Legenda

DESA WARA DAWA
(sekarang Warung Dowo)

Oleh: Imron Rosidi


            Kanon di masa penjajahan Belanda, hidup seorang saudagar kaya raya yang hidup di sebuah desa yang cukup luas dan subur. Saudagar kaya itu menguasai seluruh desa. Ia memimpin desanya, namun warga desa pada masa itu sangat menderita. Sang saudagar kaya selalu membebani warga dengan pungutan pajak yang sangat mencekik. Para wanita dan anak-anak banyak yang menjerit kelaparan.
            Sang saudagar tak pernah menghiraukannya. Ia malah bersenang-senang dengan hartanya. Ia bermain judi untuk memuaskan nafsunya. Ia menjadi kelompotan kompeni yang selalu menyengsarakan warga. Ketika warga yang lain memperebutkan kemerdekaan, sang Saudagar kaya malah bekerjasama dengan kompeni untuk mengeruk kekayaan negeri Indonesia. Hingga suatu hari ada seorang pengemis yang datang ke rumah mewah milik sang Saudagar.
            “Maaf tuan, saya belum makan, saya sangat lapar, berilah makan, saya mohon             tuan,” kata si pengemis.
            “Apa katamu, enak saja minta makan,”kata sang Saudagar.
            “Tapi tuan, telah dua hari perutku belum terisi tuan. Berilah saya sedikit makanan             Tuan,” kata pengemis sambil memelas.
            Sang Saudagar bergeming. Dia bahkan menghardik pengemis itu.
            “Enak saja, kau kira aku gampang mendapatkan uang. Pergi menjauh dari             rumahku. Aku tidak butuh pengemis sepertimu. Enyahlah dari hadapanku”
            Pengemis itu meninggalkan rumah sang Saudagar dengan hati yang kecewa. Sebelum meninggalkan rumah mewah milik sang Saudagar, pengemis itu sempat melontarkan sumpah serapanya.
            ”Hai, ingatlah kutukanku, suatu nanti kau akan sakit keras dan tak akan pernah             kau dapatkan keturunan. Ingat itu.”
            Si pengemis meninggalkan rumah mewah itu dengan tertatih-tatih. Sang Saudagar tak pernah menggubris. Ia tetap saja berada di tengah-tengah pintu rumah mewahnya sambil bertolak pinggang.
            Hari berganti hari, dan bulan telah berganti bulan. Kekikiran dan keangkuhan sang Saudagar semakin menjadi. Ia selalu menggelar pesta dengan prajurit Belanda di rumahnya, tanpa menghiraukan kemelaratan warga di sekitarnya.
            Pada suatu hari, ia bertemu dengan seorang wanita Belanda yang sangat cantik. Ia jatuh cinta pada si gadis itu. Ia pun menikahinya. Sudah sepuluh tahun si Saudagar menikah dengan gadis Belanda itu, namun ia tak kunjung mempunyai keturunan. Sementara usianya terus beranjak tua. Rupanya kutukan pengemis itu terjadi benar. Segala usaha telah dilakukannya, mulai datang ke seorang tabib, sampai pada orang-orang pandai dari negeri Belanda. Tapi, anak yang dinanti-nantikan tidak kunjung datang.
            Karena terlalu memikirkan nasibnya yang tak kunjung diberi keturunan, ia pun jatuh sakit. Ia tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa berbaring di kamarnya. Hampir dua bulan ia hanya bisa merasakan sakitnya tanpa bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, ia mengadakan sembara. Ia pun berworo-woro kepada seluruh warga. Bagi setiap orang yang dapat menyembuhkannya, ia akan memberikan tahtanya untuk memimpin desa itu.
            Para tabib datang berbondong-bondong untuk dapat menyembuhkan sang Saudagar. Hanya saja, tak satunpun yang berhasil. Padahal, sakit sang Saudagar bertambah parah. Badannya terus mengurus, tinggal kulit yang melindungi tulang-tulangnya. Hingga akhirnya, si pengemis yang pernah dihina oleh sang Saudagar datang kembali. Ia pun menemui sang saudagar.
            “Aku akan mencoba untuk menyembuhkan penyakitmu, sang Saudagar,” kata             pengemis itu.
         Sang Saudagar tidak bisa menjawab. Dia mulai teringat dengan perbuatannya terhadap orang di depannya. Ia mulai teringat dengan sumpah serapah orang di depannya itu.
            “Saya akan mencoba menyembuhkan penyakitmu, tapi dengan satu syarat,” kata             si pengemis itu sekali lagi.
            “Apa syarat itu?”kata Saudagar itu dengan suara lirih, “Aku pasti dapat             memenuhinya asalkan kau dapat menyembuhkan penyakit ini.”
            ”Kau harus bertobat dan menyesali segala perbuatan jahatmu selama ini”.
            Saudagar itu diam sejenak. Dia masih ragu kalau hartanya harus berkurang. Tapi, karena tubuhnya terus melemah, dia pun menerima syarat itu.
            "Baiklah, aku berjanji, jika aku sembuh aku bertobat”.
            Sang Saudagar menyanggupi, dan si pengemis pun mulai meramu rempah-rempah yang telah dibawanya. Dia terus berusaha, dan pada akhirnya dia telah berhasil menyembuhkan sang Saudagar. Ia pun mendapat tahta untuk memimpin desa itu dari sang Saudagar.
            Desa yang pernah ada woro-woro sayembara penyembuhan penyakit sang Saudagar kini dikenal sebagai desa Warungdowo. Woro (bahasa Jawa) artinya pengumumam dan Dawa (bahasa Arab) artinya obat atau mengobati. Namun seiring dengan berjalannya waktu, desa ini sekarang lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Warungdowo karena dianggap lebih mudah untuk diucapkan.

Komentar :

ada 1
ratnahar mengatakan...
pada hari 

wah,cukup unik. coba dijadikan cergam, pak

Posting Komentar