kajian bahasa

PERBEDAAN INDIVIDUAL
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Oleh: Imron Rosidi



1. Pendahuluan
            Setiap individu memiliki variabel-variabel perbedaan abilitas. Keberhasilan pembelajaran bahasa terkait erat dengan variabel-variabel perbedaan individual tersebut. Variabel-variabel abilitas individual terbagi atas dua klasifikasi yaitu abilitas kognitif dan abilitas afektif/konatif. Abilitas kognitif meliputi intelegensi, bakat, kecepatan, dan pengaktifan ingatan (kapasitas kerja memori), sedangkan abilitas afektif/konatif mencakup kecerdasan, motivasi dan emosi.
            Proses perolehan bahasa kedua menglami kendala dan ketidakleluasaan. Hal ini terlihat saat terjadi periode kritis pembelajaran bahasa kedua dan pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa. Efek periode kritis terhadap pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh pengetahuan bawaan (innate) dan mekanismenya.
            Berkait dengan hal di atas, dalam makalah ini dibahas pemikiran teoritis dan penelitian empiris tentang aspek-aspek perbedaan individual dalam pembelajaran bahasa kedua dan kondisi pembelajaran di kelas pembelajaran bahasa kedua yang mencakup intelegensi, motivasi, kecemasan, bakat bahasa, pengaktifan ingatan, dan usia.


2. Intelegensi
    2.1. Teori  Succesfull  Intelegence  dan  Implikasinya  bagi  Pengujian  antara           Kecemasan dan Bahasa

    Gadner (2003) menyebutkan kecerdasan sebagai biopsikologi, artinya makhluk hidup memiliki potensi untuk menggunakan sekumpulan bakat kecerdasan bahasa. Kecerdasan bahasa bukanlah salah satu kuantitas tetap, namun melibatkan berbagai aspek. Banyak peneliti psikologi yang mempelajari intelegensi percaya adanya bukti pandangan konvensional psikometrik yang menempatkan kemampuan umum (g = general) pada puncak hierarki, kemudian abilitas di bawahnya yang lebih mengecil secara suksesif. Konstruk successfull intelegence lebih baik dalam menangkap sifat fundamental kemampuan manusia.
    Abilitas mental disusun secara hierarkis di bawah faktor general berdasarkan pada tingkat spesifik lebih besar secara suksesif. Sebutan intelegensi sebagai adaptasi lingkungan dan dioperasionalkan secara sempit dalam tes intelegensi kurang memadai. Sebaliknya, sebutan successfull intelegence mempertimbangkan abilitas untuk mencapai keberhasilan hidup, mempertimbangkan adanya standar personal dalam konteks sosio budaya. Abilitas orang untuk mencapai keberhasilan tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan kekuatan atau kelebihannya dan mengkoreksi atau mengimbangi kelemahannya melalui suatu keseimbangan kemampuan analitis, kreatif, dan praktis guna mengadaptasi, membentuk, dan menyeleksi lingkungan. Setiap orang mempunyai pola kemampuan yang berbeda sehingga dirinya akan berhasil belajar bahasa ketika cara mereka sesuai dengan pola kemampuannya.

    2.2. Intelegensi yang Belum Memadai
    Intelegensi bukan suatu konstruk unitary sehingga teori-teori yang didasarkan pada sebutan intelegensi general masih belum memadai. Pola korelasi positif di antara tes abilitas mencerminkan keterbatasan interaksi di antara individu yang diuji, jenis tes yang digunakan untuk menguji, dan situasi tempat yang individu diuji.
    Masalah teori-teori general-ability, Gardner (1999) mengusulkan model multiple-intellegences yang memandang intelegensi meliputi tujuh (sekarang delapan) multiple intellegences, yaitu: linguistic, logika-matematika, spatial, musical, bodily-kinetik, interpersonal, intrapersonal, dan (sekarang) naturtalistik. Gardner menambah dengan intelegensi eksistensi dan spiritual yang disebut candidate intelegen. Teori ini dapat diterapkan pada persoalan kecerdasan (aptitude) dalam belajar bahasa asing. Intelegensi linguistic dapat dimasukkan dalam pembelajaran bahasa asing. Semua bahasa memerlukan beberapa ukuran intelegensi logika-matematika, khususnya bahasa latin yang melibatkan tingkat analisis yang tinggi. Teori ini memberi kontribusi penting bagi literatur mengenai intelegensi karena memisahkan diri dari g theory. Namun teori ini masih problematik: pertama, meskipun teori ini diusulkan 20 tahun lalu namun masih belum ada studi yang dirancang untuk menghimpun bukti empiris; kedua, bukti yang mendukung interkorelasi setidaknya d iantara beberapa abilitas dalam teorinya (misal: spatial dan logika matematika) begitu membingungkan sehingga dibahas Gardner hanya dengan memberi label paper-and-pencil test sebagai hal yang kurang penting (travial); dan ketiga, kriteria yang digunakan Gardner untuk mengidentifikasikan intelegensi perlu dikaji ulang, khususnya dalam kaitannya dengan candidate intellegences.
    Apakah intelegensi itu. Menurut Binet (dalam Dedy, 1982) intelegensi paling tidak memiliki tiga aspek kemampuan yaitu kemampuan untuk memecahkan suatu persoalan, kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap pemecahan masalah, dan kemampuan untuk mengkritik diri sendiri. Intelegensi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
    Intelegensi yang dibutuhkan dalam mencapai keberhasilan hidup dan belajar bahasa asing meliputi aspek analitis, kreatif, dan praktis. Menurut usulan teori intelegensi manusia dan perkembangannya (Sternberg 1997) sejumlah proses umum mendasari tiga aspek intelegensi: meta komponen atau proses eksekutif, merencanakan apa yang harus dilakukan, memonitor hal-hal ketika sedang berbuat, dan mengevaluasi hal-hal setelah menyelesaikan pekerjaan. Contoh meta komponen; seorang pembelajar bahasa asing dalam pelajaran pengantar harus menentukan apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, bagaimana menguji pengetahuannya, dsb. Intelegensi analitik terlibat ketika komponen-komponen intelegensi diterapkan untuk menganalisis, mengevaluasi, menentukan, atau membandingkan dan membedakan.
    Intelegensi kreatif diperlukan apabila muncul masalah baru. Menurut teori seccesfull inteligen, intelegensi kreatif diukur dengan kemampuan untuk menilai masalah, yaitu seberapa baik individu dalam menghadapi masalah yang relatif baru (baik yang bersifat convergen atau divergen). Penelitian kreativitas menunjukkan sejumlah perbedaan dan perkembangan individu: 1) Seberapa jauh pemikiran individu bersifat baru? 2) Apa mutu pemikiran baru? dan 3) Seberapa jauh pemikiran individu memenuhi tuntutan tugas? Skill berfikir kreatif dapat diajarkan.
    Intelegensi praktis melibatkan individu untuk menerapkan kemampuannya menghadapi berbagai macam masalah dalam kehidupan sehari-hari, seperti masalah di rumah atau di tempat kerja. Intelegensi praktis meliputi penerapan komponen-komponen intelegensi terhadap pengalaman untuk: (a) beradaptasi, (b) membentuk, dan (c) menyeleksi lingkungan. Adaptasi terlibat ketika orang mengubah dirinya untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Banyak upaya intelegensi praktis berpusat pada konsep pengetahuan yang tidak diucapkan (Tacit Knowladge) (yaitu pengetahuan yang dibutuhkan orang agar dapat bekerja secara efektif dalam suatu lingkungan yang tidak diajarkan secara eksplisit dan sering tidak bersifat verbal: Sternberg 1986). Tacit knowledge dapat dihadirkan dalam bentuk sistem produksi, atau sekuensi statemen “jika-maka” yang menjabarkan produser yang diikuti orang dalam bermacam situasi sehari-hari. Umumnya, tacit knowledge diukur dengan menggunakan masalah yang berkaitan dengan upaya mengatasi masalah. Intelegensi yang terjelma dalam tacit knowledge meningkat seiring dengan bertambahnya pengalaman. Skill intelegensi dapat diajarkan melalui program pengajaran skill intelektual praktis.

    2.3. Evaluasi Perkembangan Teori Intelegensi
    Faktor-faktor akademik. Banyak psikolog yang disebutkan dalam buku mengenai faktor g menerima model konvensional dan tes intelegensi. Mengapa mereka mendukung teori dan tes tersebut jika data tidak mendukungnya? Jawabannya tergantung pada data yang terpilih. Terdapat banyak bukti bahwa:
a) Tes intelegensi konvensional menghasilkan faktor umum dan
b) Tes tersebut memprediksi banyak variasi hasilnya di sekolah, tempat kerja, dan dalam aspek lain kehidupan orang di sekolah, di tempat kerja, dll. Namun faktor general hanya bersifat general dalam kaitannya dengan aspek akademik atau analitik intelegensi. Ketika kita memasukkan abilitas kreatif dan praktis dalam penilaian, faktor umum hilang. Argumen ini menyatakan bahwa tes konvensional kurang sempurna. Di bidang intelegensi masih perlu banyak diteliti untuk menguji generalisasi tsb.
    Faktor-faktor societal. Mengapa tes konvensional cukup lama dipertahankan? Terdapat beberapa alasan. Pertama, tes konvensional telah siap ada untuk: (a) gangguan mental, (b) kelemahan dalam belajar, (c) memasuki sekolah swasta, (d) memasuki college, (e) memasuki sekolah professional dan sekolah graduate, dan penggunaan lainnya. Kedua, training dalam penggunaan tes tradisional cukup mudah karena diberikan secara turun-temurun. Ketiga, jenis skill yang diukur oleh tes konvensional menjadi bahan bagi prestasi sekolah.
    Sistem tertutup. Menurut Herrnstein dan Murray (1994), dalam tes konvensional intelegensi disebutkan bahwa sekitar 10% variasi rata-rata dalam berbagai macam hasil yang ada dalam dunia nyata. Gambaran tersebut menyatakan bahwa terdapat banyak orang yang mampu terabaikan karena berbagai abilitas yang dimilikinya (meskipun penting bagi performa kerja) tidak cukup penting bagi performan tes. Misalnya, jenis skill kreatif dan praktis yang menjadi salah satu kunci (matter) keberhasilan kerja umumnya tidak diukur pada tes yang digunakan untuk ujian masuk. Sistem tertutup dapat dikonstruksi untuk menilai hampir seluruh kumpulan atribut apapun. Di sebagian masyarakat, sistem kasta masih digunakan. Para anggota kasta tertentu dimungkinkan untuk naik kasta di atasnya sedangkan kasta lain tidak dapat.


3. Motivasi dalam Belajar Bahasa Kedua
            Motivasi ialah usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu bergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya (Depdikbud, 1998). Menurut Brown (1981), motivasi merupakan suatu kemudi, gerak hati, emosi, atau maksud yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Motivasi merupakan energi yang tersembunyi dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan (Hamid, 1985). Hamid juga menjelaskan bahwa motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang melakukan tindakan tertentu.
            Menurut Hamid (1985), motivasi berfungsi mengaktifkan, mengarahkan perilaku pada tujuan, dan membantu seseorang memilih dan memberikan respon yang akurat. Ausubel (dalam Brown, 1981) menyebutkan bahwa ada enam kebutuhan pokok manusia yang membentuk motivasi, yaitu (a) kebutuhan untuk mengeksplorasi suatu objek, (b) kebutuhan untuk memanipulasi objek, (c) kebutuhan untuk bertindak, baik yang bersifat fisik maupun mental, (d) kebutuhan terhadap stimulasi, baik dari lingkungan, orang, atau oleh ide, pikiran, dan perasaan, (e) kebutuhan untuk mengetahui seseuatu sebagai kelanjutan dari kebutuhan eksplorasi, memanipulasi, bertindak, dan stimulasi untuk menjawab kontradiksi atau problem yang selanjutnya akan dimasukkan ke dalam sistem pengetahuan, dan (f) kebutuhan untuk meningkatkan diri. Faktor lain yang menimbulkan motivasi adalah (a) kebutuhan primer yang merupakan kebutuhan fisik, misalnya udara, air, makan, dan (b) kebutuhan sekunder misalnya keamanan, identitas, dan penghargaan diri (Maslow, 1970 dalam Brown, 1981).
            Dalam pembelajaran bahasa kedua, motivasi termasuk salah satu faktor afeksi yang dapat menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Gardner dan Lambert (1972), dalam penelitiannya tentang peranan motivasi dan sikap terhadap penguasaan bahasa Inggris sebagai B2 di Kanada menemukan bahwa di samping intelegensi dan bakat, terdapat faktor lain yang ikut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan belajar bahasa Inggris sebagai B2, yaitu motivasi dan sikap.
            Dilihat dari sumbernya, motivasi dibedakan menjadi dua, motivasi ekstrinsik dan motivasi intrisik (Winkel, 1987). Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang bersumber dari luar diri pembelajar. Adapun motivasi intrisik merupakan motivasi yang bersumber dari dalam diri pembelajar.
    3.1. Pendekatan Sosio-Edukasional
    Teori motivasi belajar menurut pendekatan Sosio-edukasional dikemukakan oleh Gardner. Menurut Gardner, motivasi melibatkan empat elemen, yaitu (a) tujuan, (b) hasrat untuk mencapai tujuan, (c) sikap positif, dan (d) usaha.
    Dalam model Gardner terdapat empat bagian utama, yaitu: (a) lingkup sosio-kultural, (b) perbedaan individual, (c) konteks pemerolehan bahasa, dan (d) out-comes belajar bahasa (perhatikan gambar). Lingkup sosio-kultural sangat mempengaruhi variabel kognitif dan afektif pembelajaran bahasa. Variabel afektif mencakup sikap, motivasi, kecemasan bahasa, dan kepercayaan diri. Variabel kognitif mencakup intelegensi, bakat bahasa, dan strategi belajar bahasa.
    Menurut Gardner, motivasi dapat dibedakan menjadi motivasi integratif dan motivasi instrumental. Yang pertama mencakup kemauan yang dimiliki pembelajar bahasa untuk mempelajari bahasa sasaran dengan didorong oleh keinginannya untuk dapat menggunakan bahasa sasaran tersebut demi keperluan berkomunikasi dengan masyarakat bahasa target. Di samping itu pembelajar ingin dihargai oleh kelompok atau masyarakat bahasa target tersebut. Motivasi instrumental adalah kemauan dan keinginan untuk mempelajari bahasa sasaran yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk keperluan atau tujuan tertentu, misalnya untuk memperoleh suatu pekerjaan atau mengembangkan karier.
    Beberapa penelitian menunjukkan bahwa motivasi integratif dan motivasi instrumental berpengaruh terhadap penguasaan B2. gardner dan Lambert (1960) dalam penelitiannya tentang motivasi anak-anak yang belajar bahasa Perancis di Montreal memperoleh hasil bahwa motivasi integratif bagi anak-anak yang belajar bahasa Perancis di Montreal lebih kuat daripada motivasi instrumental. Jadi motivasi integratif sangat penting untuk mengembangkan keterampilan komunikasi. Dalam situasi yang lain, motivasi integratif memiliki skor lebih rendah daripada motivasi instrumental. Lukmani (1972) yang meneliti pembelajaran bahasa Inggris di India dan Kashru (1977) yang meneliti anak-anak Indian yang belajar bahasa Inggris menunjukkan bahwa motivasi instrumental pembelajar lebih kuat daripada motivasi integratifnya (dalam Brown, 1981).
    Perhatian Gardner yang utama adalah mengarah pada motivasi integratif. Menurut Gardner, motivasi integratif memiliki tiga variabel utama, yaitu (1) sikap terhadap situasi belajar, (2) keintegratifan, dan (3) motivasi. Motivasi integratif dapat dibedakan menjadi dua, (a) integrativeness dan (b) motivasi. Integrativeness merefleksikan tingkat interes individual dalam interaksi sosial dengan kelompok bahasa target dan sikap terhadap situasi belajar.
    Gardner mengemukakan bahwa efek motivasi integratif pada pembelajar bahasa sebagian besar merupakan hasil dari komponen motivasi. Komponen tersebut merupakan kombinasi dari intensitas motivasional, minat untuk belajar bahasa, dan sikap terhadap bahasa. Menurut Gardner, pembelajar yang bermotivasi berusaha menggunakan bahasa, adapun yang tidak bermotivasi tidak menunjukkan usaha yang besar.
    Perbedaan individu beroperasi dalam situasi belajar formal dan informal dan memberikan out-come baik linguistik dan non-linguistik. Situasi formal merupakan situasi pembelajaran dalam kelas. Situasi non-formal merupakan konteks pemerolehan bahasa dalam berinteraksi dengan berbagai pihak. Dalam hal ini motivasi memainkan peran substansial dalam pajanan individu pada situasi yang memberikan kesempatan untuk belajar bahasa.
    Keberadaan emosi sebagai variabel dalam belajar B2 kurang mendapat perhatian dalam belajar B2. Tomkin memberikan argumen bahwa faktor afektif dikonsepsikan sebagai motivasi utama. Emosi berfungsi sebagai pengeras (amplifier), yang memberikan intensitas, urgensi, dan energi untuk menggerakkan tindakan.

    3.2 Kecemasan Bahasa
    Kecemasan bahasa masuk sebagai variabel dalam model sosio-edukasional Gardner. Kecemasan merupakan permulaan dari motivasi. Gardner dan MacIntyre menyatakan bahwa motivasi dan kecemasan merupakan dua variabel yang berhubungan secara timbal balik. Richard Clemant mengusulkan suatu model kombinasi kecemasan dan persepsi diri tentang kemampuan berbahasa untuk menciptakan kepercayaan diri yang dipandang sebagai proses motivasi kedua.
    Hubungan antara kecemasan dan kemampuan B2 memunculkan pertanyaan tentang arah sebab. Apakah kecemasan menyebabkan miskin performansi ataukah sebaliknya. macIntyre dan Gardner melakukan penelitian untuk melihat efek kecemasan terhadap proses kognitif. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap (a) tahap input, (b) tahap proses, dan (c) tahap output. Kelas dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Selama studi, kelas kelompok eksperimen dipasang kamera. Pada awalnya, kecemasan subyek sangat meningkat dan performansinya sangat kecil. Setelah mereka beradaptasi dengan kamera, kecemasan menghilang dan terjadi peningkatan performansi. Hal itu mendukung ide bahwa kecemasan mengganggu proses atau aktifitas kognitif.
    Dengan berkurangnya kecemasan, usaha untuk menampilkan performansi meningkat, yang berarti menunjukkan hubungan antara emosi dan motivasi. Kecemasan dapat menjadi penyebab perbedaan individual dalam capaian bahasa. macIntyre meringkas penelitian tentang efek kecemasan bahasa dalam empat bidang (a) akademik, (b) kognitif, (c) sosial, dan (d) personal.
Akademik. Kecemasan bahasa berkorelasi negatif dengan hasil belajar. Meneliti sikap, motivasi, dan kecemasan di berbagai lokasi dan menemukan bahwa kecemasan secara konsisten merupakan prediktor terkuat bagi hasil belajar bahasa (language course grades).
Kognitif. Sumber pengaruh akademik dapat dijelaskan dengan melihat gangguan berpikir yang diakibatkan oleh kecemasan.
Sosial. Efek sosial yang paling dramatik dari kecemasan adalah keseganan/keengganan untuk berkomunikasi. Penelitian yang dilakukan oleh Daly & McCroskey (1984) menampakan bahwa menghindari komunikasi melahirkan sejumlah persepsi sosial yang negatif.
Personal. Secara personal, kecemasan dapat menimbulkan trauma dalam belajar bahasa. Kecemasan seseorang dalam belajar bahasa di lain pihak juga memiliki andil dalam membentuk konsepsi diri tentang bahasa, kegiatan belajar-mengajar bahasa, dan keberhasilan belajar.

    3.3 Aspek-aspek Motivasi untuk Melaksanakan Tugas
    Apa yang dimaksud dengan tugas? Tugas dalam kegiatan instruksional merupakan bagian terpisah dari perilaku belajar dalam situasi tertentu. Spesifikasi terpenting dari tugas adalah identifikasi tentang batas-batas yang menentukan kapan suatu tugas berawal dan berakhir. Dalam konteks ini, tugas-tugas belajar dimaknai sebagai jumlah operasi mental dan perilaku yang kompleks dengan mengacu pada tujuan-tujuan tertentu yang dilakukan mahasiswa selama periode antara awal pelajaran sampai dengan hasil akhir belajar. Tugas belajar merupakan hubungan antara tujuan pendidikan, guru, dan mahasiswa.
    Tremblay, Golberg, dan Gardner (1995) membedakan trait motivation dan state motivation. Trait motivation merupakan watak atau kecenderungan yang tetap atau stabil, sedangkan state motivation bersifat temporal. Pembedaan ini telah diterapkan pada psikologi yang berkenaan dengan sejumlah variabel perbedaan individu. Meskipun pendekatan trait/state dapat digunakan untuk mengkonseptuaisasi motivasi pelaksanaan tugas, ia mempunyai kelemahan sebagai konsepsi yang statik. Tugas instruksional mencakup seperangkat perilaku pembelajaran yang dapat bertahan/menghilang dalam tempo tertentu (beberapa jam). Berbeda dengan pendekatan trait/state, karakteristik yang lebih akurat diberikan melalui pendekatan berorientasi proses yang dijelaskan berikut ini.

    3.4 Motivasi dari Perspektif Orientasi Proses
    Pendekatan berorientasi proses mencoba menerangkan perubahan-perubahan motivasi yang terus terjadi sepanjang waktu. Dari perspektif ini, motivasi tidak dipandang sebagai atribut yang statis, tetapi merupakan faktor yang dinamis, memperlihatkan fluktuasi dan pasang-surut yang terus menerus.
    Dari perspektif temporal, terdapat tiga tahap proses motivasi.
(1) Tahap Pra-Aksi
Pertama-tama, motivasi perlu dibangkitkan. Dimensi motivasi pada tahap permulaan ini berhubungan dengan pemilihan motivasi sebab motivasi yang dibangkitkan ditujukan pada pemilihan tujuan atau tugas yang ingin dicapai.
(2) Tahap Aksi
Kedua, motivasi yang dibangkitkan perlu dipelihara dan dipertahankan secara aktif. Dimensi motivasi ini disebut motivasi eksekutif dan secara khusus relevan dengan kegiatan belajar dalam setting kelas, yang kepada pembelajar dipajangkan sejumlah berbagai pengaruh yang mengganggu, misalnya kecemasan terhadap tugas, kelelahan fisik, gangguan dari orang lain. Gangguan-gangguan tersebut membuat seorang pembelajar tidak dapat dengan mudah menyelesaikan suatu tugas.
(3) Tahap Pos-Aksi
Tahap ketiga mengikuti penyelesaian aksi yang disebut sebagai retrospeksi motivasi. Pada tahap ini pembelajar mengevaluasi apa yang telah dilakukan. Pembelajar meninjau ulang pengalamannya yang baru lalu sehingga menimbulkan motivasi dalam melaksanakan kegiatan selanjutnya.
    Dari ketiga tahap tersebut, tahap kedua tampaknya merupakan tahap paling penting dalam model berorientasi proses ini. Pembelajar memasuki tahap kedua dengan penuh motivasi dan dengan segera menimbulkan pengaruh yang kuat dalam proses pelaksanaan tugas. Hal itu melibatkan dua submekanisme yang saling berkaitan, yaitu (a) penilaian yang terus menerus dan (b) kontrol aksi.
    Selama melaksanakan tugas, pembelajar secara kontinu menilai berbagai stimulus yang datang dari lingkungan dan menilai kemajuan yang dicapai menuju hasil aksi. Proses penilaian ini terkait dengan mekanisme yang kedua (kontrol aksi) yang mengacu pada pengetahuan dan strategi yang digunakan untuk menggunakan sumber-sumber kognitif dan non-kognitif dalam rangka mencapai tujuan (Carno & Kanfer, 1993). Pemprosesan motivasi dipandang sebagai sistem kontrol dan penilaian. Kekuatan utama pendekatan berorientasi proses adalah dapat menginterprestasikan dan mengintegrasikan bermacam-macam faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku belajar mahasiswa dalam seting kelas.
    Dornyei meneliti hubungan perbedaan individual dengan performansi bahasa Inggris. Variable perbedaan individual mencakup subvariabel sikap dan motivasi dengan tujuh aspek, yaitu (a) integrativeness, yaitu kecenderungan positif terhadap masyarakat penutur B2 yang mencakup perhatian terhadap kehidupan, budaya, dan keinginan untuk mengadakan kontrak dengan mereka, (b) Nilai insentif kemampuan berbahasa Inggris adalah faktor yang terkait dengan berbagai keuntungan dari kemampuan ber-B2, (c) sikap terhadap pelajaran bahasa Inggris, (d) kepercayaan diri dalam kaitannya dengan penguasaan linguistik, (e) kecemasan penggunaan bahasa, (f) sikap terhadap tugas, (g) keinginan untuk berkomunikasi. Variabel performansi bahasa mencakup dua subvariabel, yaitu jumlah ujaran yang diukur berdasarkan jumlah kata dan jumlah giliran.
    Subjek penelitian terdiri atas 44 mahasiswa Hongaria yang belajar bahasa Inggris dengan mengintegrasikan empat kemahiran berkomunikasi. Data tentang performasi bahasa diambil dengan cara: subjek diberi tugas berbicara/dialog argumentatif untuk memecahkan masalah tertentu. Subjek bekerja secara berpasangan. Mula-mula mereka diberi masalah dan secara individual diminta merumuskan cara pemecahannya. Selanjutnya, mereka diminta berkompromi dengan cara bernegoisasi. Data tentang motivasi dan sikap diperoleh melalui angket. Perekaman terhadap performansi pembelajaran direkam selama kelas bahasa Inggris berlangdung lalu ditranskripsikan.
Hasil penelitian menunjukkan: (1) adanya hubungan antara sikap terhadap tugas dengan variabel-variabel perbedaan individual lainnya, utamanya (a) sikap terhadap pelajaran, (b) integrativeness, dan (c) kecemasan menggunakan B2. (2) Sikap adanya hubungan positif antara variabel bahasa dengan aspek (a) sikap terhadap pelajaran dan (b) sikap terhadap tugas, (3) Adanya hubungan signifikan antara kepercayaanan dengan jumlah ujaran. (4) Adanya hubungan positif yang signifikan antara kemauan untuk berkomunikasi dengan jumlah giliran, tetapi tidak dengan jumlah kata, (5) Pada kelompok dengan skor sikap tinggi, jumlah ujaran berkorelasi dengan sangat signifikan dengan (a) integrativeness dan (b) kepercayaanan dan jumlah giliran mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan nilai insentif. Adapun pada kelompok dengan skor sikap rendah tidak terlihat hubungan yang signifikan, (6) Pada kelompok dengan skor sikap rendah hanya ditemukan satu hubungan yang signifikan dengan variabel bahasa, khususnya jumlah ujaran dengan sikap terhadap pelajaran, (7) Terdapat pengaruh motivasi terhadap tugas dibentuk oleh partisipan dalam pelaksanaan tugas, (8) Motivasi terhadap situasi yang spesifik ataupun lebih umum memberikan kontribusi terhadap motivasi pelaksanaan tugas.


4. Bakat Bahasa
            Van Els, dkk berpendapat bahwa ada asumsi yang diyakini sebagai sesuatu yang khusus dengan nama yang berbeda-beda seperti: “talenta”, “kecakapan khusus”, “pemberian” atau “bakat” untuk belajar bahasa kedua yang dimiliki sejumlah pembelajar, yang relatif berbeda dengan yang lain, sebagai penanda perbedaan individual dalam keberhasilan belajar bahasa kedua. Neufeld dalanm van Els (1987) berdasarkan observasinya menyimpulkan bahwa bakat linguistik tetap eksis karena tanpa hal tersebut belajar bahasa yang kita kenal ini sungguh tidak mungkin terwujud. Semua anak normal lahir dengan kemampuan belajar bahasa.
            Bakat bahasa secara tradisional didefinisikan sebagai kemampuan untuk berhasil dalam belajat bahasa asing berdasarkan pengajaran atau pengalaman. Penelitian yang berkaitan dengan bakat berlanjut terus untuk mendukung empat hipotesis berikut.
(1) Bakat bahasa adalah stabil secara tipikal, dan tidak renta pada pelatihan jangka pendek;
(2) Bakat  terdiri  dari beberapa kemampuan kognitif yang berbeda (seperti kemampuan      penanda fonemik, kepekaan gramatika, alur kemampuan mengingat dan kemampuan      belajar induktif bahasa);
(3) Bakat  adalah  independen secara parsial dari kemampuan kognitif lain sebagaimana      intelegensi umum;
(4) Bakat secara umum memiliki korelasi tinggi dan konsisten dengan profisiensi bahasa      kedua, diperoleh secara formal dan informal, daripada perbedaan variabel kepemilikan      individual lain semacam gaya kognitif dan personalitas.
            Pimsleur membedakan tiga komponen bakat bahasa yaitu (1) inteligensi verbal, (2) motivasi, dan (3) kemampuan mendengar (auditori). Inteligensi verbal mencakup dua hal yaitu pengetahuan tentang kosa kata dan kemampuan bernalar secara analitik tentang materi verbal. Motivasi berkaitan dengan kekuatan, keinginan yang merupakan faktor independen dalam belajar bahasa kedua. Kemampuan auditori adalah kemampuan mengidentifikasi faktor tunggal yang tersembunyi pada inti kemampuan belajar bahasa kedua yang secara independen berhubungan dengan inteligensi dan motivasi.
            Penelitian Skehan (1980) yang berfokus pada memori, salah satu aspek dari bakat multidimensional, dan mencari korelasi antara nilai skor keragaman tes memori dan pengukuran lain dari keberhasilan pembicara dewasa bahasa Inggris dalam belajar bahasa Arab. Berdasarkan analisis data (1986a) Skehan menemukan dua tipe perbedaan keberhasilan pembelajar bahasa: secara relatif, kelompok muda bergantung pada memori dan kelompok usia tua lebih bergantung pada kemampuan analitik.
            Penelitian asal bakat dengan menguji hubungan antara tiga karakter tersembunyi: pengembangan bahasa pertama, bakat, dan keberhasilan bahasa asing. Dari penelitian ini Skehan menemukan korelasi positif dan signifikan antara beberapa indikasi bahasa pertama dan sejumlah bakat. Menurut penelitian mereka dikatakan bahwa perbedaan individual dalam bakat belajar bahasa berpengaruh pada kesuksesan belajar bahasa bagi anak dan orang dewasa dalam beberapa cara.
            Peter Robinson menemukan bahwa bakat menunjukkan pengaruh pada belajar insidental, khususnya kaidah lokatif terhadap penundaan sembilan bulan postes dan sangat kuat berkaitan pada semuanya.
    4.1 Kritik terhadap Bakat Bahasa
    Kajian terhadap bakat bahasa menjadi berkurang dengan beberapa alasan. Pertama, bakat bahasa asing dipersepsi sebagai anti-legalitarian. Bakat yang dijadikan dukungan nilai individual sangat tidak tepat (berkurang). Daripada bergulat dengan pengukuran bakat bahasa, lebih baik mengekploisasi keefektifan pengajaran. Kedua, bakat secara khusus ketinggalan jaman dibanding dengan metode audilingual. Dewasa ini pendekatan komunikatif sangat berpengaruh serta penelitian pemerolehan bahasa kedua yang memperkenalkan proses pemerolehan bahasa. Dengan demikian, bakat tampaknya tidak relevan dan lebih mengarah pada kelas pembelajaran model lama. Ketiga, temuan tentang bakat hanya penting bagi kritik akademik (ilmiah). Guru bahasa (Inggris) tidak begitu tertarik pada keberadaan perbedaan di antara pembelajar.

    4.2 Pemikiran “Baru”
    Akhir-akhir ini, kajian terhadap bakat bahasa mulai marak. Para peneliti berusaha memadankannya dengan tahapan pemerolahn bahasa kedua. Tahapan makro pemerolehan bahasa seperti perhatian (noticing), pemolaan (patterning), pengontrolan (controlling), dan pengataan (lexicalizing) senantiasa berkaitan dengan komponen bakat seperti kemampuan pengkodean fonemik, kepekaan gramatika, dan belajar induktif bahasa.
    Dengan demikian, penelitian kembali tentang bakat bahasa kedua menjadi relevan karena (1) pandangan tradisional terhadap bakat masih relevan bagi linguistik terapan dan pemerolehan bahasa kedua, dan (2) walaupun tidak komprehensif, kajian terhadap bakat bahasa dapat menambah pemahaman tentang cara-cara yang signifikan dalam belajar mengajar bahasa.


5. Pengaktifan Ingatan
            Dalam bidang psikologi kognitif/psikolinguistik, sebuah hal penting yang menjadi bahan kajian adalah pengaktifan ingatan (selanjutnya PI) dalam kaitannya dengan input verbal selama belajar bahasa kedua. Temuan penelitian dalam PBK tampaknya menunjukkan bahwa perbedaan individual dalam PI dapat berpengaruh pada beberapa perbedaan performansi dan pemerolehan bahasa kedua.
            Selama penelitian PI dan PBK yang telah dilakukan telah memfokuskan pada peranan ingatan jangka pendek fonologis, pengoperasian konstruk sebagai kemampuan mengulangi input fonologis secara tepat. Temuan-temuan umumnya mendukung pentingnya peranan ingatan jangka pendek fonologis. Penelitian eksperimental juga menunjukkan bahwa ingatan jangka pendek fonologis memainkan peranan dalam belajar butir-butir leksikal baru. Banyak peneliti menganjurkan bahwa ingatan jangka panjang fonologis tidak saja mencakup pemerolehan leksikal tetapi juga dalam pemerolehan kaidah gramatikal.
            Robinson (1995) berpendapat bahwa pemusatan perhatian berhubungan dengan perbedaan individual dalam kapasitas PI. Hal yang sama diungkapkan oleh Scmidt (2000) bahwa setidaknya faktor bakat, kapasitas PI terkait erat dengan perhatian. Pakar lain juga berpendapat bahwa untuk sebuah model dari PI yang dalam kapasistas PI mengacu pada pengontrolan perhatian dari bentuk gangguan, perbedaan individu dalam kapasitas PI yang merefleksikan perbedaan individual dan pengontrolan perhatian. Perhatian adalah hal yang krusial bagi pembelajaran, para pakar berkeyakinan bahwa pembelajaran tidak akan berlangsung baik tanpa perhatian (Schmidt 1990; 1993; 1995).
            Penelitian yang Alison, dkk dalam Robinson (2002) menegaskan bahwa terdapat hubungan antara PI dengan perhatian. Temuan ini mendukung kajian teoritis keterkaitan kapasitas PI, hasil pemprosesan input dan efektivitas pencarian eksistensi pengetahuan skematik. Walaupun demikian, interaksi umpan balik tidak hanya ditentukan oleh kapasitas PI tetapi juga oleh faktor lain seperti kepekaan gramatika dan faktor psiko-sosial.
            Sehubungan dengan pengaktifan ingatan, Su’udi (1990) berpendapat bahwa prinsip-prinsip ingatan dapat dimanfaatkan untuk menunjang pengajaran atau pembelajaran bahasa. Prinsip itu adalah (1) pengulangan berperan penting dalam menguatkan penyimpanan, (2) kebermaknaan membantu memudahkan penyimpanan dan pengingatan, (3) perhatian pembelajar menentukan besar kecilnya informasi yang ditangkap, (4) organisasi informasi berpengaruh terhadap penyimpanan maupun pengingatan, dan (5) penggambaran memudahkan penyimpanan dan pengingatan.

6. Usia
            Pengaruh usia terhadap belajar bahasa kedua telah menjadi isu kontroversial yang hingga saat ini masih tetap menjadi perdebatan. Pada saat kita mendiskusikan, “Landasan Konseptual dan Empiris Belajar Mengajar Bahasa Kedua”, persoalan usia telah disinggung-singgung. Dari sisi biologi, neurology Penfils dan Roberts (1959) berpendapat bahwa kemampuan anak yang lebih besar untuk belajar sebuah bahasa dapat dijelaskan oleh kelenturan otak. Anak yang telah berusia 10 tahun memiliki kemampuan yang baik dalam mengakuisisi bahasa, sedangkan kelenturan otak orang dewasa akan berkurang seiring dengan pertambahan usia. Lenneberg berpendapat bahwa belajar bahasa dapat terjadi antara umur 2 tahun dan pubertas. Anak-anak belajar bahasa kedua secara intuitif tanpa dukungan kesadaran, sedangkan anak setelah pubertas lebih menggunakan intelektual (dalam Robinson, 2002). Dari sejumlah penelitian didapatkan bukti-bukti bahwa usia di atas pubertas umumnya tidak memperoleh kemahiran dalam pelafalan seperti penutur asli karena berkurangnya kelenturan otot alat bicara (Ellis, 1986).
            Penelitian Rosansky dan Krasen dalam Ellis (1986) menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan kognitif menyebabkan pembelajar yang lebih tua lebih berhasil dalam aspek bahasa kedua yang lebih kompleks (morfologi dan sintaksis) daripada anak-anak. Demikian juga penelitian Taylor dan Schuman dalam Ellis (1986) menyimpulkan bahwa emptik anak permulaan pubertas lebih besar daripada orang dewasa sehingga tidak terhalangi belajar bahasa kedua. Harley dan Hart berpendapat bahwa kemampuan analitik lebih berkaitan dengan hasil belajar bahasa kedua pada usia remaja dan dewasa daripada pajanan pertama pada anak-anak. Hal ini ditemukan dalam penelitian DeKeyser yang berkesimpulan bahwa kemampuan analitik bahasa pada usia remaja memiliki pengaruh kuat dalam belajar bahasa kedua di lingkungan alami.
            Berdasarkan penelitian Saukah (2003) terhadap kemampuan bahasa Inggris para mahasiswa baru PPS-UM (pen.: angkatan 2002), walaupun tidak terlalu signifikan, diperoleh informasi bahwa mahasiswa baru yang berusia lebih muda umumnya cenderung memiliki kemampuan bahasa Inggris lebih baik daripada mahasiswa baru yang lebih tua.

Kesimpulan
            Teori-teori konvensional dan tes intelegensi masih belum sempurna sehingga perlu teori baru (teori succesfull intellegences) yang lebih lengkap. Kita perlu berusaha melampaui sebutan konvensional dalam menguji kecerdasan bahasa. Ada beberapa cara yang perlu dilakukan: pertama, menguji kemampuan kreatif dan praktis dalam belajar bahasa, kedua perlu analisis lebih rinci terhadap skor umum kecerdasan bahasa; dan perlu memikirkan penggunaan testing yang dinamik yang terjadi bersamaan dengan pengajaran sehingga pihak peneliti dapat menilai kemampuan belajar.
            Motivasi merupakan suatu usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu bergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan. Dalam belajar B2, motivasi termasuk salah satu faktor afeksi yang menentukan keberhasilan kegiatan belajar selain intelegensi dan bakat bahasa. Perbedaan individu dalam situasi belajar. (di luar kelas maupun di dalam kelas) berkait dengan motivasi akan memberikan dan berkontribusi terhadap hasil belajar bahasa. Atas dasar itu, belajar bahasa harus dilandasi dengan motivasi yang kuat. Motivasi memberikan energi yang besar untuk belajar atau melaksanakan tugas-tugas belajar.
            Setiap individu memiliki bakat bahasa yang berbeda. Bakat bahasa sebagai aspek pembelajaran bahasa kedua memiliki kedudukan yang sangat penting. Antara bakat bahasa dan pencapaian pemerolehan bahasa memiliki korelasi tinggi dan konsisten. Bakat bahasa dapat diperoleh melalui aktivitas formal dan informal. Tanpa adanya bakat bahasa, belajar bahasa tidak akan terwujud.
            Pengaktifan ingatan adalah hal yang penting dalam belajar bahasa kedua. Dalam pemprosesan pemahaman, pengaktifan ingatan merupakan bagian yang mendasar. Untuk mengaktifkan ingatan (jangka pendek dan jangka panjang) secara maksimal dalam pembelajaran bahasa perlu adanya dorongan, pemusatan perhatian, dan pengontrolan.
            Walaupun masih terdapat kontroversial antara usia dan pemerolehan pembelajaran bahasa, namun kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Dari berbagai hasil penelitian terhadap usia dan pemerolehan bahasa ditentukan bahwa pada usia anak-anak, usia muda, masa pubertas, dan usia tua memiliki ciri-ciri yang spesifik. Belajar bahasa dapat dimulai ketika anak berusia dua tahun. Ketika anak berusia 10 tahun memiliki kemampuan yang baik dalam mengakuisi bahasa. Pada orang dewasa, kemampuan untuk belajar bahasa akan berkurang.

Daftar Pustaka
Brown, H.D. 1981. Affective Factors in Second Language Learning dalam Alatis (et.al)             The Second LanguageClassroom: Direction for Th 1980’s. New York: Oxford             University Press.
Dornyei, Z. 2002. The Motivational Basis of Language Learning Tasks. Dalam Robinson,             P (Ed.). 2002. individual Differences and Instructed Language Learning.             Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition. New York: Oxford             University Press.
Gardner, R.C. dan Lambert, W.E. 1972. Attitude and Motivation in Second Language             Learning. Rowley, Mass: Newbury House.
Gardner, H. 2003. Kecerdasan Majemuk Teori dalam Praktik. Alih bahasa Alexander             Sindoro. Batam: Interaksara.
Hamid, A. J. 1985. Psikulujiyah Al-Ta’allum wa Nazhariyatul Ta’allum. Al-Qohirah:             Darun Nahdhah Almisriyah.
MacIntyre, P.D. 2002. Motivation, anxiety and Emotion in Second Language             Acquisition. Dalam Robinson, P (Ed.). 2002. Individual Differences and             Instructed Language Learning. Amsterdam/Philadephia: John Benjamins             Publishing Company.
Robinsin, P (Ed.). 2002. Individual Differences and Instructed Language Learning.             Amsterdam/Philadephia: John Benjamins Publishing Company.
Saukah, Ali. 2003. Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia: Tinjauan Terhadap Unjuk             Kerja Pembelajar serta Upaya Peningkatannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar             FS UM. Malang: Universitas Negeri Malang.
Su’udi, Astini. 1990. Ingatan dan Bahasa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Van Els, Theo et. al. 1987. Applied Linguistic and the Learning and Teaching of Foreign             Languages. London: Edward Arnold.

Komentar :

ada 2 komentar ke “kajian bahasa”
rukahati mengatakan...
pada hari 
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
rukahati mengatakan...
pada hari 

terima kasih. artikel bapak sangat membantu saya dalam memotivasi diri untuk terus meningkatkan minat baca saya. dan saya sependapat dengan anda tentang diperlukannya teori baru yang lebih lengkap.


Rukahati
Mahasiswi Gejug Jati

Posting Komentar