khasanah sastra

LEGENDA
BARU KLINTHING
Imron Rosidi


            Dahulu kala, terdapat sebuah Kademangan yang dikenal dengan sebutan Kademangan Klindungan. Kademangan Klindungan merupakan kademangan yang alamnya subur dan rakyatnya sejahtera, ditambah lagi pemandangan yang elok oleh birunya pegunungan Tengger di sebelah utara. Selain itu, kehidupan warga di Kademangan Klindungan tenteram.

            Di Kademangan Klindungan ada seorang begawan yang bijaksana dan sakti mandraguna. Dia bernama Begawan Nyampo. Jika ada masalah, warga setempat meminta saran dan nasihat kepada sang Begawan. Suatu ketika, datanglah seorang wanita yang cantik menawan dan pakaiannya laksana seorang puteri kerajaan. Memang benar wanita itu adalah seorang puteri dari kerajaan Mataram.
            ”Permisi Ki sanak.”
            ”Ada apa, Neng ayu?,” jawab seorang warga.
            ”Apa nama daerah ini?”
            ”Oh, ini daerah Klindungan. Maaf, kalau boleh tahu, Neng ayu mau pergi ke mana              dan dari mana?.”
            ”Saya dari kerajaan Mataram dan saya nggak tahu, saya mau pergi ke mana.              Terserah ke mana kaki ini melangkah ke situlah tujuan saya.”
            ”Kalau boleh tahu, siapa nama Neng ayu?.”
            ”Nama saya Endang Sukarni.”
            ”Terus, kalau Neng ayu tidak ada tujuan, bagaimana kalau Neng ayu menginap              atau beristirahat di rumah saya?.”
            ”Terima kasih, saya tidak ingin merepotkan Ki sanak .”
            ”Tidak, justru saya senang jika neng mau singgah di rumah Bapak barang              sebentar saja.”
            ”Tidak Ki sanak, terima kasih banyak atas tawarannya.”
            ”Ya sudah kalau begitu, bagaimana kalau Neng ayu saya antarkan ke rumah              seorang begawan.”
            ”Begawan?”
            ”Iya Begawan Nyampo. Beliau adalah seorang begawan yang bijaksana dan sakti              mandraguna bahkan warga di sini jika ada masalah selalu meminta nasihat dan              saran dari beliau”
            ”Baiklah Ki sanak.”
            ”Ya sudah ayo kita berangkat sekarang.”
            ”Mari Ki sanak.”
            Berjalanlah Endang Sukarni dengan seorang bapak yang sudah menginjak tua itu. Di perjalanan keduanya masih terlibat pembicaraan.
            ”Ki sanak, apakah tempatnya masih sangat jauh?,” lanjut Endang Sukarni.
            ”Tidak, sebentar lagi sudah sampai. Rumah Begawan Nyampo ada di sekitar              sumur Kediren. Itu rumah Begawan Nyampo,” kata bapak itu sambil menunjuk              sebuah rumah yang sederhana.
            ”Apakah maksud Ki sanak, rumah yang bercat putih itu?”
            ”Benar Neng ayu, itu rumah Begawan Nyampo.”
            Beberapa menit kemudian, sampailah mereka di rumah Begawan Nyampo. Dilepaskannya alas kaki sebelum masuk ke pelataran rumah Begawan Nyampo sambil mengucap salam.
            ”Nuwun sewu…….. (diambil dari bahasa Jawa yang berarti permisi).”
            ”Manggo ………,’kata tuan rumah.
            ”Ada apa Ki sanak, ada yang bisa saya Bantu?,” kata seorang cantrik yang              menerima tamu dengan santun.
            ”Apakah Begawan Nyampo ada?.”
            ”Ada, beliau sedang bersemedi. Sebentar saya akan lihat dulu.”
            ”Tunggu,” kata orang tua itu sambil mengangkat tangannya.
            ”Iya, ada apa lagi Ki sanak?”
            ”Begini maksud kedatangan saya kemari cuma mau mengantarkan Neng ayu ini.              Dia ingin menemui Begawan Nyampo.”
            ”Oh ... jadi begitu maksud kedatangan Ki sanak kemari”
            ”Iya. Baiklah kalau begitu saya pergi dulu. Mari Neng ayu”
            ”Terima kasih Ki sanak,” kata Endang Sukarni dengan lembut.
            Setelah Bapak itu mengantarkan Endang Sukarni ke rumah Begawan Nyampo, dia pergi. Kemudian seorang cantrik Begawan Nyampo mempersilakan Endang Sukarni masuk.
            ”Silakan masuk Neng ayu. Sebentar saya akan panggilkan guru.”
            ”Iya,” jawab Endang Sukarni dengan santun.
            Masuklah cantrik itu ke tempat persemedian Begawan Nyampo. Saat itu, seperti hari-hari biasanya Begawan Nyampo sedang bersemedi.
            ”Permisi Guru,”kata sang cantrik sambil berjalan duduk mendekati sang guru.
            ”Masuk,” jawab bagawan dengan lembut
            ”Maaf Guru, hamba menggangu semedi Guru.”
            ”Ada apa Cantrik?”
            ”Ada tamu Guru.”
            ”Siapa?.”
            ”Seorang wanita dari kerajaan Mataram.”
            ”Tidak jelas Guru, dia hanya menyampaikan kalau dari Mataram”
            ”Baiklah sekarang kamu boleh pergi.”
            ”Iya Guru. Permisi.”

            Begawan Nyampo pun menemui Endang Sukarni. Begawan Nyampo memperhatikan wajah wanita di depannya. Beberapa saat kemudian, Bagawan bertanya kepada wanita di depannya.
            ”Siapa namamu?”
            ”Nama hamba Endang Sukarni.”
            ”Ki sanak datang darimana dan apa maksud kedatangan Ki sanak menemuiku?.”
            ”Hamba berasal dari kerajaan Mataram. Saat ini, hamba sebatang kara. Maksud              kedatangan hamba menemui Begawan adalah hamba bermaksud mengabdi di sini              dan hamba ingin memperoleh ilmi-ilmu kebijaksanaan dari Begawan. Itu pun jika              Begawan tidak keberatan,” pinta Endang Sukarni dengan memelas.
            ”Baiklah kalau itu keinginanmu. Untuk sementara waktu, aku minta kamu              membantu cantrik-cantrik memasak di dapur.”
            ”Terima kasih Begawan. Hamba akan melaksanakan semua perintah Begawan, ”              ucap Endang Sukarni dengan mata berbinar.
            Tresno jalaran soko kulino. Bunyi ungkapan Jawa itu cocok dengan apa yang terjadi kepada Begawan Nyampo. Hampir setiap hari Begawan Nyampo bertemu dengan Endang Sukarni. Lama kelamaan hati Begawan Nyampo tertarik dengan kecantikan dan keanggunan tutur bicara serta perilaku Endang Sukarni sangat santun.
            Suatu hari, tanpa sengaja tiupan angin menyingkap pakaian Endang Sukarni yang kebetulan saat itu dia sedang mengantarkan makanan kepada Begawan Nyampo. Akibat tiupan angin yang menyingkap pakaiannya, tampaklah kemulusan dan kehalusan kulit betis Endang Sukarni. Kejadian itu membuat Begawan Nyampo tertegun dan darahnya berdesir. Dengup jantungnya tidak karuan. Di hatinya berkecamuk perasaan yang selama ini dikubur dalam-dalam.
            Tanpa disadarinya, keluarlah air suci dari tubuhnya. Air yang biasa terpancar dari seorang lelaki dewasa yang sedang tenggelam dalam kasmaran. Air suci tersebut disambar dan digenggamnya erat-erat. Atas kekuasaan yang di atas dan melalui kesaktian Begawan Nyampo, air suci tersebut akhirnya diubahnya menjadi sebuah pisau kecil atau pangot. Dengan perasaan tak menentu, pangot itu diberikan kepada Endang Sukarni.
            ”Endang Sukarni, kemarilah,”kata Begawan Nyampo
            ”Hamba Guru.”
            ”Aku mempunyai sebuah pangot. Gunakanlah pangot ini untuk keperluanmu di             dapur. Berhati-hatilah dalam menggunakannya. Pangot ini sangat tajam, tetapi ada              satu pantangan yang harus selalu kamu ingat yakni jangan sekali-sekali pangot ini              kamu letakkan di atas pangkuanmu.”
            ”Terima kasih Guru. Hamba akan selalu mematuhi perintah guru serta mengingat              selalu nasihat guru.”
            ”Baiklah kalau begitu. Sekarang kamu bisa melanjutkan pekerjaan kamu di dapur.”
            ”Iya Guru. Permisi.”
            ”Silakan.”
            Hampir setiap hari, Endang Sukarni mengingat nasihat Begawan Nyampo. Setiap selesai memasak, Endang Sukarni menyimpan pangot itu di tempat yang aman. Suatu hari, Endang Sukarni lupa akan pantangan tersebut. Dia meletakkan pangot itu di pangkuannya. Dengan seketika pangot itu lenyap. Melihat pangotnya tidak ada, Endang Sukarni panik.
            ”Dimana pangotku, bukankah tadi aku meletakannya di sampingku,” kata Endang              Sukarni sambil memeriksa semua isi dapur.
            Sudah beberapa bulan lamanya, Endang Sukarni merahasiakan hilangnya pangot itu dari Begawan Nyampo. Ternyata hal itu semakin membuat gundah hati Endang Sukarni. Sejak hilangnya pangot itu, Endang Sukarni merasa sesuatu yang aneh telah terjadi pada perutnya. Setiap hari perutnya semakin membesar. Hal itu semakin membuat Endang Sukarni bertanya-tanya.
            ”Apakah aku hamil?,” kata Endang Sukarni dalam hati.
            Suatu hari Endang Sukarni ingin menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada Begawan Nyampo. Dengan perasaan takut dia menemui Begawan Nyampo.
            ”Permisi, Guru.”
            ”Ada apa?.”
            ”Begini Guru, saya mau meminta maaf kepada guru.”
            ”Kesalahan apa yang telah kamu lakukan sehingga kamu menangis?”
            ”Maafkan saya Guru. Saya lupa akan nasihat guru tentang pangot itu. Tanpa saya              sadari, saya telah meletakkan pangot itu di pangkuan saya dan sejak lenyapnya              pangot itu dari pangkuan saya. Perut saya semakin membesar. Apakah saya              hamil? Tidak mungkin saya hamil karena saya tidak pernah disentuh lelaki              manapun.”
            Mendengar cerita Endang Sukarni, Begawan Nyampo kaget. Meskipun kaget, Begawan Nampo tetap menenangkan hati Endang Sukarni. Pelan-pelan Begawan Nyampo memberikan penjelasan kepada Endang Sukarni agar dia mau mengerti keadaan yang sebenarnya. Setelah Endang Sukarni mendengarkan penjelasaan Begawan Nyampo, dia menangis.
            ”Jadi hamba benar-benar hamil, Guru.”
            ”Iya. Tenanglah aku kan selalu menjaga kamu.”
            Kehadiran seorang bayi mungil yang ditunggu-tunggu oleh Endang Sukarni dan Begawan Nyampo akhirnya datang juga di tengah-tengah mereka. Betapa kagetnya mereka, saat melihat kulit bayi itu bersisik seperti ular. Bahkan wajahnya begitu menakutkan. Di bagian belakang tumbuh semacam ekor.
            Dengan menahan rasa malu, dibesarkannya bayi itu layaknya manusia biasa. Bayi itu diberi nama Jaka Baru. Agar mudah diketahui keberadaannya, ekor pada bayi itu diberi lonceng kecil atau klinthingan (Jawa). Lama kelamaan, anak itu dipanggil Baru Klinthing.
            Baru Klinthing tumbuh dengan cepatnya. Tetapi, rasa malu yang ada di hati kedua orang tuanya tetap ada. Karena itu, dengan berbagai cara, mereka berusaha menyingkirkan Baru Klinthing. Lagi-lagi rencana mereka gagal menyingkirkan Baru Klinthing. Kemudian pada suatu hari, Begawan Nyampo menyuruh Baru Klinthing bertapa.
            ”Anakku Baru Klinthing.”
            ”Iya Ayahanda”
            ”Sudah saatnya kamu mulai melakukan tapa brata. Bertapalah ke hutan di sebelah              utara. Jika kamu berhasil, kelak kamu akan berubah menjadi manusia yang              sempurna”
            ”Benarkah Ayahanda?.”
            ”Iya Anakku. Baru Klinthing. Perlu kamu ingat, jangan sekali-kali pulang ke              rumah ini sebelum kamu berhasil dalam bertapa. Kami tidak bisa menerimamu              jika kamu belum berhasil.”
            ”Baiklah Ayahanda, ananda akan berangkat sekarang. Mohon doanya.”
            ”Iya anakku. Berhati-hatilah,” kata Endang Sukarni dengan lembut.
            ”Iya Bunda, ananda akan berhati-hati”
            Setelah mendengar perintah ayahnya, Baru Klinthing pergi ke hutan di sebelah utara. Dia pun bertapa brata di sana. Untuk sementara terasa tenanglah hati kedua orang tuanya. Sementara itu, di Kademangan Klindungan sedang terjadi musim kemarau panjang. Banyak ternak yang mati, sawah dan ladang kekeringan karena sulitnya mencari sumber air.
            Suatu hari Ki Demang ingin mengadakan selamatan desa agar musim kemarau panjang cepat berlalu dan hujan turun. Tetapi Ki Demang bingung.
            ”Bagaimana bisa selamatan desa banyak ternak yang mati, sawah dan lading              kekeringan serta persediaan makanan di lumbung tinggal sedikit”
            Pertanyaan itu selalu mengganjal di hati Ki Demang. Dipanggilnya Ki Bayan.
            ”Ki Bayan …….. Ki Bayan.”
            ”Dalem Ki Demang.”
            ”Ki Bayan, kemarilah!”
            ”Iya Ki Demang.”
            ”Ki Bayan, saat ini di Kademangan sedang kemarau panjang dan saya ingin              mengadakan selamatan desa agar musim kemarau panjang cepat berlalu dan              hujan turun. Tetapi bagaimana kita bisa selamatan desa, banyak ternak yang mati,              sawah dan ladang kering serta persediaan makanan di lumbung tinggal sedikit.”
            ”Ki Demang, saya punya usul.”
            ”Apa?”
            ”Bagaimana kalau seluruh warga Kademangan diwajibkan berburu?.”
            ”Usul yang bagus. Baiklah kalau begitu umumkan kepada semua warga              kademangan untuk berburu.”
            ”Baiklah Ki Demang. Saya akan mengumumkannya sekarang juga. Permisi Ki              Demang.”
            ”Iya.”
            Setelah mendengar pengumuman itu, semua warga Kademangan berduyun-duyun mencari hewan buruan. Tetapi sayang, tak seekor hewan pun berkeliaran di hutan seolah-olah mereka sudah tahu kalau mereka akan diburu. Meskipun sudah tua, Kek Kerti ikut serta dalam mencari hewan buruan. Karena capek, Kek Kerti beristirahat di akar suatu pohon. Saat duduk di akar itu, Kek Kerti kaget karena akar itu bisa bergerak.
            ”Apa ini dan mengapa akar ini bisa bergerak?” kata Kek Kerti sambil meraba-raba              akar pohon itu.
            ”Mengapa akar pohon ini halus tidak seperti akar pohon lainnya? Apa ini              sebenarnya?” hatinya diselimuti beribu-ribu pertanyaan.
            Saat hatinya diselimuti ribuan pertanyaan, tiba-tiba saja ada suara menggema dan cukup keras. Hampir saja Kek Kerti melompat kaget. Untunglah suara itu mencegahnya.
            ”Kek Kerti ….. jangan takut. Yang kakek duduki adalah punggungku.”
            ”Siapa kau sebenarnya? Mengapa punggungmu halus seperti ……. seperti              ……?.”
            ”Maksud kakek seperti ular.”
            ”Iya.”
            ”Memang Kek, aku adalah seekor ular. Tenanglah Kek, aku tidak akan              melukaimu. Saat ini aku sedang bertapa. Jika aku berhasil aku akan menjadi              manusia yang sempurna.”
            ”Mana mungkin itu bisa terjadi?.”
            ”Iya Kek. Itu yang selalu dikatakan ayahanda. Kek, namaku Baru Klinthing. Aku              adalah anak seorang begawan yang sakti mandraguna. Aku nggak tahu mengapa              aku bisa terlahir menjadi seekor ular.”
            ”Berapa lama lagi kamu harus bertapa?”
            ”Aku nggak tahu. Yang jelas aku akan bertapa sampai aku berhasil. Kek ……..              bolehkah saya membantu kakek?.”
            ”Membantu bagaimana maksudmu?”
            ”Kalau kakek percaya padaku, saya bisa menyembuhkan mata kakek.”
            ”Apa itu mungkin?.”
            ”Mungkin saja. Tetapi ada satu syarat yang harus kakek penuhi.”
            ”Apa syaratnya?.”
            ”Kakek harus merahasiakan beradaanku di sini. Jika syarat itu kakek langgar,              kakek akan kembali buta.”
            ”Baiklah saya berjanji akan merahasiakan keberadaanmu di sini. Tetapi bagaimana              caranya saya bisa melihat lagi.”
            ”Irislah punggungku dengan pisau yang kakek bawa. Darah yang menetes dari              punggungku usapkan sedikit ke mata kakek. Dengan pertolongan Tuhan, kakek              akan bisa melihat kembali.”
            Setelah mendengarkan ucapan Baru Klinthing. Kek Kerti langsung melakukan apa yang dikatakan Baru Klinthing. Pelan-pelan dia membuka matanya dan dia bisa melihat lagi.
            ”Apa!, aku bisa melihat?” kata Kek Kerti dengan penuh keheranan.
            ”Terima kasih Baru Klinthing,” lanjut Kek Kerti.
            ”Jangan berterima kasih kepadaku. Berterima kasihlah kepada Tuhan karena              kekuasaan-Nya, kakek bisa melihat kembali. Saya hanya sebagai perantara, Kek.”
            ”Terima kasih Tuhan. Baiklah Baru Klinthing saya pergi dulu.”
            ”Kek jangan lupa janjinya.”
            ”Iya.”

            Setelah itu, Kek Kerti kembali ke kademangan Klindungan dengan hati gembira. Banyak warga heran melihat tingkah Kek Kerti.
            ”Apa yang membuat hati Kek Kerti bahagia?” tanya Ki Bayan.
            ”Saya bisa melihat kembali”
            ”Bagaimana itu bisa terjadi?”
            ”Ini karena kekuasaan Tuhan”
            ”Tetapi tidak mungkin, seseorang yang buta bisa melihat kembali. Ini suatu              keajaiban. Ceritakanlah kepada kami Kek, bagaimana ini bisa terjadi?.”
            ”Ini karena kekuasaan Tuhan.”
            Hanya itu-itu saja yang dikatakan Kek Kerti. Melihat ada sesuatu yang disembunyikan oleh Kek Kerti, Ki Demang marah dan dia menghampiri Kek Kerti.
            ”Kek ……. Apakah kakek tahu siapa saya?” tanya Ki Demang.
            ”Ki Demang.”
            ”Benar. Saya adalah Ki Demang. Apakah kakek senang menambah kesedihan              warga kademangan dan acara selamatan desa gagal?.”
            ”Apa maksud pertanyaan Ki Demang?.”
            ”Baiklah jika Kek Kerti tidak ingin menambah kesedihan warga dan acara              selamatan desa bisa dilaksanakan maka Kek Kerti harus menceritakan apa yang              membuat Kek Kerti bisa melihat seperti semula.”
            ”Tapi saya sudah berjanji Ki Demang.”
            ”Apakah Kek Kerti senang melihat banyak warga yang meninggal karena musim              kemarau yang panjang dan bagaimana seandainya warga yang meninggal itu              adalah keluarga Kek Kerti?.”
            Sejenak Kek Kerti berpikir apa yang telah dikatakan Ki Demang.
            ”Baiklah Ki Demang, saya akan menceritakan apa yang membuat mata saya bisa              melihat kembali. Pada saat saya mencari hewan buruan, seekor ular telah              menolong saya sehingga saya bisa melihat kembali. Ular itu bernama Baru              Klinthing.”
            ”Sekarang di mana ular itu?”
            ”Ular itu berada di hutan sebelah utara, dia sedang bertapa brata.”

            Setelah Kek Kerti menceritakan semua kejadian yang menimpa dirinya, tiba-tiba ada petir dan seketika itu pulah Kek Kerti buta lagi.
Warga kademangan berduyun-duyun ke hutan untuk memburu Baru Klinthing. Dengan mudah warga membunuh Baru Klinthing karena dia tidak melakukan perlawanan. Karena besarnya ular itu, akibatnya darah mengalir ke segala arah. Setelah disembelih sisiknya dibuang dan tubuh Baru Klinthing dipotong-potong menjadi empat puluh dan kemudian dibakar.
            Warga kademangan berduyun-duyun pergi ke balai desa untuk menikmati daging Baru Klinthing dan menikmati hiburan. Dalam selamatan desa, Endang Sukarni, ibunda Baru Klinthing, juga datang. Dia tidak dapat menikmati daging karena warga kademangan mengusir dan menghinanya. Mendengar hinaan itu membuat Endang Sukarni marah sehingga dia menancapkan lidi ke tanah dan menantang semua warga kademangan untuk mencabutnya.
            ”Hai ……… warga kademangan beranikah kalian mencabut lidi ini?”
            ”Tentu saja berani, hanya sebatang lidi saya bisa mencabutnya,” kata Ki Bayan.
            Saat mencabut lidi itu, ternyata Ki Bayan gagal. Hampir semua warga mencobanya dan lagi-lagi semuanya gagal sehingga Ki Demang ikut mencobanya.
            ”Jadi kamu juga ingin mencobanya Ki Demang,” kata Endang Sukarni.
            ”Iya ……. Aku yakin aku akan berhasil.”
            ”Coba saja buktikan kalau Ki Demang bisa.”

            Kemudian Ki Demang mencobanya. Ki Demang mulai mengambil ancang-ancang. Disibaknya kain yang melilit di pinggangnya. Dengan kuda-kuda bak seorang pendekar, Ki Demang mulai memandang lidi di depannya. Ki demang tidak langsung mengangkat lidi itu. Dia terlihat menarik nafas panjang dan mengerahkan seluruh ilmu kanoragan yang dimilikinya. Ki Demang mulai tampak berkeringat dan tubuhnya bergetar.
            Seperti halnya warga lainnya, Ki Demang tampaknya juga gagal. Dia menyempatkan diri memandang sekelilingnya. Tampak para warga cemas melihat kegagalan Ki Demang. Ki Demang tidak mau menyerah. Mulutnya mulai berkomat-kamit sambil mengarahkan pandangannya ke langit. Dengan berteriak lantang, Ki Demang mulai mencabut lagi lidi itu, tetapi lagi-lagi ladi itu tidak bergerak sedikit pun.
            Karena semuanya gagal, Endang Sukarni melangkah perlahan menuju lidi yang masih tetap berdiri kokoh. Endang mencabutnya sendiri tanpa ada kesulitan sedikit pun, dan dari tempat lidi yang ditancapkan di tanah itu, keluar sumber air yang sangat besar sehingga Kademangan Klindungan terbenam air. Semua warga Kademangan lari pontang-panting, tetapi mereka tidak bisa menyelamatkan diri karena air itu menyeret mereka. Kademangan Klindungan akhirnya rata dengan air.
            Kademangan Klindungan yang dahulu dikenal sebagai daerah yang sangat subur itu kini lenyap dengan hamparan air yang terus mengalir tiada henti sehingga menyerupai sebuah danau. Air itu kini digunakan sebagai sumber untuk mengairi sawah para penduduk dan juga dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum warga. Kademangan Klindungan yang telah menyerupai danau dan berada di wilayah Grati itu kini dikenal dengan sebutan Danau Ranu Grati yang berada di Kabupaten Pasuruan.

Komentar :

ada 3 komentar ke “khasanah sastra”
Anonim mengatakan...
pada hari 

pabak cerita LEGANDA BARU KLINTING sangat bagus,tolong sering di perbarui ya ceritanya biar saya sering mengunjungi blok bapak makasi

nama:HARIYANTO PUJO L
EKONOMI 2008/A

Anonim mengatakan...
pada hari 

Ass.Pak Imron
Ceritanya sangat menarik sekali untuk dibaca, semoga bapak dapat membuat cerita yang lebih menarik lagi.

YULIA RATNA SARI
PBSI 2008 C

Anonim mengatakan...
pada hari 

ASS,Pak imron
ceritanya sangat bagus kalau bisa diperbanyak dan ambil referensi dari daerah lain karna indonesia terdiri atas banyak suku dan budaya.
semangat! esok pasti lebih baik
sit suwaibatu juhria
PBSI/C-2008

Posting Komentar