepentingan petutur.
4. Ekspresif (Expressive): fungsi ilokusi ini ialah mengungkap atau mengutarakan sikap     psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya:     mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji,     mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya. Sebagaimana juga dengan ilokusi     komisif, ilokusi ekspresif cenderung menyenangkan. Oleh karena itu, secara intrinsik,     ilokusi ini sopan, kecuali tentunya ilokusi-ilokusi ekspresif seperti “mengecam” dan     “menuduh”.
5. Deklarasi (declaration): berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya     kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya: mengundurkan diri,     membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan /     membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya. Searle mengatakan bahwa     tindakan ini merupakan kategori tindak tutur yang sangat khusus karena tindakan-     tindakan ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang berada dalam kerangka acuan     kelembagaan diberi wewenang untuk melakukannya. Contoh klasik ialah hakim yang     menjatuhkan hukuman kepada pelanggar undang-undang, pejabat yang memberi nama     pada sebuah kapal baru, dan sebagainya.
            Sebagai suatu tindakan kelembagaan dan bukan sebagai tindakan pribadi, tindakan-tindakan tersebut hampir tidak melibatkan faktor sopan santun. Misalnya, walaupun menjatuhkan hukuman itu bukan suatu pekerjaan yang menyenangkan, namun hakim berwewenang melakukannya. Hal itu tidak dapat dikatakan menjatuhkan hukuman ‘dengan tidak sopan’. Selain itu, sopan santun juga tidak gayut dengan ilokusi deklarasi karena jenis ilokusi ini tidak mempunyai penutur seperti yang dimiliki oleh wacana pribadi. Dengan kata lain, penutur yang mengucapkan deklarasi menggunakan bahasa sekadar sebagai tanda lahiriah bahwa suatu tindakan kelembagaan (atau tindakan sosial, keagamaan, hukum) telah dilaksanakan. Oleh karena itu, sangat tidak pada tempatnya dan juga sangat mengecilkan kekuatan deklarasi apabila misalnya, seorang pejabat yang sedang memecat karyawannya menambahkan sopan santun pada kata-katanya, dan mengubah, ‘Saya memecat Anda…” menjadi ”Dapatkah saya memecat Anda…” dan sebagainya. Ini juga berlaku untuk deklarasi yang lebih pribadi sifatnya, seperti mengundurkan diri dari sebuah permainan.
            Walaupun ada beberapa kasus yang tidak tercakup oleh ringkasan-ringkasan tersebut, secara umum dapat disimpulkan bahwa menurut klasifikasi Searle, tempat-tempat utama sopan santun positif ialah di dalam kategori ilokusi komisif dan kategori ekspresif.