contoh proposal penelitian

A. Judul Penelitian
Pembelajaran Membaca Cepat di SMA dengan Model e-Learning

B. Latar Belakang
            Berbagai informasi di era global saat ini semakin mudah diterima dan semakin gencar masuk ke negara kita. Hal ini disebabkan semakin bervariasi dan canggihnya media informasi, baik media informasi berupa media cetak maupun media elektronik. Hasil-hasil penelitian serta kemajuan ilmu dan teknologi begitu cepat dipublikasikan dan disebarkan melalui jurnal-jurnal maupun dalam bentuk tulisan lainnya. Satu judul buku tentang suatu masalah yang menjadi perhatian kita belum sampai separuhnya dibaca telah disusul judul buku baru, apalagi sejak kemunculan internet. Padahal, waktu yang kita miliki sampai saat ini tetap, 24 jam setiap harinya, tidak terus bertambah seperti informasi tersebut. Akibatnya, banyak informasi yang tidak sempat kita serap. Hal ini disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah kecepatan membaca kita yang masih perlu ditingkatkan.
            Membaca merupakan suatu proses dinamis untuk merekonstruksi suatu pesan yang secara grafis dikehendaki oleh penulis (Goodman, 1996). Dalam pendekatan buttom-up, membaca sebagai proses dekoding berbagai simbol tertulis ke dalam berbagai ekuivalen pendengaran dalam bentuk linear (Nunan, 1999). Dengan demikian, dalam kegiatan membaca, pertama kali seseorang membedakan masing-masing huruf saat ditemukan, membunyikannya, mencocokkan simbol-simbol tertulis dengan ekuivalen-ekuivalen pendengaran, mencampurkannya untuk membentuk kata-kata, dan memperoleh makna. Oleh karena itu, menemukan makna sebuah kata merupakan langkah terakhir dalam proses itu.
Sebenarnya, membaca tidak sekadar menyuarakan tulisan, baik dengan suara nyaring maupun dalam hati dengan merekonstruksi suatu pesan secara grafis, tetapi membaca merupakan suatu proses memahami bahasa tulis (Rumelhart, 1985). Dengan membaca, kita dapat menyerap berbagai ilmu sehingga membaca merupakan sebuah kewajiban bagi semua umat, termasuk umat Islam. Membaca atau dalam bahasa Arabnya iqra’ merupakan simbol-simbol agama Islam. Menurut sebagian ulama, kata iqra’ yang pertama merupakan perintah kepada nabi agar membaca (Al-quran), sedangkan kata iqra’ yang kedua berupa seruan tabligh, menyampaikan (isi Al-quran) kepada umatnya .
            Dalam perkembangan studi membaca dikenal tiga pandangan tentang proses membaca. Pandangan pertama biasa disebut dengan pandangan kuno. Pandangan ini menganggap membaca sebagai proses pengenalan simbol-simbol bunyi yang tercetak (Harris dalam Olson, 1982). Pandangan kedua, membaca sebagai suatu proses pengenalan simbol-simbol bunyi yang tercetak dan diikuti oleh pemahaman makna yang tersurat (Carrol dalam Olson, 1982). Pandangan ketiga disebut pandangan modern, membaca bukan sekadar pemahaman dan pengenalan simbol tercetak saja, tetapi lebih jauh dari itu, yaitu sebagai proses pengolahan secara kritis.
            Mengenai cara membaca dikenal empat macam, yaitu: reguler (biasa), melihat dengan cepat, mengilas, dan kecepatan tinggi (Soedarso, 2001). Pertama, cara membaca reguler (biasa). Cara membaca ini relatif lambat karena kita membaca baris demi baris yang biasa dilakukan dalam bacaan ringan. Kedua, cara membaca melihat dengan cepat (Skimming). Cara ini digunakan ketika kita mencari sesuatu yang khusus dalam sebuah bacaan, ketika sedang membaca buku telepon atau kamus. Ketiga, cara membaca melihat sekilas (Scanning). Cara ini digunakan untuk melihat isi buku ataupun pada saat kita membaca koran, dan keempat cara membaca kecepatan tinggi (Warp Speed) . Kecepatan tinggi merupakan teknik membaca suatu bahan bacaan berkecepatan tinggi dengan pemahaman yang sangat tinggi pula.
            Kemampuan membaca cepat seseorang harus dibarengi dengan kemampuan memahami isi bacaan. Seseorang dapat dikatakan memahami isi bacaan secara baik apabila ia dapat (a) mengenal kata-kata atau kalimat yang ada dalam bacaan atau mengetahui maknanya, (b) menghubungkan makna, baik konotatif maupun denotatif yang dimiliki dengan makna yang terdapat dalam bacaan, (c) mengetahui seluruh makna tersebut atau persepsinya terhadap makna itu secara kontekstual, dan (d) membuat pertimbangan nilai isi bacaan yang didasarkan pada pengalamannya.
            Kemampuan membaca cepat merupakan keterampilan memilih isi bacaan yang harus dibaca sesuai dengan tujuan, yang ada relevansinya dengan pembaca tanpa membuang-buang waktu untuk menekuni bagian-bagian lain yang tidak diperlukan (Soedarso, 2001). Ketika kita membaca cepat suatu bacaan, baik dengan teknik skimming, scanning, maupun Warp Speed, tujuan sebenarnya bukan untuk mencari kata dan gambar secepat mungkin, namun untuk mengidentifikasi dan memahami makna dari bacaan tersebut seefisien mungkin, kemudian mentransfer informasi ini ke dalam memori jangka panjang dalam otak kita. Seseorang yang sedang membaca cepat sebuah bacaan hendaknya dapat mengondisikan otak bekerja lebih cepat sehingga konsentrasi akan lebih membaik secara otomatis (Hernowo (Ed.), 2003). Dengan demikian, kemampuan membaca cepat merupakan kemampuan seseorang dalam memadukan kemampuan motorik dalam menemukan gagasan pokok dalam bacaan dengan kemampuan kognitifnya atau pemahaman isi bacaan melalui menjawab pertanyan-pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan.
            Singh (1979) menjelaskan tentang kebiasaan buruk siswa yang melihat kembali bacaan yang telah dibacanya ketika menjawab pertanyaan dalam pembelajaran membaca. Bahkan, siswa sering tergoda untuk membaca ulang (melompat mundur) untuk memastikan apakah benar-benar telah melihat atau memahami kata yang telah dibaca. Hal itu menunjukkan bahwa pemahaman siswa sangat lemah, begitu juga tentang kecepatan membacanya. Ada beberapa saran untuk mengatasi hal di atas, yaitu siswa disarankan untuk: (1) melihat kata sebagai bagian dari keseluruhan kalimat atau paragraf, (2) menghindari gerak tubuh dan vokalisasi yang tidak perlu, (3) tidak menghentikan kegiatan membaca di tengah jalan, (4) tidak menunjuk kata yang dibaca, (5) berkonsentrasi penuh terhadap apa yang dibaca, dan (6) meminimalisasi gangguan dari luar ketika membaca.
            Pembelajaran membaca pun pada umumnya masih dilakukan secara tradisional. Menurut Roe, Stoodt, dan Burns (1995) ada beberapa asumsi yang keliru tentang pembelajaran membaca di sekolah. Asumsi itu antara lain sebagai berikut. Pertama, pembelajaran membaca hanya difokuskan di sekolah dasar. Ada yang beranggapan bahwa siswa yang telah lulus sekolah dasar sudah menguasai keterampilan membaca. Padahal, penguasaan keterampilan membaca memerlukan proses yang panjang dan sudah semestinya kegiatan membaca merupakan bagian dari kehidupan yang terus-menerus. Kedua, pembelajaran membaca terpisah dengan pembelajaran dalam berbagai bidang studi. Semestinya, pembelajaran dan kegiatan membaca merupakan bagian dari semua mata pelajaran di sekolah. Dalam setiap pelajaran, membaca merupakan kegiatan yang utama. Ketiga, guru bahasa adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembelajaran membaca di sekolah. Tanggung jawab pembelajaran membaca tidak bisa hanya dibebankan kepada guru bahasa. Semua guru bidang studi (IPS, IPA, matematika, seni, olahraga, dan yang lain) sudah semestinya ikut membina kegiatan membaca di dalam bidang studi mereka masing-masing. Keterampilan membaca sudah semestinya merupakan sarana untuk menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan sehingga wajarlah jika semua guru bidang studi ikut bertanggung jawab dalam pembinaannya.
            Pengajaran membaca di kelas menengah penuh dengan pesan-pesan campuran dan inkonsistensi. Salah satu ciri khas kelas menengah adalah penekanannya pada siswa sebagai individu, namun guru jarang membedakan pengajaran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa (Tomlinson, Moon, & Callahan, 1998). Siswa diberi tugas untuk membaca materi-materi yang semakin kompleks, tetapi guru tidak meluangkan banyak waktu memperlihatkan mereka bagaimana caranya bersikap strategis. Siswa diharapkan tahu bagaimana membaca berbagai macam jenis teks, namun di sekolah mereka mungkin dibatasi pada cerpen maupun novel-novel yang dipilih guru (biasanya fiksi yang memenangkan hadiah, misalnya cerpen Pada Sebuah Kapal, novel Saman, Supernova, Sang Pemimpin, atau Ayat-ayat Cinta). Guru ingin siswa mampu membaca secara kritis, tetapi mereka jarang memberikan kesempatan bagi siswa untuk memulai mendiskusikan buku-buku yang telah dibaca.
            Selain itu, langkah-langkah yang biasa dilakukan secara rutin oleh seorang guru dalam pembelajaran membaca adalah siswa membaca (nyaring atau dalam hati), siswa mencari kata-kata sulit, guru menjelaskan makna kata sulit, siswa menjawab pertanyaan, dan kadang-kadang dilanjutkan dengan kegiatan siswa menceritakan isi bacaan. Kegiatan ini terbukti mengakibatkan para siswa merasa jenuh dengan pembelajaran membaca. Oleh karena itu, wajarlah jika keterampilan membaca para siswa tidak memadai, termasuk membaca cepat.
            Khusus pembelajaran membaca cepat, guru sekolah menengah (SMA) jarang sekali melakukan. Hal itu disebabkan guru tidak memiliki waktu cukup untuk melakukan pengukuran Kecepatan Efektif Membaca (KEM) siswa. Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran membaca cepat, guru harus menyediakan alat pengukur waktu (stop watch ataupun jam dinding), menyediakan berbagai jenis bacaan, menyediakan soal-soal untuk mengukur pemahaman siswa, dan berbagai media pelatihan awal. Guru juga dituntut untuk menghitung KEM siswa dengan menggunakan alat hitung (kalkulator). Akibatnya, ketika sampai pada subbahasan membaca cepat, tidak jarang guru mengabaikan begitu saja, atau tetap melakukan kegiatan pembelajaran tersebut, tetapi tidak ubahnya dengan pembelajaran membaca pemahaman.
            Kondisi di atas membuat kemampuan membaca cepat siswa kurang terlatih dan relatif rendah. Siswa tidak terlatih dalam menggerakkan mata atau kemampuan viksasinya kurang terlatih, daya konsentrasi siswa kurang terlatih, begitu juga dengan kemampuan mengingatnya dan memahami bacaan. Akibatnya, rata-rata KEM siswa tidak lebih dari 100 kata/menit (kpm). Keadaan tersebut tentunya masih jauh dari tujuan pembelajaran membaca cepat sebab sesuai yang diamanatkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMA, KEM siswa diharapkan 250 kpm s.d. 350 kpm.
            Berdasarkan Studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achievement) disebutkan bahwa pemahaman siswa terhadap isi bacaan cukup rendah, yaitu sekitar 30% dari materi bacaan. Anak Indonesia sukar sekali menjawab soal-soal bacaan yang memerlukan pemahaman/penalaran. Begitu juga hasil penelitian awal di SMA di kota Pasuruan, rata-rata pemahaman siswa 43% dan berdasarkan penelitian yang dilakukan Programme for International Student Assessment, PISA, (2003) disebutkan bahwa kemampuan membaca siswa Indonesia menempati peringkat ke-42 dari 43 negara yang diteliti, di atas negara Tunesia.
            Kemampuan membaca cepat siswa sebenarnya bisa ditingkatkan. Pada saat mulai belajar membaca di sekolah dasar dipelajari huruf-hurufnya, lalu menghubungkan huruf menjadi kata, selanjutnya menjadi kalimat tanpa mengeja huruf demi huruf. Hanya saja, menurut DePorter dan Hernacki (1992), sebagian dari kita tidak pernah mengalami kemajuan lagi setelah tahap ini. Untuk itu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan mitos yang berbunyi: (1) membaca itu sulit, (2) tidak boleh menggunakan jari ketika membaca, (3) membaca harus dilakukan dengan mengeja kata per kata, dan (4) harus membaca perlahan-lahan supaya dapat memahami isinya.
            Norman Lewis dalam bukunya How to Read Better and Faster dalam Soedarso (2001) mengemukakan fakta yang terdapat di beberapa kursus membaca cepat di Amerika. Fakta tersebut adalah: (1) Di Reading Clinic, Darmouth College, peserta kursus pada umumnya mempunyai kecepatan membaca 230 kpm, dan pada pertengahan kursus telah mencapai 500 kpm, (2) University of Florida yang mengelola kursus membaca cepat dengan peserta yang beragam seperti guru, wartawan, pengacara, dan ibu rumah tangga telah melaporkan bahwa rata-rata kecepatan membaca peserta berawal 115-210 kpm dan dalam dua minggu telah mencapai 325 kpm, dan (3) Di Purdue University, kecepatan rata-rata naik dari 245 kpm menjadi 470 kpm. Sementara Harry Shefter dari New York University dalam bukunya Faster Reading Selftaught mengatakan bahwa pada umumnya orang dapat mencapai kecepatan membaca 350-500 kpm.
            Pembelajaran membaca cepat di SMA hendaknya berorientasi pada standar kompetensi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau kurikulum 2006. Standar kompetensi membaca dalam pelajaran bahasa Indonesia berdasarkan KTSP adalah siswa mampu memahami berbagai teks bacaan nonsastra dengan berbagai teknik membaca. Lebih khusus lagi, standar kompetensi dasar membaca cepat dalam KTSP diberlakukan secara berjenjang. Untuk kelas X, standar kompetensi membaca cepat adalah menemukan ide pokok berbagai teks nonsastra dengan teknik membaca cepat 250 kpm, mengungkapkan pokok-pokok isi teks dengan membaca cepat 300 kpm untuk kelas XI, dan untuk kelas XII, standar kompetensi membaca cepat adalah menemukan ide pokok suatu teks dengan membaca cepat 300-350 kpm (Permen Diknas RI Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi ).
            Berdasarkan observasi awal, khususnya dalam pembelajaran membaca cepat di SMA kota Pasuruan, para guru saat ini masih menggunakan model konvensional. Langkah-langkah yang dilakukan guru pada umumnya adalah: (1) siswa diberi bacaan dalam keadaan tertutup yang telah dipersiapkan guru, (2) siswa dikomando untuk membuka bacaan yang ada di depan masing-masing siswa, (3) siswa mulai membaca dengan waktu yang telah ditentukan guru, (4) siswa yang sudah selesai mengacungkan jari dan guru menunjukkan waktu tempuh, (5) siswa mengumpulkan bacaan yang telah dibaca, (6) guru membagi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa, (7) siswa menukar hasil pekerjaannya dengan teman di sampingnya, (8) siswa mengoreksi jawaban teman berdasarkan kunci jawaban dari guru, dan (9) siswa dibantu guru menghitung KEM siswa.
            Secara konvensional, Singh (1979) menyampaikan langkah-langkah pengukuran kemampuan membaca cepat siswa. Langkah-langkah tersebut adalah: (1) ketika mulai membaca, siswa harus mencatat waktu pada selembar kertas, kemudian harus mencatat lagi ketika mengakhiri bacaan, (2) siswa menjawab pertanyaan dan mencatat lagi waktu yang dibutuhkan setelah menjawab pertanyaan, (3) siswa menghitung kata-kata dalam bacaan dibagi dengan setengah jumlah waktu yang dibutuhkan, hasilnya merupakan kecepatan kata per menit. Singh juga memberi saran kepada guru agar mencatatkan waktu baca siswa setiap 15 detik di papan tulis untuk membantu setiap siswa menghitung kecepatan membacanya.
Untuk mengukur tingkat pemahaman siswa, Singh dalam artikelnya yang berjudul Improving Speed and Comprehension in Reading menyampaikan dua hal penting, yaitu (1) waktu yang dibutuhkan dalam menjawab pertanyaan dapat dihitung dalam satuan menit, dan (2) jawaban diperiksa dengan membandingkan kunci jawaban dan yang benar ditandai dan dihitung. Jawaban yang benar dijadikan persen. Jawaban yang betul dinilai dengan mengalikan angka 10.
            Standar kompetensi dasar membaca cepat yang diamanatkan KTSP sulit direalisasikan apabila pembelajaran membaca cepat masih menggunakan model konvensional, baik yang telah dilakukan oleh para guru. Hal ini disebabkan terlalu rumitnya prosedur yang harus dijalani oleh guru dan siswa, serta waktu yang dibutuhkan cukup lama. Akibatnya, guru merasa terbebani dengan jam mengajar yang relatif padat dan alokasi waktu yang tersedia relatif sempit. Keadaan itu menyebabkan siswa tidak dapat melakukan pelatihan membaca cepat secara berulang-ulang. Bahkan dimungkinkan dalam satu semester siswa hanya mengikuti satu kali kegiatan pembelajaran membaca cepat. Untuk itu diperlukan sebuah model baru dalam pembelajaran membaca cepat, misalnya dengan model e-Learning. Pembelajaran model e-Learning dalam pembelajaran membaca cepat dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu elektronik, yaitu komputer/ laptop, software membaca cepat, dan di-upload ke internet.
            Pembelajaran membaca cepat dengan menggunakan model e-Learning merupakan pembelajaran yang dapat dilakukan secara berulang-ulang dengan menggunakan teori pembelajaran behavioristik dan kognitivistik. Teori pembelajaran behavioristik Skinner menjelaskan bahwa perlunya penguatan dalam setiap pembelajaran ketika siswa melakukan respon dengan benar. Ada beberapa prinsip pembelajaran behavioristik, yaitu (a) pembelajaran dapat berjalan dengan baik apabila siswa ikut berpartisipasi secara aktif, (b) materi diatur berdasarkan urutan tertentu, (c) setiap respon harus segera diberi umpan balik, dan (d) apabila siswa memberi respon dengan benar perlu diberi penguatan (Hartley dan Davies, 1978); dan teori pembelajaran kognitivistik Bruner yang menjelaskan bahwa dalam pembelajaran, bahan pembelajaran perlu diatur dengan baik dan penyajiannya disesuaikan dengan perkembangan kognitif siswa (Worrel dan Stiwell, 1981). Pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning yang dilaksanakan dalam penelitian ini memperhatikan kedua teori pembelajaran di atas.
            Dengan pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning diharapkan dapat merangsang siswa untuk meningkatkan KEM-nya, meskipun tidak dapat dilakukan secara singkat. Penggunaan model e-Learning sangat membantu siswa dalam memilih bahan bacaan sesuai dengan minat dan perkembangan mereka. Hal itu disebabkan di dalam software membaca cepat terdapat berbagai jenis bacaan.
            Sesuai dengan perkembangan teori e-Learning, kegiatan pembelajaran membaca cepat yang disajikan dalam penelitian pengembangan ini dapat dilakukan oleh siswa melalui jasa internet. Siswa dapat melakukan pelatihan membaca cepat di mana saja dan kapan saja sesuai dengan keinginan siswa. Hasil penelitian pengembangan ini, khususnya software membaca cepat di-upload-kan ke internet.
            Dengan model e-Learning, siswa dapat melakukan pelatihan membaca cepat tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar sekolah melalui media elektronik berbasis internet. Pertemuan di kelas secara runtin tidak cukup untuk mencapai peningkatan KEM siswa secara optimal, siswa perlu juga berlatih di rumah atau di tempat yang tersedia jaringan internet. Dengan demikian diharapkan siswa dapat meningkatkan KEM-nya sesuai yang diharapkan KTSP.

C. Rumusan Masalah
            Penggunaan model konvensional dalam pembelajaran membaca cepat di SMA kurang dapat meningkatkan KEM siswa. Hal ini disebabkan siswa tidak memiliki waktu yang cukup dalam melatih kecepatan membacanya. Selain itu, guru bahasa Indonesia kurang memperhatikan materi ini karena berbagai alasan, misalnya: 1) guru harus mempersiapkan berbagai media pelatihan awal, 2) guru tidak memiliki banyak waktu untuk menyediakan berbagai jenis bacaan dan soal-soal untuk pengukuran pemahaman siswa, 3) guru kurang memiliki kemampuan dan waktu dalam menghitung KEM siswa, dan 4) siswa hanya dapat melakukan pelatihan membaca cepat sebanyak satu kali dalam satu semester. Untuk itu diperlukan model pembelajaran baru dalam pembelajaran membaca cepat di SMA, yaitu model e-Learning.
            Penggunaan model e-Learning dalam pembelajaran membaca cepat di SMA diharapkan dapat mengatasi kesulitan guru bahasa Indonesia dan siswa. Dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning, guru tidak perlu lagi mempersiapkan berbagai media pembelajaran, baik itu media pelatihan awal maupun media berupa berbagai bacaan dan soal-soal. Guru tidak perlu lagi direcoki untuk menghitung KEM siswa. Selain itu, siswa dapat melakukan pelatihan membaca cepat berulang-ulang yang bisa dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah.
            Sesuai dengan latar belakang dan kondisi pembelajaran membaca cepat di SMA di atas, masalah penelitian dalam disertasi ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah model perencanaan pembelajaran membaca cepat di SMA, khususnya     SMAN 1 dan SMAN 3 Pasuruan dengan model e-Learning? Subrumusan ini meliputi:     (a) pengembangan perangkat lunak (software) membaca cepat dalam pembelajaran     membaca cepat dengan model e-Learning, (b) penyusunan silabus pembelajaran     membaca cepat dengan model e-Learning, (c) penyusunan RPP pembelajaran membaca     cepat dengan model e-Learning, (d) penyusunan materi dalam pembelajaran membaca     cepat dengan model e-Learning, serta (e) penyiapan berbagai media pelatihan awal     dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning.
2) Bagaimanakah model pelaksanaan pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1 dan     SMA Negeri 3 Pasuruan dengan model e-Learning? Subrumusan ini meliputi: (a)     berbagai kegiatan pelatihan awal dalam pembelajaran membaca cepat, dan (b) berbagai     skenario pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning.
3) Bagaimanakah model evaluasi dalam pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1     dan SMA Negeri 3 Pasuruan dengan model e-Learning? Subrumusan ini meliputi: (a)     evaluasi proses pelaksanaan pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning,     dan (b) evaluasi KEM siswa dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-     Learning.

D. Tujuan Pengembangan
            Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk mendapatkan model pembelajaran membaca cepat yang dapat dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca cepat siswa. Model pembelajaran tersebut adalah model e-Learning, yaitu model pembelajaran membaca cepat dengan menggunakan alat bantu alat elektronik, yaitu komputer/Laptop dan software membaca cepat yang di-upload-kan ke internet. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Mengembangkan model perencanaan pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1     dan SMA Negeri 3 Pasuruan dengan model e-Learning yang meliputi: (a) perangkat     lunak (software) membaca cepat dalam ;pembelajaran membaca cepat dengan model e-     Learning, (b) silabus     pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning, (c)     RPP pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning, (d) materi dalam     pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning, serta (e) media pelatihan awal     dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning.
2) Mengembangkan model pelaksanaan pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1     dan SMA Negeri 3 Pasuruan dengan model e-Learning yang meliputi: (a) berbagai     kegiatan pelatihan awal dalam pembelajaran membaca cepat, dan (b) berbagai skenario     pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning.
3) Mengembangkan model evaluasi dalam pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1     dan SMA Negeri 3 Pasuruan dengan model e-Learning yang meliputi: (a) evaluasi     proses pelaksanaan pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning, dan (b)     evaluasi KEM siswa dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning.

E. Spesifikasi Produk yang Diharapkan
            Ada beberapa produk dalam penelitian pengembangan ini. Produk tersebut antara lain: 1) software membaca cepat, 2) buku panduan guru tentang perencanaan dan proses pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning dengan software membaca cepat, 3) buku panduan siswa tentang penggunaan software membaca cepat, serta 4) buku dan CD yang berisi berbagai jenis bacaan, berbagai tipe pertanyaan dan kunci jawaban. Spesifikasi produk yang dihasilkan dalam penelitian ini - secara konseptual - dapat dijelaskan sebagai berikut.
    1. Software Membaca Cepat
            Software membaca cepat dalam penelitian pengembangan ini berupa perangkat         lunak yang dapat digunakan untuk mengukur kecepatan membaca cepat seseorang         secara cepat dan tepat. Di dalam software ini dimuat data peserta, penambahan         bacaan, penambahan soal-soal, media berbagai pelatihan awal yang meliputi:         pelatihan gerak mata, pelatihan konsentrasi, dan pelatihan daya ingat; berbagai         bacaan dan beberapa tipe pertanyaan setiap bacaan yang digunakan untuk mengukur         pemahaman pembaca; dan penghitungan KEM siswa secara otomatis.

Tabel 1 Karakteristik Software Membaca Cepat

NOKOMPONENKARAKTERISTIKTUJUAN
1. Program yang digunakan Program ini berbasis atau dibuat dengan Visual Basic. Untuk menjalankan program ini harus ada Microsoft Office Acces karena Data Base Software ini menggunakan Microsoft Office Acces. Software dibuat dengan autorun. Lebih mempermudah dalam pembuatan dan penggunaannya
2.Bagian awal Software Tampilan awal software berisi cara penggunaan, yaitu dengan Klik Start – All Program – Kem. Selanjutnya, guru memasukkan nama pengguna dan Password. Agar siswa tidak dapat membuka kunci jawaban yang benar
3. Pelatihan Awal - Sebelum melakukan pelatihan awal Speed Reading dengan software ini, terlebih dahulu guru harus meng-input Daftar Peserta dan meng-input bacaan dan soal yang diinginkan. Apabila sudah cukup dengan bacaan yang tersedia, guru cukup meng-input nama siswa saja.
- Pelatihan awal terdiri atas pelatihan gerak mata, daya ingat, dan konsentrasi.
Untuk membentuk daya konsentrasi siswa sebelum melakukan kegiatan membaca cepat
4.Pengukuran KEM- Pengukuran KEM dimulai dengan mengetahui waktu yang dibutuhkan siswa dalam menyelesaikan pembacaan bacaan yang dipilih siswa.
- Selanjutnya, siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan isi bacaan dengan men-klik jawaban yang dianggap benar.
- Software secara otomatis menunjukkan KEM siswa hasil perpaduan antara waktu baca dengan pemahaman siswa
Untuk mengetahui kecepatan efektif membaca siswa dengan cepat dan tepat. KEM menggunakan satuan KPM (kata per menit)



    2. Buku Panduan Guru
        Produk buku panduan guru dalam penelitian pengembangan ini berisi petunjuk para         guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning         dengan alat bantu software. Dalam buku panduan ini, guru diberi penjelasan tentang         cara memasukkan data siswa yang akan diukur KEM-nya serta cara memasukkan         materi dan soal-soal baru beserta kunci jawabannya yang dimasukkan dalam         software. Secara lebih rinci, karakteristik buku panduan guru sebagai berikut.

Tabel 2 Karakteristik Buku Panduan Guru
NOKOMPONEN KARAKTERISTIKTUJUAN
1. Sampul Sampul buku panduan guru dalam menggunakan software membaca cepat ini berisi judul buku panduan guru dalam menggunakan software pada pembelajaran membaca cepat, nama penyusun, foto kegiatan pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning. Memberi identitas buku panduan guru dalam menggunakan software pada pembelajaran membaca cepat di SMA
2.PengantarPengantar berisi pentingnya kemampuan membaca cepat, isi singkat buku panduan, cara penggunaan buku panduan, dan harapan kepada pembaca untuk memberi masukan terhadap kualitas buku panduan.Memberikan motivasi kepada pembaca (guru) untuk menggunakan buku panduan sebelum melakukan kegiatan pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning
3.Daftar isiBerisi butir-butir isi buku panduan beserta halaman. Mempermudah pengguna software dalam mencari isi buku
4.Isi Buku PanduanDaftar Kompetensi Dasar (KD)
Bagian pertama buku panduan guru berisi berbagai KD dalam pembelajaran membaca cepat berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMA/MA
Mengetahui kompetensi dasar yang akan dicapai
..Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran berisi judul RPP, identitas RPP, tujuan pembelajaran, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, sumber belajar, penilaian, dan identitas penyusun RPP dan mengetahui kepala sekolah
Mempermudah guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran karena dalam RPP juga dimuat langkah-langkah kegiatan pembelajaran
..Panduan Penggunaan software speed reading (MC)
Panduan memuat cara guru menggunakan software MC dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-leaning. Panduan meliputi cara membuka program, pengisian identitas siswa, pengisian atau pemilihan bacaan dan soal, pengukuran KEM siswa.
Menuntun dan memberi pengetahuan pada guru dalam menggunakan software MC dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning
..Penutup
Berisi kesimpulan dan harapan kepada pengguna software MC
Menutup buku panduan
5.LampiranLampiran berisi berbagai foto-foto tahapan penggunaan software MC dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning Memudahkan guru dalam menggunakan software


    3. Buku Panduan Siswa
            Dalam buku petunjuk siswa disediakan petunjuk penggunaan software membaca         cepat. Siswa dapat melakukan sendiri pelatihan membaca cepat secara berulang-         ulang. Siswa juga diberi petunjuk cara memilih bacaan sesuai dengan tingkat         pendidikan dan kebutuhannya.

Tabel 3 Karakteristik Buku Panduan Siswa
NOKOMPONEN KARAKTERISTIKTUJUAN
1. Sampul Sampul buku panduan guru dalam menggunakan software membaca cepat ini berisi judul buku panduan guru dalam menggunakan software pada pembelajaran membaca cepat, nama penyusun, foto kegiatan pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning. Memberi identitas buku panduan guru dalam menggunakan software pada pembelajaran membaca cepat di SMA
2.PengantarPengantar berisi pentingnya kemampuan membaca cepat, isi singkat buku panduan, cara penggunaan buku panduan, dan harapan kepada pembaca untuk memberi masukan terhadap kualitas buku panduan.Memberikan motivasi kepada pembaca (guru) untuk menggunakan buku panduan sebelum melakukan kegiatan pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning
3.Daftar isiBerisi butir-butir isi buku panduan beserta halaman. Mempermudah pengguna software dalam mencari isi buku
4.Isi Buku PanduanDaftar Kompetensi Dasar (KD)
Bagian pertama buku panduan guru berisi berbagai KD dalam pembelajaran membaca cepat berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SMA/MA
Mengetahui kompetensi dasar yang akan dicapai
..Panduan Penggunaan software speed reading (MC)
Panduan memuat cara guru menggunakan software MC dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-leaning. Panduan meliputi cara membuka program, pengisian identitas siswa, pengisian atau pemilihan bacaan dan soal, pengukuran KEM siswa.
Menuntun dan memberi pengetahuan pada guru dalam menggunakan software MC dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning
..Penutup
Berisi kesimpulan dan harapan kepada pengguna software MC
Menutup buku panduan



    4. Buku dan CD Materi Membaca Cepat
        Buku dan CD berisi berbagai jenis bacaan yang dapat digunakan untuk berbagai         jenjang pendidikan dan berbagai tipe pertanyaan yang dapat digunakan untuk         mengukur pemahaman siswa. Bacaan yang digunakan untuk berbagai jenjang         pendidikan berdasarkan tema bacaan dan tingkat keterbacaan dengan menggunakan         penghitungan melalui grafik Fry.

F. Pentingnya Pengembangan
            Pembelajaran membaca cepat secara konvensional selama ini tampaknya belum mendapatkan hasil secara optimal. Hal itu disebabkan beberapa kelemahan, misalnya: waktu yang dibutuhkan relatif lama, pengukuran pemahaman siswa kurang efektif, pengukuran tidak dapat dilakukan berulang-ulang, kesulitan guru dalam menghitung KEM siswa, dan perlu adanya persiapan pembelajaran yang relatif rumit dan kompleks, guru sering meninggalkan pembelajaran membaca cepat. Untuk itu, dalam penelitian pengembangan ini diharapkan dapat dihasilkan sebuah model pembelajaran yang dapat memberikan kemudahan, keefektivan, kepraktisan, dan keoptimalan hasil pembelajaran membaca cepat yang pada akhirnya dapat meningkatkan KEM siswa. Model pengembangan tersebut adalah model e-Learning.
            Model e-Learning diperlukan dan dipentingkan oleh beberapa pihak yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran, yaitu siswa, guru, penyusun buku, dan Dinas Pendidikan. Pentingnya hasil pengembangan terhadap pihak-pihak di atas dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Bagi Siswa
            Siswa kurang mendapat perhatian untuk mendapatkan atau meningkatkan kemampuan membaca cepatnya. Hal itu disebabkan kurangnya frekuensi pembelajaran membaca cepat yang dilakukan oleh guru. Kalaupun dilaksanakan pembelajaran membaca cepat, frekuensi uji coba ataupun pelatihan membaca cepat hanya satu kali dalam setiap pertemuan dan mungkin dalam satu semester.
            Berdasarkan fenomena di atas, hasil penelitian pengembangan ini diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan membaca cepatnya dengan melakukan kegiatan pelatihan secara berulang-ulang, baik di kelas maupun di rumah. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan siswa dalam melatih viksasi dan daya ingat siswa melalui pelatihan-pelatihan awal dalam software yang dihasilkan.
2. Bagi Guru Bahasa Indonesia
            Hasil penelitian pengembangan ini diharapkan dapat mempermudah guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran membaca cepat. Guru benar-benar terbantukan dengan adanya software membaca cepat karena guru bahasa Indonesia. Selain itu, buku petunjuk yang dihasilkan juga dapat mempermudah guru dalam memahami langkah-langkah pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning.
3. Bagi Penyusun Buku
            Hasil penelitian pengembangan ini juga dapat digunakan oleh penyusun buku pelajaran sehingga penyusun buku tidak perlu menyediakan banyak bacaan dalam buku yang dihasilkan. Penyusun buku dapat memberi petunjuk pada pemakai buku tentang webb site yang dapat dibuka untuk mendapatkan software membaca cepat hasil penelitian pengembangan ini.
4. Bagi Dinas Pendidikan
            Dinas Pendidikan dapat memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan SDM siswa yang ada dalam lingkungan kerjanya. Dinas Pendidikan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk melakukan berbagai diklat atau pelatihan membaca cepat, baik untuk guru maupun siswa.

G. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan
1. Asumsi
    Penelitian pengembangan ini dilandasi oleh sejumlah asumsi, yaitu:
    a. Kecepatan membaca siswa SMA kurang optimal karena masih digunakan model         konvensional dalam pelaksanaan pembelajaran.
    b. Kemampuan membaca cepat siswa SMA dapat ditingkatkan dengan menggunakan         model e- Learning.
    c. Di dalam kecepatan membaca seseorang terkandung pemahaman isi bacaan.
    d. Pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning dapat dilakukan berulang-         ulang dan dapat dilakukan di rumah oleh siswa secara mandiri.
    e. Dalam proses pembelajaran, penggunaan model e-Learning dengan bantuan software         dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran membaca cepat.
2. Keterbatasan Pengembangan dan Penelitian
    a. Keterbatasan Pengembangan
        Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
        1) Software membaca cepat yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini             dapat digunakan hanya pada sekolah yang memiliki laboratorium komputer.
        2) Software membaca cepat yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini             dapat digunakan apabila semua materi yang dibutuhkan sudah siap dan sesuai             dengan kebutuhan siswa.
        3) Buku panduan guru yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini hanya             berisi silabus, RPP, skenario pembelajaran, dan berbagai jenis bacaan dan soal-             soal beserta kunci jawaban yang berhubungan dengan pembelajaran membaca             cepat di SMA.
        4) Buku panduan siswa yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini hanya             berisi cara menggunakan software dalam belajar membaca cepat di SMA.
    b. Keterbatasan Penelitian
        1) Penelitian dilakukan di kelas X SMAN 1 sebagai wakil sekolah favorit dan SMAN             3 sebagai sekolah kurang favorit.
        2) Penelitian dilakukan pada semester satu tahun pemajaran 2009/2010.
        3) Penelitian dilakukan pada jurusan IPA sebanyak 2 kelas dan IPS sebanyak dua             kelas.

H. Definisi Operasional
            Untuk menghindari kesalahpahaman penafsiran istilah, berikut ini disajikan definisi operasional dari sejumlah istilah pokok yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini. Istilah-istilah pokok tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Membaca  cepat  adalah&nbps; perpaduan  kemampuan motorik (gerakan mata) atau     kemampuan menyelesaikan pembacaan bacaan dengan kemampuan kognitif siswa atau     pemahaman isi bacaan melalui menjawab pertanyan-pertanyaan yang berhubungan     dengan bacaan yang terdapat dalam software membaca cepat.
2. Software  membaca  cepat  adalah sebuah perangkat lunak yang digunakan untuk     mengukur kecepatan membaca cepat siswa. Di dalam software ini telah tersedia media     pelatihan awal, berbagai jenis bacaan, berbagai tipe pertanyaan, dan penghitungan KEM     siswa secara otomatis. Software ini dibuat oleh peneliti melalui kerja sama dengan ahli     programer dari Institut Teknologi Surabaya (ITS). Software ini selanjutnya disebut     software membaca cepat.
3. Peningkatan Kecepatan Efektif Membaca (KEM) adalah perubahan skor KEM siswa ke     arah yang lebih baik setelah mengikuti pembelajaran membaca cepat dengan model e-     Learning.
4. Model e-Learning dalam penelitian ini adalah kerangka konseptual yang digunakan untuk     mengorganisasi komponen-komponen pembelajaran membaca cepat dengan alat bantu     komputer dengan software membaca cepat yang di dalamnya berisi pelatihan awal,     berbagai jenis bacaan, berbagai tipe pertanyaan, dan penghitungan secara otomatis     tentang KEM siswa dengan menggunakan KTSP.
5. Buku panduan dalam penelitian ini adalah buku yang digunakan oleh guru dan siswa.     Buku panduan guru berisi petunjuk para guru dalam melaksanakan pembelajaran     membaca cepat dengan model e-Learning dengan alat bantu software, sedangkan buku     petunjuk siswa berupa buku yang berisi petunjuk siswa dalam melakukan pelatihan     membaca cepat dengan alat bantu software.
6. Buku materi dalam penelitian ini adalah buku yang memuat unit-unit teks (bacaan) dan     soal-soal yang disusun untuk meningkatkan kemampuan membaca cepat siswa. Bacaan     dalam buku materi ini dapat digunakan guru dalam pembelajaran membaca cepat di     dalam kelas untuk mengganti atau menambah bahan atau alat ukur KEM siswa. Untuk     mempermudah guru, buku materi ini dilengkapi dengan CD agar guru tidak perlu     mengetik lagi.
7. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam penelitian ini adalah kurikulum     yang diberlakukan mulai tahun pelajaran 2009/2010 berdasarkan Permen Diknas RI No.     22, 23, dan 24 tahun 2006 yang digunakan di SMA kota Pasuruan.

I. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK
1. Kajian Pustaka
            Dalam kajian pustaka diuraikan tentang: (1) membaca sebagai bagian dari     keterampilan berbahasa, yang mencakup (a) hakikat membaca, (b) hakikat membaca     cepat, dan (c) tingkat pemahaman membaca; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi     kemampuan membaca cepat, yang mencakup (a) mata, (b) faktor psikologis (sikap,     motivasi, minat, intelegensi, dan (c) materi bacaan; (3) pembelajaran membaca cepat     dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA berdasarkan KTSP, yang meliputi: (a)     kompetensi membaca     cepat di SMA berdasarkan KTSP dan (b) pembelajaran     membaca cepat di SMA berdasarkan KTSP; (4) pengembangan model e-Learning     dalam pembelajaran membaca cepat, yang meliputi: (a) model e-Learning dalam     pembelajaran membaca cepat di SMA, dan (b) penggunaan model e-Learning dalam     pembelajaran membaca cepat di SMA.
    a. Membaca sebagai Bagian dari Keterampilan Berbahasa
        Ada empat keterampilan berbahasa, yaitu: keterampilan menyimak, keterampilan         berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Keempat keterampilan         tersebut dikuasai oleh seseorang secara berurutan, mulai dari keterampilan         menyimak sampai dengan keterampilan menulis. Dengan demikian, keterampilan         membaca dikuasai oleh seseorang setelah dia terampil menyimak dan berbicara.
        1) Hakikat Membaca
              Membaca pada hakikatnya adalah suatu tindakan yang tidak sekadar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan banyak hal, antara lain: aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif. Pengenalan kata bisa berupa aktivitas membaca kata-kata dengan menggunakan kamus (Crawley dan Mountein, 1995).
            Membaca merupakan proses berpikir. Untuk dapat memahami bacaan, pembaca terlebih dahulu harus memahami kata-kata dan kalimat yang dihadapinya melalui kegiatan dalam proses asosiasi dan proses eksperimental sebagaimana sebelumnya, selanjutnya ia membuat simpulan dengan menghubungkan isi proposisi yang terdapat dalam materi bacaan. Untuk itu, dia harus mampu berpikir secara sistematis, logis, dan kreatif. Bertitik tolak dari kesimpulan itu, pembaca dapat menilai bacaan. Kegiatan menilai ini menuntut kemampuan berpikir kritis (Syafi’ie, 1993:44).
            Membaca merupakan suatu proses transaksi ketika pembaca menegosiasikan makna atau interpretasi. Weaver seperti dikutip Tomkins dan Hoskisson (1995) menyatakan bahwa selama membaca, makna tidak datang dengan sendirinya dari teks ke pembaca, tetapi di dalam membaca terjadi negosiasi yang kompleks antara teks dan pembaca yang ditentukan oleh konteks situasi langsung dan konteks sosiolinguistik yang luas. Konteks situasi langsung meliputi pengetahuan pembaca tentang topik bacaan, tujuan membaca, dan faktor lain yang terkait dengan situasi. Konteks sosiolinguistik yang luas meliputi masyarakat bahasa tempat pembaca tinggal dan menjadi pengguna bahasa itu dan harapan pembaca terhadap kegiatan membaca yang didasarkan atas pengalamannya yang terdahulu.
            Membaca merupakan interaksi antara pembaca dan penulis. Interaksi tersebut memang bukan interaksi langsung, tetapi bersifat komunikatif. Penulis menyampaikan ide dan gagasan melalui tulisannya agar dapat dipahami oleh pembaca. Pembaca yang memiliki kemampuan lebih akan mampu menjalin komukasi yang lebih baik dengan penulis. Dengan demikian, pembaca yang baik akan mampu menyusun pengertian-pengertian yang tertuang dalam kalimat-kalimat yang disajikan oleh penulis sesuai dengan konsep yang terdapat pada diri pembaca.
            Membaca juga dapat dijadikan tujuan mencari pahala kelak di akhirat, bahkan membaca merupakan ibadah yang paling utama (setelah ibadah fardlu). Membaca yang semula merupakan sarana mencari pengetahuan ternyata dapat dijadikan tujuan. Selain tujuan mencari pahala kelak di akhirat, membaca juga dapat dijadikan pengobat hati yang sakit dengan syarat bacaan itu disertai dengan pemahaman. Hal itu dapatlah dijadikan bukti bahwa membaca dapat dijadikan sarana mempelajari ilmu. Selain itu, membaca juga dapat dijadikan sarana mencapai tujuan melestarikan khazanah ilmiah agar eksistensinya tetap terjaga.
            Keterampilan membaca dapat dilihat sebagai suatu proses dan sebagai hasil (Burns, dkk. 1984). Sebagai suatu proses, membaca mencakup (a) proses visual, (b) proses berpikir, (c) proses psikomotorik, (d) proses metakognitif, dan (e) proses teknologi (Crawley and Montain, 1995). Sebagai suatu proses visual, dalam membaca terjadi pergerakan mata. Mata pembaca membuat fiksasi dan melompat dari satu fiksasi ke fiksasi lain dalam gerakan cepat (saccadic movement). Sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup pengenalan kata, pemahaman literal, dan pemberian kritik. Pengenalan kata meliputi keterampilan untuk membaca kata dengan cepat dan tepat tanpa bantuan kamus. Pemahaman literal meliputi keterampilan untuk memahami kata dan memahami pengelompokkan kata-kata tersebut ke dalam frasa, klausa, kalimat, dan paragraf. Pada pemahaman literal ini, pembaca juga mencoba memahami maksud penulis sehingga pembaca dapat membuat kesimpulan dan memberikan tanggapan terhadap bacaan. Pada pemberian kritik, pembaca menciptakan ide-ide orisinil.
            Sebagai suatu proses psikolinguistik, dalam membaca terjadi interaksi antara pikiran dan bahasa. Selama proses ini, skemata sangat membantu pembaca dalam menyusun makna. Pengetahuan pembaca tentang fonologi, semantik, sintaksis sangat membantu pembaca dalam memahami dan menginterpretasi pesan. Sementara itu, sebagai suatu proses metakognitif, kegiatan membaca mencakup perencanaan, penentuan strategi, pemantauan, dan penilaian. Dalam membaca, pembaca mengidentifikasi tugas-tugas dalam membaca, menentukan strategi untuk memahami bacaan, memantau pemahaman, dan menilai keberhasilan.
            Sebagai suatu proses teknologi, kegiatan membaca dapat mencakup interaksi pembaca dengan komputer. Dengan menggunakan program tertentu, komputer dapat mengucapkan kata-kata untuk pembaca dan dapat membaca seluruh bacaan dengan berbagai macam dan karakteristik suara. Dilihat sebagai hasil, dalam membaca terdapat pencapaian komunikasi pikiran dan perasaan pembaca dengan penulis (Burns, dkk., 1984). Komunikasi ini terjadi karena terdapat kesamaan pengetahuan dan asumsi antara pembaca dan penulis. Komunikasi ini sangat tergantung pada pemahaman yang diperoleh pembaca dalam semua proses membaca.
            Membaca juga merupakan proses psikologi. Sebagai suatu proses psikologis, kemampuan membaca dipengaruhi oleh intelegensi umum sebagai faktor yang terpenting. Faktor tersebut merupakan angka rata-rata perkembangan mental yang memiliki kaitan yang jelas dengan faktor lainnya, seperti: usia, sosial ekonomi, bahasa dan sebagainya.
            Ada berbagai macam keterampilan membaca. Di SD, misalnya, pembelajaran membaca dibagi ke dalam dua tahap, yakni (1) membaca permulaan yang diberikan pada siswa kelas I dan II, dan (2) membaca lanjut yang diberikan pada siswa kelas III, IV, V, dan VI (Supriyadi dkk., 1992). Dalam tahap membaca permulaan, tekanan pembelajaran membaca terdapat pada membaca teknik (Zuchdi dan Budiasih, 1996/1997). Dalam tahap membaca lanjut, tekanan pembelajarannya terdapat pada membaca pemahaman. Dengan demikian, pada pembelajaran membaca di kelas III, IV, V, dan VI SD lebih ditekankan pembelajaran membaca pemahaman. Pada jenjang pendidikan SLTP dan SLTA, sudah semestinya pembelajaran membaca pemahaman lebih ditekankan dalam upaya membantu siswa menguasai berbagai konsep dalam berbagai bidang studi.
            Membaca tidak sekadar menyuarakan tulisan, baik dengan suara nyaring maupun suara dalam hati, tetapi juga suatu proses membahami bahasa tulis (Rumelhart, 1985). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa membaca merupakan proses bahasa reseptif, yaitu suatu proses psikolinguistik yang dimulai dengan representasi bahasa yang dikodekan oleh penulis dan berakhir dengan makna yang dibangun oleh pembaca.
            Pada satu tahap, membaca dapat dikatakan sebagai proses penerjemahan rangkaian grafis ke dalam kata-kata lisan (Adams dan Collins, 1985). Proses membaca semacam ini biasanya berlangsung pada permulaan belajar membaca di kelas I dan II SD. Penekanan membaca pada tahap ini adalah pada proses perseptual, yaitu pengenalan korespondensi rangkaian huruf-huruf dengan bunyi-bunyi bahasa.
            Tiga istilah sering digunakan untuk memberikan komponen dasar dari proses membaca, yaitu recording, decoding, dan meaning. Recording merujuk pada kata-kata dan kalimat, kemudian mengasosiasikannya dengan bunyi-bunyinya sesuai dengan sistem tulisan yang digunakan, sedangkan proses decoding (penyandian) merujuk pada proses penerjemahan rangkaian grafis ke dalam kata-kata. Proses recording dan decoding biasanya berlangsung pada kelas-kelas awal SD yang dikenal dengan istilah membaca permulaan. Penekanan membaca pada tahap ini ialah proses perseptual, yaitu pengenalan korespondensi rangkaian huruf dengan bunyi-bunyi bahasa. Sementara itu, proses memahami makna lebih ditekankan di kelas-kelas tinggi SD sampai pada perguruan tinggi (Syafi’ie: 1999).
            Pemahaman tentang hubungan antara bunyi dan simbol yang berlangsung dengan efisiensi dan bahkan otomatis merupakan suatu yang penting dalam kegiatan membaca. Pemahaman makna berlangsung melalui berbagai tingkat, mulai dari tingkat pemahaman literal sampai pada pemahaman yang interpretatif, kreatif, dan evaluatif (Lamb dan Arnold: 1976). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa membaca merupakan gabungan proses perseptual dan kognitif.
            Membaca melibatkan proses visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Membaca sebagai proses merupakan proses menerjemahkan simbol tulis ke dalam bunyi. Sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan membaca kreatif. Membaca sebagai proses linguistik merupakan interaksi antara pemikiran dan bahasa. Selama proses linguistik, skemata pembaca membantu pembaca membangun makna, sedangkan fonologis, semantik, dan fitur sintaksis membantu pembaca mengomunikasikan dan menginterpretasi pesan-pesan. Proses metakognitif melibatkan perencanaan, pembetulan suatu strategi, pemonitoran, dan pengevaluasian. Pembaca pada tahap ini mengidentifikasi tugas pembaca untuk membentuk strategi membaca yang sesuai, memonitor pemahamannya, dan menilai hasilnya.

        2) Hakikat Membaca Cepat
            Bebagai informasi baru terus bermunculan dalam kehidupan kita dalam setiap harinya. Infomasi itu disebarkan melalui media elektronik maupun non-elektronik. Informasi dari media elektronik dapat diperoleh melalui internet, radio, dan televisi, sedangkan dari media non-elektrnik dapat diperoleh dari surat kabar, majalah, jurnal, dan lainnya. Gencarnya arus informasi tersebut menuntut kita untuk memiliki kemampuan membaca cepat yang memadai.
            Membaca cepat adalah perpaduan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitif seseorang dalam membaca. Membaca cepat merupakan perpaduan antara kecepatan membaca dengan pemahaman isi bacaan. Kecepatan membaca yang seseorang harus seiring dengan kecepatan memahami bahan bacaan yang telah dibaca.
            Ketika kita membaca cepat suatu bacaan, tujuan sebenarnya bukan untuk mencari kata dan gambar secepat mungkin, namun untuk mengidentifikasi dan memahami makna dari bacaan tersebut seefisien mungkin, kemudian mentransfer informasi ini kedalam memori jangka panjang dalam otak kita. Kemampuan membaca cepat merupakan keterampilan memilih isi bacaan yang harus dibaca sesuai dengan tujuan, yang ada relevansinya dengan pembaca tanpa membuang-buang waktu untuk menekuni bagian-bagian lain yang tidak diperlukan (Soedarso, 2001). Membaca cepat adalah keterampilan membaca sekilas dengan mengondisikan otak bekerja lebih cepat sehingga konsentrasi akan lebih membaik secara otomatis (Hernowo (Ed.), 2003).
            Dalam membaca cepat terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat pula (Soedarso, 2001). Pemahaman inilah yang diperioritaskan dalam kegiatan membaca cepat, bukan kecepatan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa membaca lambat akan meningkatkan pemahaman, bahkan orang yang biasa membaca lambat untuk mengerti suatu bacaan akan dapat mengambil manfaat yang besar dengan membaca cepat. Sebagaimana pengendara mobil, seorang pembaca yang baik akan mengatur kecepatannya dan memilih jalan terbaik untuk mencapai tujuannya. Kecepatan membaca seseorang sangat tergantung pada materi dan tujuan membaca, dan sejauh mana keakraban pembaca dengan materi bacaan.
            Strategi membaca cepat dilakukan dengan tujuan untuk memahami intisari bacaan, bukan bagian-bagian yang lebih kecil. Oleh sebab itu, dalam membaca cepat sudah sepantasnya dilakukan dengan kecepatan tinggi, meskipun dimungkinkan terjadi lompatan-lompatan. Bagian-bagian yang dapat dilompati adalah bagian-bagian yang dianggap kurang informatif atau bagian yang dianggap tidak perlu mendapat respon. Bagian-bagian yang umum dan sudah diketahui tidak perlu dibaca. Dengan demikian, panjang bacaan menjadi bisa berkurang sampai sekitar 40%.
            Kunci utama membaca cepat adalah melaju terus tanpa harus memindahkan pandangan ke arah sebelumnya. Pembaca cepat yang baik hendaknya membiasakan gerakan mata dan proses berpikir mengalir dari awal menuju akhir bacaan. Pada saat berlatih membaca cepat awal, pembaca dapat meninggalkan sementara aspek pemahaman secara mnyeluruh. Pembaca dapat memperhatikan makna kata-kata kunci yang ditemukan atau pemahaman yang diperleh merupakan pemahaman penggalan-penggalan bacaan.
            As-Sirjani (2007:152) mengutarakan beberapa kiat dalam membaca cepat, yaitu: (1) paksa diri Anda untuk membaca cepat, (2) bacalah ungkapan dan kalimat, bukan per kata, (3) bacalah dengan melompat-lompat dan tandailah hal-hal yang dianggap penting, (4) ujilah kemampuan membaca cepat anda setiap saat, (5) hindari keramaian dan gangguan lainnya ketika membaca, (6) duduklah dengan tenang dan relaks ketika membaca, (7) hindarilah membaca dengan suara nyaring atau dengan menggerak-gerakkan mulut, (8) berkonsentrasilah dengan penuh ketika membaca, dan (9) pilihlah waktu yang sesuai dengan jenis bacaan yang dibaca!
            Ada beberapa keuntungan apabila kita memiliki kemampuan membaca cepat. Dalam keadaan terdesak, seorang pembaca dapat menyelesaikan bahan bacaan secara lebih luwes. Pembaca dapat secara cepat mengetahui bagian-bacaan yang perlu dibaca dan yang tidak perlu dibaca. Perhatian pembaca bisa langsung terfokus pada bagian-bagian yang baru dan belum dikuasai dengan mengesampingkan hal-hal yang sudah dipahami. Pembaca yang memiliki kemampuan membaca cepat akan lebih dahulu menyesaikan tugasnya dibanding dengan pembaca pada umumnya.
            Ada empat macam cara membaca, yaitu: reguler (biasa), melihat dengan cepat, mengilas, dan kecepatan tinggi. Pertama, cara membaca reguler (biasa). Cara membaca ini relatif lambat karena kita membaca baris demi baris yang biasa dilakukan dalam bacaan ringan. Kedua, cara membaca melihat dengan cepat (Skimming). Cara ini digunakan ketika kita mencari sesuatu yang khusus dalam sebuah bacaan, ketika sedang membaca buku telepon atau kamus. Ketiga, cara membaca melihat sekilas (Scanning). Cara ini digunakan untuk melihat isi buku ataupun pada saat kita membaca koran, dan keempat cara membaca kecepatan tinggi (Warp Speed). Kecepatan tinggi merupakan teknik membaca suatu bahan bacaan berkecepatan tinggi dengan pemahaman yang sangat tinggi pula.
            Mengenai waktu yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan, apabila siswa lama dalam menyelesaikan menjawab pertanyaan, berarti siswa mengalami kesulitan dalam pemahaman bacaan, begitu juga sebaliknya. Bentuk dan jumlah pertanyaan dapat berjumlah sepuluh. Lima pertanyaan berhubungan dengan bacaan secara tersurat, dan lima pertanyaan yang membutuhkan jawaban tersirat.
3) Tingkat Pemahaman Membaca
            Ketika membaca, seseorang berusaha memahami isi pesan penulis yang tertuang dalam bacaan. Pemahaman ini merupakan prasyarat bagi berlangsungnya suatu tindakan membaca. Membaca dikatakan tidak berlangsung apabila tidak ada pemahaman pada diri pembaca (Robinson, 1975; Gunning, 1992).
            Tingkat pemahaman dalam membaca dapat dibedakan berdasarkan kekompleksan kognitif dalam memahami bacaan. Burn, dkk (1996) dan Syafi’ie (1993) mengemukakan dua tingkatan pemahaman membaca, yaitu pemahaman literal dan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman literal berhubungan dengan isi bacaan, sedangkan pemahaman tingkat tinggi berhubungan dengan pemahaman di luar isi bacaan. Pemahaman tingkat tinggi mencakup pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif. Pemahaman kritis dan kratif dapat digolongkan ke dalam pemahaman evaluatif.
            Hafni (1981) dan Tollefson (1989) mengklasifikasikan pemahaman membaca atas lima tingkatan, yaitu: pemahaman literal, reorganisasi, inferensial, evaluasi, dan apresiasi. Pemahaman literal adalah kemampuan menangkap informasi yang dinyatakan secara tersurat dalam teks. Pemahaman literal merupakan pemahaman tingkat paling rendah, tetapi jenis pemahaman ini tetap penting karena dibutuhkan dalam proses membaca secara keseluruhan. Untuk bisa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, pembaca harus melalui tingkat pemahaman literal. Untuk meletakkan detail secara efektif, pembaca membutuhkan beberapa arahan tentang jenis detail yang menjadi syarat dari pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, misalnya pertanyaan siapa untuk menanyakan nama orang, pertanyaan di mana untuk menanyakan tempat, pertanyaan kapan untuk menanyakan tahun, dan seterusnya. Cochran (1991:16) menjelaskan bahwa pemahaman literal mencakup rincian yang terdapat teks, rujukan kata ganti, dan urutan peristiwa dalam cerita.
            Pemahaman literal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan mengenali kembali dan mengingat kembali informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Kemampuan mengenali kembali (recognition) adalah kemampuan mengidentifikasi atau menunjukkan informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Kemampuan ini mencakup beberapa hal, yaitu: mengenali kembali rincian-rincian, ide-ide utama, urutan, perbandingan, hubungan sebab-akibat, dan karakter tokoh yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Selanjutnya, kemampuan mengingat kembali adalah kemampuan mengingat kembali informasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Kemampuan ini mencakup: mengingat kembali rincian, ide utama, suatu urutan, perbandingan, hubungan sebab-akibat, dan karakter tokoh yang dinyatakan secara eksplisit dalam teks.
            Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pemahaman literal merupakan prasyarat untuk tingkat pemahaman yang lebih tinggi, yaitu membaca untuk memperoleh detail isi bacaan secara efektif. Pemahaman ini dimaksudkan untuk memahami isi bacaan secara efektif. Pemahaman ini dimaksudkan untuk memahami isi bacaan seperti yang tertulis pada kata, kalimat, dan paragraf dalam teks bacaan. Pemahaman literal menuntut kemampuan ingatan tentang hal-hal tertulis dalam teks.
            Tingkat pemahaman yang kedua adalah pemahaman interpretatif, yang menurut Hafni (1981) dan Tollefson (1989) sebagai pemahaman reorganisasi dan inferensial. Pemahaman interpretatif adalah pemahaman makna antarkalimat atau makna tersirat atau penarikan kesimpulan teks. Pemahaman interpretatif merupakan proses memperoleh gagasan-gagasan yang diimplikasikan oleh teks, bukan yang bisa langsung ditemukan dalam teks. Membaca pemahaman interpretatif mencakup penarikan kesimpulan tentang gagasan utama dari suatu teks, hubungan sebab akibat yang dinyatakan secara tidak langsung dalam teks, rujukan kata ganti, rujukan kata keterangan (adverb), dan kata-kata yang dihilangkan. Pemahaman interpretatif juga mencakup pemahaman suasana hati pelaku yang terdapat dalam cerita (mood of a passage) tujuan penulis cerita tersebut, dan makna bahasa figuratif (Burn, dkk., 1996).
            Cochran (1991) menyebut pemahaman interpretatif sebagai pemahaman inferensial. Dia mengemukakan bahwa pemahaman inferensial mencakup beberapa keterampilan membaca, yaitu keterampilan menghubungkan cerita dengan pengalaman pribadi, keterampilan menemukan gagasan utama, menemukan hubungan sebab-akibat yang dinyatakan secara tidak langsung dalam suatu cerita, mengampil kesimpulan, memprediksikan kelanjutan dari suatu teks setelah membaca sebagian dari teks tersebut, serta keterampilan menemukan persamaan dan perbedaan dua hal. Dengan kata lain, pembaca bisa menemukan persamaan dan perbedaan yang tidak dinyatakan secara langsung dalam suatu teks, misalnya persamaan dan perbedaan karakter tokoh yang terdapat dalam cerita.
            Jenis pemahaman yang tertinggi adalah pemahaman evaluatif. Pemahaman evaluatif merupakan kemampuan mengevaluasi materi teks. Pemahaman evaluatif terdapat dalam kegiatan membaca kritis. Pemahaman pembaca berada pada tingkat ini apabila pembaca mampu membandingkan gagasan-gagasan yang ditemukan dalam teks dengan norma-norma tertentu dan mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berkaitan dengan teks. Pemahaman kritis bergantung pada pemahaman literal, pemahaman interpretatif, dan pemahaman gagasan penting yang dimplikasikan (Burn, dkk., 1996).
            Pemahaman evaluatif munurut Cochran (1991) mencakup kemampuan menilai atau memutuskan yang berkenaan dengan (1) menganalisis karakter dan latarnya, (2) menilai apakah cerita atau gambar riil atau hasil imajinasi penulis, (3) meringkas alur cerita, (4) menilai apakah sebuah fakta atau opini, (5) memahami cara penulis menggambarkan suasana hati tokoh melalui pelukisan fisik dan psikologis para tokoh, dan (6) memahami cara penulis meyakinkan pembaca melalui pernyataan yang diungkapkannya.
Dengan demikian, membaca evaluatif (membaca kritis) merupakan kegiatan membaca yang bertujuan untuk memahami isi bacaan. Pembaca tidak saja menginterpretasi maksud penulis, tetapi juga menilai apa yang disampaikan penulis.
            Pemahaman kritis ditandai oleh kemampuan membandingkan isi bacaan dengan pengalaman pembaca sendiri, mempertanyakan maksud penulis, dan mereaksi secara kritis gaya penulis dalam mengungkapkan gagasan-gagasannya (Syafi’ie, 1993:49). Terkait dengan pendapat Syafi’ie, Cochran (1993) mengemukakan bahwa membaca kritis merupakan wilayah belajar sangat kecil atau bahkan tidak ada kaitannya dengan jawaban benar atau salah. Membaca kritis lebih mengarah pada kesan-kesan, suasana hati dan penilaian tentang cara atau alasan seseorang menulis suatu karya. Menurut Cochran, kegiatan membaca kritis mencakup: (1) menganalisis karakter dan latarnya, (2) meringkas alur cerita, (3) membedakan fakta dengan opini, (4) menangkap suasana hati suatu bacaan, dan (5) memahami tujuan penulis.
            Pemahaman kritis diperoleh dengan menilai bacaan serta melibatkan pikiran ke dalamnya secara lebih mendalam dengan cara membuat analisis yang lebih mendalam. Dengan membaca kritis, kecepatan membaca seseorang tentunya lebih lambat sampai 600 kata per menit. Hal ini tidak perlu dirisaukan karena pembaca memiliki kelebihan dalam pemahaman. Kecepatan membacanya dapat dilatihkan secara terus-menerus.
            Jenis pemahaman lainnya adalah pemahaman apresiasi (Hafni, 1981 dan Tollefson, 1989). Pemahaman apresiasi merupakan untuk mengungkapkan respon emosional dan estetis terhadap teks yang sesuai dengan standar pribadi dan standar profesional mengenai bentuk sastra, gaya, jenis, dan teori sastra. Pemahaman apresiasi melibatkan seluruh dimensi kognitif yang terlibat dalam tingkatan pemahaman sebelumnya. Dalam pemahaman apresiasi, pembaca dituntut juga menggunakan daya imajinasi untuk memperoleh gambaran yang baru melebihi apa yang disajikan penulis. Hal ini berarti bahwa pembaca dituntut merespon teks secara kreatif.
            De Porter dan Hernacki (1992) memberikan beberapa kiat dalam rangka meningkatkan pemahaman pembaca yang berkorelasi terhadap kemampuan membaca cepat seseorang. Kiat-kiat tersebut adalah (1) jadilah pembaca aktif, (2) bacalah gagasan, bukan kata-katanya, (3) libatkan indra, (4) ciptakan minat, dan (5) Buat Peta Pikiran dari Materi Bacaan. Untuk menjadi pembaca aktif, seorang pembaca tidak boleh melupakan dengan enam kata tanya: siapa? kapan? di mana? apa? mengapa? dan bagaimana? Ketika membaca, usahakan keenam pertanyaan tersebut dapat terjawab.
            Kiat yang kedua adalah bacalah gagasan, bukan kata-katanya. Satu-satunya cara untuk dapat “memahami gagasan” dalam sebuah bacaan adalah dengan membaca kata-kata dalam konteks yang berhubungan. Apabila yang dibaca kata demi kata, otak pembaca harus bekerja lebih keras untuk mengartikannya. Selain itu, pembaca harus dapat mengoptimalkan fungsi indra, terutama indra mata.
            Sebelum membaca, bertanyalah kepada diri sendiri “Mengapa aku perlu membaca bacaan ini?” Setelah itu, mulailah dengan melihat sekilas tentang bacaan itu dan menyingkirkan informasi yang kurang dibutuhkan. Untuk kiat yang terakhir, pembaca perlu membuat peta pikiran dengan menggunakan pembagian topik yang telah dibaca. Bacalah sekali lagi secara menyeluruh dan isilah detail-detail yang penting untuk diingat.

    b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca Cepat
            Banyak faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca siswa. Ekwall dan         Shanker (1988) mengklafikasikan faktor-faktor ini menjadi 4 kategori, yaitu: faktor-         faktor fisik, psikologis, sosial ekonomi, dan faktor pendidikan. Lamp dan Richard         (1976) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan         membaca seseorang ialah faktor fisiologis, intelektual, lingkungan, dan psikologis.
            Dalam bagian berikut akan dijelaskan beberapa faktor yang memiliki pengaruh         langsung terhadap kemampuan membaca cepat seseorang, yaitu faktor fisik berupa         mata, dan faktor psikologis meliputi sikap, minat, motivasi, dan intelegensi, serta         faktor materi bacaan.
        1) Mata
            Mata sangat berpengaruh dalam membaca. Proses membaca dimulai dengan kesan sensori visual yang diperoleh melalui penangkapan simbol-simbol grafis dengan indra penglihatan.Untuk memperoleh kesan sensori yang memadai, seorang pembaca dituntut memiliki sejumlah kemampuan visual. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mata berfungsi menerima stimulus dari bacaan, dan meneruskannya ke otak untuk diproses lebih lanjut (Tampubolon, 1990). Fungsi mata ini berurusan dengan pemerolehan informasi visual yang ada dalam teks. Informasi visual ini diperlukan dalam membaca, di samping informasi nonvisual, seperti pemahaman bahasa yang relevan, keakraban dengan topik bacaan dan kemampuan umum dalam membaca (Smith, 1985).
            Kemampuan mata seorang pembaca cukup berpengaruh terhadap kemampuan membacanya. Kemampuan mata yang dimaksud adalah keefektifan dan keefisienan gerakan-gerakan mata ketika membaca. Gerakan regresi pada mata ketika membaca hendaknya dihindari.
            Kesehatan mata perlu diperhatikan dalam hubungannya dengan peningkatan efektivitas dan efisiensi membaca. Kelemahan atau penyakit mata sangat mengurangi keefektifan dan keefesiensian kecepatan membaca seseorang. Oleh karena itu, beberapa kelemahan dan penyakit mata perlu diketahui sehingga dapat dicegah sebelumnya.
            Yang termasuk kelemahan-kelemahan mata antara lain: hiperopia, miopia, astigmatisme. Hiperopia adalah keadaan mata yang sinar-sinar dari bacaan sewaktu membaca dari jarak dekat (jarak biasa untuk membaca) tidak tepat berfokus pada retina, melainkan di belakangnya (Tampubolon,1990). Karena fokus tidak tepat pada retina, huruf-huruf bacaan menjadi kurang jelas. Agar huruf-huruf menjadi lebih jelas, jarak mata dengan bacaan diperjauh. Dengan cara ini, fokus sinar-sinar dari bacaan akan tepat pada retina sehingga huruf-huruf bacaan menjadi jelas. Menurut Ekwall dan Shanker (1988), hiperopia menyebabkan penampungan dan pemusatan pandangan yang lebih berlebihan. Dengan demikian, keterampilan gerak mata menjadi tidak berfungsi dengan baik sehingga menimbulkan kekaburan, kelelahan mata, sakit kepala, dan kehilangan minat dalam melakukan pekerjaan yang bersangkutan.
            Miopia adalah keadaan mata yang merupakan kebalikan dari hiperopia. Menurut Tampubolon (1990), pada miopia, sinar-sinar dari bacaan memfokus di depan retina. Karena fokusnya tidak tepat, huruf-huruf bacaan menjadi kurang jelas. Huruf-huruf dapat menjadi lebih jelas kalau bacaan lebih didekatkan. Dengan memperdekat jarak antara bacaan dan mata, sinar-sinar dari bacaan akan berfokus tepat pada retina sehingga huruf-huruf menjadi jelas.
            Astigmatisme adalah keadaan mata yang tidak berfungsi normal yang disebabkan kekurangan tertentu pada selaput luar mata atau pada lensa mata. Kemungkinan lain yang menyebabkan astigmatisme adalah ketidakseimbangan otot dalam mata (Tampubolon, 1990). Menurut Ekwall dan Shanker (1988), astigmatisme menyebabkan tulisan menjadi kelihatan kabur, mata cepat lelah, dan sakit kepala. Hal ini akan mengganggu kegiatan membaca.
            Keterampilan mata, sebagaimana keterampilan bagian tubuh yang lain, dapat dilatih agar dapat berfungsi secara maksimal. Jangkauan mata dapat diluaskan sehingga bagian periferalnya juga dapat berfungsi secara maksimal. Gerakan mata regresi juga dapat dikurangi sehingga kecepatan membaca menjadi meningkat. Dengan melatih gerakan mata secara efektif dan efisien, peningkatan kemampuan kecepatan membaca diharapkan bisa tercapai secara maksimal.
            Pengetahuan tentang faktor mata sengat perlu bagi guru. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk membantu siswa dalam meningkatkan keefektifan dan keefisienan siswa dalam membaca. Secara khusus lagi, pengetahuan tentang mata dapat digunakan untuk membantu siswa yang memiliki kelainan mata agar dapat membaca dengan baik. Misalnya, apabila ada siswa yang mengidap miopia, guru bisa memberitahu siswa agar memperdekat jarak matanya dengan bacaan ketika membaca.

        2) Faktor-Faktor Psikologis
            Faktor-faktor psikologis berkenan dengan kejiwaan atau mental. Faktor-faktor psiklologis yang dipandang dapat mempengaruhi kemampuan membaca cepat, antara lain sikap, motivasi, minat, dan intelegensi. Masing-masing faktor ini akan diuraikan sebagai berikut.
a) Sikap
            Menurut Alexander dan Filler (dalam Alexander, 1988), sikap membaca dapat dibatasi sebagai sistem perasaan yang berhubungan dengan membaca yang menyebabkan pembelajar memasuki atau menghindari situasi membaca. Sikap membaca sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan, baik lingkungan di rumah maupun lingkungan di sekolah. Keterlibatan orang tua dalam aktivitas-aktivitas mambaca anak sangat menunjang pembentukan sikap anak yang positif terhadap membaca. Bentuk keterlibatan orang tua, misalnya mendorong anak membaca, membantu memilih bacaan, dan ikut mendiskusikan bacaan, serta membantu mencarikan sesuatu dalam kamus. Apa yang dilakukan orang tua dengan anaknya lebih penting daripada kedudukan atau status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan orang tua, atau jumlah buku yang tersedia di rumah.
            Dalam hubungannya dengan lingkungan sekolah, suasana kelas yang menyenangkan sangat penting dalam pembentukan sikap membaca pembelajar. Dalam sebuah kajian tentang suasan kelas, cleworth (dalam Alexander, 1988) menyatakan bahwa lingkungan yang menyenangkan, semangat kerja sama kelompok, materi yang sesuai dan memadai, dan rencana pelajaran yang terorganisasi adalah penting pembentukan sikap.
            Apabila siswa menemukan pengalaman membaca yang menyenangkan, sikap positif membacanya akan dengan cepat digeneralisasikan pada sebagian besar pelajaran sekolah yang lain (Athey,1985). Pembelajar yang memiliki kesulitan membaca dan sikap membaca yang negatif akan berpengaruh terhadap kecepatan membaca seseorang.
            Sikap terhadap isi bacaan dapat mempengaruhi pemahaman pembaca. Hasil penelitian Bernstein, dan juga Shnayer (dalam Mathewson 1979) menujukkan bahwa sikap yang baik terhadap isi bacaan memiliki pengaruh nyata terhadap pemahaman bacaan. Sikap yang positif terhadap isi bacaan memudahkan orang dalam memahami bacaan. Pemahaman bacaan seseorang berkorelasi positif terhadap kemampuan membaca cepat seseorang.
            Di samping memilih bacaan yang isinya menarik hati siswa, guru juga harus mengusahakan penyajian pelajaran membaca cepat semenarik mungkin sehingga siswa menyenanginya. Penyajian pelajaran membaca cepat yang menarik dapat menumbuhkan sikap yang positif siswa terhadap membaca. Sehubungan dengan hal ini, guru harus memilih berbagai cara penyajian yang menarik dan yang sesuai dengan tujuan pengajaran membaca cepat dan karakteristik siswa.
b) Motivasi
            Motivasi merupakan faktor kunci dalam keberhasilan membaca. Motivasi secara umum dipandang sebagai dorongan hati atau keinginan yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan tertentu (Brown, 1981). Motivasi membaca merupakan salah satu faktor afektif yang penting untuk diperhatikan dalam usaha peningkatan keterampilan membaca. Motivasi membaca yang tinggi dapat menyebabkan seseorang selalu terdorong untuk melakukan kegiatan membaca. Terbinanya motivasi membaca pada gilirannya dangat membantu peningkatan keterampilan membaca cepat seseorang.
            Motivasi membaca juga sangat berpengaruh terhadap pemahaman suatu bacaan. Membaca yang dilandasi motivasi yang kuat sangat menunjang pemahaman terhadap isi bacaan. Penelitian Mathewson (1979) menunjukkan bahwa motivasi yang kuat dapat mendukung pemahaman seseorang terhadap bacaan yang disukai atau tidak. Temuan ini sekaligus menunjang bahwa faktor motivasi lebih kuat daripada faktor sikap dalam memahami suatu bacaan.
            Peningkatan motivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa juga dipengaruhi media pembelajaran yang digunakan. Untuk itu perlu diciptakan sebuah media yang dapat meningkatkan motivasi membaca dan aktivitas yang menyenangkan dan dapat meningkatkan motivasi membaca. Media yang menarik untuk usaha peningkatan minat baca anak SD sampai SMA, di antaranya: media permainan, media simulasi, media interaktif, media manipulatif, dan media hiburan.
c) Minat
            Minat baca adalah keinginan yang kuat yang disertai dengan usaha-usaha seseorang untuk membaca. Minat baca adalah kecenderungan jiwa yang mendorong seseorang berbuat sesuatu terhadap membaca (Sumadi, 1987). Minat baca ditunjukkan oleh keinginan yang kuat untuk melakukan kegiatan membaca. Orang yang mempunyai minat membaca yang kuat akan diwujudkan dalam kesediaannya untuk mendapat bahan bacaan dan kemudian membacanya atas dasar keinginan sendiri.
            Frymier (dalam Crawley dan Mountain, 1995) mengidentifikasi tujuh faktor yang mempengaruhi minat anak. Faktor-faktor itu adalah (1) pengalaman sebelumnya; siswa tidak akan mengembangkan minatnya terhadap sesuatu jika mereka belum pernah mengalaminya, (2) konsepsinya tentang diri; siswa akan menolak informasi yang dirasakan mengancamnya, sebaliknya siswa akan menerima jika informasi itu dipandang berguna dan membantu untuk meningkatkan dirinya, (3) nilai-nilai; minat siswa timbul jika sebuah mata pelajaran disajikan oleh orang yang berwibawa, (4) mata pelajaran yang bermakna; informasi akan dimengerti oleh anak jika bermakna bagi mereka, (5) tingkat keterlibatan tekanan; jika siswa merasa dirinya mempunyai beberapa tingkat pilihan dan kurang tekanan, minat membaca mereka mungkin akan lebih tinggi, dan (6) kekompleksitasan materi pelajaran; siswa yang lebih mampu secara intelektual dan fleksibel sacara psikologis lebih tertarik pada hal-hal yang lebih kompleks.
            Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa seorang guru harus berusaha memotivasi siswanya. Siswa yang mempunyai motivasi yang tinggi terhadap membaca akan mempunyai minat yang tinggi pula terhadap kegiatan membaca. Dengan demikian, seseorang akan dapat meningkatkan kemampuan membaca cepatnya apabila dia memiliki tingkat keseringan dalam membaca.
d) Intelegensi
            Istilah intelegensi didefinisikan sebagai suatu kegiatan berpikir yang terdiri dari pemahaman yang esensial tentang situasi yang diberikan dan meresponnya secara tepat (Page, dkk., 1980). Wechster (dalam Harris dan Sipay, 1980) mengemukakan bahwa intelegensi ialah kemampuan global individu untuk bertindak sesuai dengan tujuan berpikir, rasional, dan berbuat secara efektif terhadap lingkungan.

        3) Materi Bacaan
            Materi bacaan yang memiliki daya tarik dan memiliki tingkat kesukaran yang sesuai dengan perkembangan kemampuan siswa dapat memotivasi siswa untuk membaca suatu bacaan dengan sungguh-sungguh. Materi bacaan yang memiliki daya tarik bagi siswa akan memotivasi siswa untuk membacanya dengan sungguh-sungguh. Hal itu selanjutnya akan menunjang pemahaman pembaca terhadap isi bacaan. Seperti hasil penelitian Garner dan Gillingham (1991) juga menunjukkan bahwa pembaca mengetahui sesuatu lebih banyak dari bacaan yang menarik daripada bacaan yang tidak menarik.
            Singh (1979) menyarankan kepada guru untuk mencari materi bacaan di luar buku pelajaran apabila bacaan dalam buku pelajaran siswa tidak memenuhi kriteria. Materi dalam bacaan diusahakan yang mudah karena dengan materi yang mudah, siswa akan mendapatkan kecepatan membaca yang lebih baik dibanding dengan materi yang sulit. Penggunaan materi tambahan yang mudah sangat membatu siswa dan dapat merangsang siswa untuk meningkatkan kemampuan membacanya.
            Pemilihan materi bacaan hendaknya melibatkan siswa. Pelibatan siswa dalam menentukan materi bacaan dapat lebih menjamin bahwa materi bacaan yang dipakai sesuai dengan minat siswa. Siswa merasa diperhatikan dalam proses perencanaan kegiatan belajar-mengajar. Hal itu selanjutnya dapat menumbuhkan sikap positif terhadap pengajaran membaca.
Di samping dari segi isi, pemilihan materi bacaan juga perlu dipertimbangkan dari segi tingkat kesukaran. Tingkat kesukaran perlu diperhatikan agar materi bacaan tidak terlalu sukar dan juga tidak terlalu mudah. Materi bacaan yang terlalu sukar dapat menyebabkan siswa mengalami frustasi. Sebaliknya, materi bacaan yang terlalu mudah kurang dapat menggugah semangat siswa untuk membacanya.
            Untuk mengukur keterbacaan suatu materi bacaan dapat digunakan teknik close. Dengan teknik ini, persentase pengisian secara benar dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan tingkat kesulitan bacaan. Burn dan Roe (1980) menetapkan kriteria tingkat keterbacaan sebagai berikut. Pertama, apabila siswa dapat mengisi jawaban dengan benar kurang dari 40%, bacaan tersebut termasuk tingkat frustasi, atau terlalu sulit. Kedua, apabila siswa dapat menjawab benar 40% sampai dengan 50%, bacaan tersebut termasuk tingkat instruksional sehingga apabila digunakan masih perlu bimbingan guru. Ketiga, apabila siswa dapat menjawab benar lebih dari 50%, bacaan tersebut termasuk tingkat independen dan siswa dapat membaca secara mandiri.
            Selain menggunakan teknik close, tingkat keterbacaan dapat diukur dengan formula keterbacaan Fry. Fry menggunakan dua kriteria untuk menentukan tingkat kesukaran, yaitu kesukaran kata dan kerumitan gramatikal (Fry, 1965). Selanjutnya, Fry mengemukakan dua cara untuk menentukan kesukaran kata. Pertama, menghitung jumlah kata yang tidak terdapat dalam 3000 daftar kata yang lazim, kedua, menghitung jumlah suku kata dalam 100 kata. Fry memilih cara yang kedua karena lebih mudah, tidak memerlukan pelatihan dan alat. Kerumitan ditentukan panjang pendeknya kalimat.
            Selain faktor-faktor di atas, Konstant (2003) dalam bukunya yang berjudul Speed Reading menyampaikan bahwa ada lima faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan membaca seseorang, yaitu kejelasan maksud atau tujuan, perasaan pembaca, ketidakasingan terhadap terminologi subjek, tingkat kesulitan bacaan, dan ketegangan. Faktor pertama kejelasan maksud/tujuan, merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan membaca seseorang. Makin jelas tujuan seseorang membaca, makin cepat seseorang dapat menyelesaikan bacaannya.
            Kedua, faktor perasaan. Apabila seorang pembaca merasa capek, kurang istirahat, tidak sabar, dan enggan tentunya tidak akan dapat membaca secepat pembaca yang segar, senang, dan sadar tentang pentingnya bahan yang dibaca. Untuk itu, sebelum membaca cepat, seseorang mempersiapkan dirinya, baik secara fisik maupun psikis sebaik mungkin.
            Ketiga, faktor ketidakasingan terhadap terminologi subjek. Artinya, pembaca yang banyak memahami kata-kata atau istilah yang ada dalam bacaan, dia akan lebih cepat untuk menyelesaikan bacaannya. Berbeda dengan pembaca yang banyak menemui kata-kata sulit atau yang tidak dimengerti maksudnya, dia akan sering berhenti ketika membaca. Akibatnya, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bacaannya relatif lama.
            Keempat, faktor kesulitan teks/bacaan. Bacaan yang sulit dipahami isinya karena beberapa faktor, misalnya topik yang tidak sesuai dengan kemampuannya, teknik penguraian yang kurang baik, banyaknya kalimat yang sulit dipahami, serta struktur bacaan yang tidak jelas membuat tingkat pemahaman pembaca terhadap isi bacaan relatif rendah. Akibatnya, pembaca sering berhenti ketika sedang membaca. Pemberhentian tersebut membuat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembacaan relatif lama. Faktor yang kelima yaitu ketegangan. Pembaca yang sedang stres atau tegang karena harus segera menyelsaikan pembacaannya justru dapat memperlambat kecepatan membacanya.

    c. Pembelajaran  Membaca  Cepat dalam Pengajaran Bahasa Indonesia di SMA         Berdasarkan KTSP
            Dalam bagian ini akan dibahas dua hal, yaitu: (a) kompetensi membaca cepat di         SMA berdasarkan KTSP, dan (2) pembelajaran membaca cepat di SMA berdasarkan         KTSP.
        1) Kompetensi Membaca Cepat di SMA Berdasarkan KTSP
            Arah pembinaan bahasa Indonesia sebagai pegangan utama dalam pengembangan pengajaran bahasa Indonesia dituangkan dalam kurikulum bahasa Indonesia yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Secara umum, tujuan utama pengajaran bahasa Indonesia di SMA adalah agar siswa: (1) menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (nasional) dan bahasa negara, (2) memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi, serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, (3) memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional, dan kematangan sosial, (4) memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), (5) mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia (Depdiknas, 2003).
            Berdasarkan tujuan umum di atas, standar kompetensi bahan kajian bahasa Indonesia digolongkan ke dalam dua aspek, yaitu (1) aspek kemampuan berbahasa, dan (2) kemampuan bersastra. Kemampuan berbahasa terbagi atas subaspek mendengarkan, subaspek berbicara, subaspek membaca, dan subaspek menulis. Subaspek mendengarkan meliputi mendengarkan, memahami, dan memberikan tanggapan terhadaap gagasan, pendapat, kritikan, dan perasaan orang lain dalam berbagai bentuk wacana lisan. Subaspek berbicara meliputi berbicara secara efektif dan efisien untuk mengungkapkan gagasan, pendapat, kritikan, perasaan dalam berbagai bentuk kepada berbagai mitrabicara sesuai dengan tujuan dan konteks pembicaraan. Sub-aspek membaca meliputi membaca dan memahami berbagai jenis wacana, baik secara tersurat maupun tersirat untuk berbagai tujuan, dan subaspek menulis meliputi menulis secara efektif dan efisiensi berbagai jenis karangan dalam berbagai konteks.
            Khusus Pembelajaran membaca di SMA, standar kompetensi mata pelajaran bahasa dan Sastra Indonesia yang diamanatkan dalam KTSP yaitu mampu membaca dan memahami berbagai teks bacaan nonsastra dengan berbagai teknik membaca (membaca cepat, memindai (scanning)) secara ekstensif untuk berbagai keperluan. Standar kompetensi ini selanjutnya dijabarkan dalam dua kemampuan, yaitu kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra dalam setiap jenjang, yaitu mulai kelas X, kelas XI, dan kelas XII. Kompetensi dasar membaca di kelas X dalam aspek kemampuan berbahasa antara lain: (1) membaca cepat berbagai teks nonsastra (250 kata/menit) dan mampu menjawab pertanyaan tentang isi teks dengan kalimat yang jelas dan mudah dipahami, (2) membaca ekstensif teks nonsastra dari berbagai sumber, dan (3) membaca memindai (scanning) dari indeks ke teks buku dan membaca tabel atau grafik, sedangkan dalam aspek kemampuan bersastra antara lain: (1) membaca puisi, (2) membaca naskah satra Melayu klasik, dan (3) membaca dan menganalisis cerpen.
            Kompetensi dasar membaca di kelas XI dalam aspek kemampuan berbahasa antara lain: (1) membaca intensif paragraf yang berpola umum-khusus dan khusus-umum, (2)membaca teks rumpang, (3) membacakan berita, (4) membaca cepat  300 kata permenit dengan menjawab secara benar 75% dari seluruh pertanyaan, dan (5) membaca intensif. Dalam aspek kemampuan bersastra, kompetensi dasar membaca di kelas XI antara lain: (1) membaca dan menganalisis berbagai karya sastra, (2) membaca intensif buku biografi, dan (3) membaca resensi novel sastra atau novel populer.
            Kompetensi dasar membaca di kelas XII dalam aspek kemampuan berbahasa antara lain: (1) membaca intensif berbagai pola paragraf, (2) membaca intensif artikel, membaca teks pidato, dan (4) membaca cepat teks 300-350 kata permenit dengan menjawab secara benar 75% dari seluruh pertanyaan yang tersedia, sedangkan dalam aspek kemampuan bersastra antara lain: (1) membaca puisi karya sendiri, (2) membaca cerpen dan kumpulan puisi, serta menanggapinya, dan (3) membaca karya sastra yang dianggap penting pada tiap periode.
            Dari uraian kompetensi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran membaca cepat terdapat dalam setiap jenjang kelas dan terus meningkat dari tingkat X sampai ke tingkat XII. Kompetensi dasar membaca cepat di kelas X adalah membaca cepat berbagai teks nonsastra (250 kata/menit) dan mampu menjawab pertanyaan tentang isi teks dengan kalimat yang jelas dan mudah dipahami. Kompetensi dasar membaca cepat di kelas XI adalah membaca cepat  300 kata permenit dengan menjawab secara benar 75% dari seluruh pertanyaan, sedangkan di kelas XII adalah membaca cepat teks 300-350 kata permenit dengan menjawab secara benar 75% dari seluruh pertanyaan yang tersedia.

        2) Pembelajaran Membaca Cepat di SMA berdasarkan KTSP
            Pembelajaran membaca cepat di SMA berdasarkan KTSP berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis kompetensi adalah program pembelajaran yang hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa, sistem penyampaian, dan indikator pencapaian hasil belajar dirumuskan secara tertulis sejak perencanaan dimulai (McAshan, 1989:19).
            Dalam pembelajaran berbasis kompetensi perlu ditentukan standar minimum kompetensi yang harus dikuasai siswa. Sesuai pendapat tersebut, komponen materi pokok pembelajaran berbasis kompetensi meliputi: (1) kompetensi yang akan dicapai, (2) strategi penyampaian untuk mencapai kompetensi, (3) sistem evaluasi atau penilaian yang digunakan untuk menentukan keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi.

    d. Pengembangan Model e-Learning dalam Pembelajaran Membaca Cepat
            Secara khusus, istilah model diartikan sebagai kerangka konseptual yang         digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Dengan demikian,         yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang         melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar         untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para         perancang pembelajaran dan pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan         aktivitas belajar mengajar.
            Pengembangan model pembelajaran e-Learning perlu dirancang secara cermat         sesuai dengan tujuan pembelajaran dalam KTSP. Dalam model e-Learning perlu         diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional. Oleh karena itu, e-         Learning perlu mengadaptasikan unsur-unsur yang biasa dilakukan dalam sistem         pembelajaran konvensional, misalnya dimulai dari perumusan kompetensi dasar yang         operasional dan dapat diukur, ada apresiasi atau pretest, membangkitkan motivasi,         menggunakan bahasa yang komunikatif, uraian materi yang jelas, contoh-contoh        konkret, problim solving, tanya jawab, diskusi, post test, sampai penugasan dan        kegiatan tindak lanjut. Oleh karena itu, (Anwas, 2003) menyarankan agar        perancangan e-Learning perlu melibatkan pihak terkait, antara lain: pengajar, ahli        materi, ahli komunikasi, programmer, seniman, dan lain-lain.
        1) Model e-Learning dalam Pembelajaran Membaca Cepat di SMA
            Menurut Soekarwati, Direktur SEAMEO Regional Open Learning Center , (2003), e-Learning merupakan suatu teknologi pembelajaran yang relatif baru di Indonesia. E-Learning dapat diartikan sebagai pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronik. Dengan kata lain, e-Learning adalah pembelajaran yang pelaksanaannya didukung oleh jasa teknologi, seperti: telepon, audio, videotape, transmisi satelit, dan komputer. Satyananda (2004) mengatakan bahwa e-Learning adalah proses pembelajaran dengan menggunakan peralatan/media elektronik berupa peralatan audio-video seperti tape, VCD, komputer, dan OHP. Hanya saja, dalam pelaksanaan pembelajaran selama ini, e-Learning sering diidentikkan dengan penggunakan internet.
Alat bantu utama yang digunakan dalam e-Learning adalah komputer dengan dua istilah, yaitu (1) Computer Based Learning (CBL), dan (2) Computer Assisted Learning (CAL). Berbagai variasi teknik mengajar bisa dibuat dengan bantuan komputer. Cara penyampaian e-Learning dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (1) One way communication (komunikasi satu arah), dan (2) Two way communication (komunikasi dua arah). Dari dua jenis e-Learning di atas, penulis menganjurkan jenis komunikasi dua arah yang lebih baik untuk digunakan dalam pembelajaran. Komunikasi dua arah dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu: (1) dilaksanakan secara langsung, dan (2) dilaksanakan melalui cara tidak langsung.
            Koran (2002) mendefinisikan e-Learning sebagai sembarang pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, WAN, atau internet) untuk menyampaikan isi pembelajaran, interaksi, atau bimbingan. Dong dalam (Kamarga, 2002) mendefiniskan e-Learning sebagai kegiatan belajar asynchronous melalui perangkat elektronik komputer dengan bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Purbo (2002) menjelaskan bahwa istilah “e” dalam e-Learning digunakan sebagai istilah untuk segala teknologi yang digunakan untuk mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik internet.
Pembelajaran membaca cepat di SMA dengan model e-Learning berarti pembelajaran membaca cepat di SMA dengan menggunakan alat bantu elektronik komputer/laptop, dan software membaca cepat. Software ini perlu dibuat terlebih dahulu karena saat ini belum tersedia software membaca cepat. Dalam software membaca cepat tersedia data peserta, media pelatihan awal, pengukuran membaca cepat, pengukuran pemahaman, dan penghitungan KEM siswa secara otomatis. Dalam software tersedia berbagai jenis bacaan dan beberapa tipe pertanyaan.
            Cisco (2001) menjelaskan filosofi e-Learning, yaitu: (1) e-Learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi pendidikan, pelatihan secara on-line, (2) e-Learning menyediakan seperangkat sifat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional, (3) e-Learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar melalui pengayaan dan pengembangan teknologi pendidikan, dan (4) kapasitas siswa amat bervariasi tergatung pada cara penyampaian.

        2) Penggunaan Model e-Learning dalam Pembelajaran Membaca Cepat di SMA
            Model e-Learning diperlukan untuk mempermudah seseorang guru dan siswa dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Model itu diharapkan dapat memotivasi siswa dalam meningkatkan kemampuan membaca cepat yang dimiliki sehingga tidak merasa tertinggal dengan pesatnya arus informasi saat ini.
            Beberapa faktor perlu dipertimbangkan sebelum memanfaatkan e-Learning dalam pembelajaran membaca cepat. Faktor-faktor tersebut antara lain: (a) analisis kebutuhan (need analysis), apakah dalam pembelajaran tersebut memerlukan e-Learning? (b) apakah secara ekonomis cukup menguntungkan? dan (c) apakah secara sosial penggunaan e-Learning dapat diterima masyarakat? Program dalam e-Learning perlu dievaluasi dulu sebelum digunakan dengan mengujicobakan kepada beberapa sampel.
            Penggunaan model e-Learning dalam pembelajaran membaca cepat bukan berarti para guru menghilangkan mengajaran di dalam kelas. Seperti yang disampaikan Cisco dalam Anwas (2003) bahwa e-Learning tidak berarti menggantikan model belajar konvensional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar melalui pengayaan dan pengembangan teknologi pendidikan. Dengan e-Learning diharapkan model pembelajaran lebih bervariasi dan lebih dapat meningkatkan motivasi siswa.
            Anwas (2003) mengajukan beberapa pertanyaan yang bisa dijadikan bahan pertimbangan penggunaan model e-Learning. Pertanyaan tersebut antara lain: (1) anggaran biaya yang dibutuhkan, (2) materi apa saja yang dapat dimasukkan pada model e-Learning sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan, (3) pengalihan dari konvensional ke e-Learning apakah bisa dilakukan sendiri ataukah perlu bekerjasama, (4) apakah perubahan ini bisa diterima dengan baik oleh sasaran, dan (5) bagaimana menerapkan perubahan tersebut sehingga bisa tercapai secara efektif dan efisien.


2. Kerangka Teoretik
            Ada dua tingkatan membaca, yaitu membaca permulaaan dan membaca lanjut. Membaca permulaan meliputi: tingkat mengeja, tingkat membaca kata, tingkat membaca kalimat. Membaca lanjut meliputi: membaca literal, membaca kritis/evaluatif, dan membaca kreatif.
Sebagai bagian dari membaca pemahaman, pengajaran membaca cepat tergolong ke dalam pengajaran membaca lanjut. Di dalam kecepatan membaca siswa terkandung kemampuan motorik seseorang yang dibarengi dengan pemahaman terhadap isi yang dibaca. Dengan demikian, untuk menguji kecepatan membaca siswa, selain dicatat kecepatan siswa dalam menyelesaikan pembacaannya terhadap suatu bacaan, juga perlu diuji pemahamannya dengan memberikan berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan.
Kunci membaca cepat adalah meminimumkan jumlah gerakan mata berhenti dan pada saat yang sama memaksimumkan jumlah kata yang terbaca dalam setiap satu putaran gerakan mata. Dengan meminimumkan jumlah gerakan mata untuk berhenti, pemborosan waktu dapat ditekan semaksimal mungkin. Selain itu, jarak pandang mata perlu diatur sedemikian rupa sehingga jumlah kata yang dapat dibaca lebih banyak.
            Pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning dapat dilaksanakan apabila dipenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (1) tersedianya komputer di sekolah, (2) tersedianya software membaca cepat, (3) sesuai dengan analisis kebutuhan (need analysis), apakah dalam pembelajaran tersebut memerlukan e-Learning? dan (4) secara sosial penggunaan e-Learning dapat diterima masyarakat.

J. Metode Penelitian
1. Model Pengembangan
            Produk yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini berupa perangkat pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning yang berupa software membaca cepat, buku panduan guru, buku panduan siswa, serta buku bahan pembelajaran membaca cepat. Dalam buku panduan guru termuat petunjuk para guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning dengan alat bantu software, dan pada buku petunjuk siswa termuat langkah-langkah melakukan pelatihan membaca cepat dengan alat bantu software, sedangkan buku dan CD berisi berbagai jenis bacaan dan berbagai tipe pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengukur pemahaman siswa.
            Hingga saat ini telah banyak model yang digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam kegiatan pembelajaran. Model-model yang dikembangkan tersebut digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dengan bertolak pada landasan teoretis tertentu serta mempersyaratkan kondisi tertentu pula. Untuk itu, dalam memilih dan menentukan model pengembangan harus memperhatikan hal-hal di atas.
            Model pengembangan dalam penelitian ini menggunakan model prosedural yang merujuk pada hasil pengadaptasian dua model, yaitu model Dick dan Carey (1978) dengan model AT&T (American Telephon & Telegraph). Pengadaptasian dan penggabungan dua model ini berkaitan dengan adanya pergeseran, penggabungan, dan penghilangan komponen-komponen dalam kedua model tersebut.
            Konsekuensi pengadaptasian dan penggabungan kedua model tersebut adalah terjadinya penggabungan komponen-komponen yang diperlukan pada kedua model pengembangan tersebut. Selain itu, ada pergeseran urutan kerja dan penghilangan beberapa komponen yang dirasa kurang diperlukan. Komponen-komponen yang diperlukan dalam penelitian pengembangan ini adalah: (1) Analisis kebutuhan, (2) Mengidentifikasi tujuan pembelajaran, (3) Melakukan analisis tujuan pembelajaran, (4) Menyusun silabus, (5) Mengembangkan butir tes Acuan Patokan, (6) Mengembangkan bahan, dan (7) Pelaksanaan Pembelajaran, dan (8) evaluasi.

2. Rancangan Uji Lapangan
            Rancangan uji lapangan dalam penelitian pengembangan ini terbagi atas dua jenis, yaitu uji permulaan dan uji lapangan. Pada uji permulaan, yang menjadi subjek adalah para ahli pembelajaran dan ahli media pembelajaran dengan kriteria tertentu, misalnya paling rendah bergelar doktor, telah mengajar di perguruan tinggi negeri lebih dari lima tahun, dan berkompetensi di bidang pembelajaran dan media pembelajaran. Selain itu, uji permulaan juga dilakukan oleh guru pengajar bahasa Indonesia di SMA Negeri kota Pasuruan.
            Pada uji lapangan, yang menjadi subjek adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 dan 3 Pasuruan tahun pelajaran 2009/2010. Secara sederhana, rancangan uji lapangan model pembelajaran dapat digambarkan pada bagan berikut.


3. Prosedur Pengembangan
            Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan beberapa produk yang dapat digunakan dalam pembelajaran membaca cepat dengan model e-learning. Untuk itu diperlukan beberapa kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut. Secara berurutan, prosedur pengembangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Peneliti melakukan studi eksplorasi dan dokumentasi. Studi eksplorasi dimaksudkan     untuk mendapatkan berbagai konsep dan teori tentang pengembangan bahan pembelajaran membaca cepat, baik bahan pelatihan awal maupun bahan berupa bacaan yang akan digunakan untuk mengukur kecepatan membaca cepat siswa. Studi dokumentasi dimaksudkan untuk menganalisis standar kompetensi pembelajaran membaca cepat di SMA berdasarkan KTSP yang nantinya digunakan sebagai bahan penyusunan silabus dan bahan bacaan.
b. Peneliti melakukan studi lapangan atau observasi. Kegiatan ini peneliti lakukan untuk     pembelajaran membaca cepat berdasarkan KTSP di SMA Negeri 1 dan 3 Pasuruan.
c. Peneliti melakukan pengukuran kemampuan membaca cepat siswa SMA Negeri 1 dan 3     Pasuruan sebelum digunakan model e-Learning, serta mengkaji berbagai literatur yang     berhubungan dengan membaca cepat dan pembelajarannya.
d. Peneliti mengembangkan model pembelajaran membaca cepat berdasarkan analisis     kebutuhan siswa, analisis karakteristik siswa dan guru, dan analisis kurikulum, silabus,     dan RPP yang menghasilkan model e-Learning.
e. Peneliti melakukan uji permulaaan dengan berkonsultasi dengan ahli dan guru tentang     efektivitas dan efisiensi pembelajaran membaca cepat dengan model e-Learning.
f. Peneliti merevisi dan memperbaiki media dan model pengembangan berdasarkan     masukan dari para ahli dan guru.
g. Peneliti melakukan uji lapangan kepada siswa kelas X di SMA Negeri 1 dan 3 Pasuruan.
h. Peneliti melakukan kegiatan analisis hasil uji lapangan di keempat SMA Negeri 1 dan 3     Pasuruan.
i. Peneliti menyusun model e- Learning dalam pembelajaran membaca cepat di SMA     Negeri 1 dan 3 Pasuruan berdasarkan KTSP.

4. Uji Coba Produk
            Uji coba produk perlu dilakukan untuk mengumpulkan data yang dapat digunakan sebagai dasar menetapkan tingkat efektivitas, efisiensi, dan daya tarik produk. Dalam subbab uji coba produk penelitian pengembangan ini dikemukakan tentang: desain uji coba, subjek uji coba, jenis data, instrumen pengumpulan data, dan teknik analisis data.
a. Desain Uji Coba
            Uji coba produk pengembangan ini melalui dua tahap, yaitu uji perorangan, yaitu uji coba permulaan kepada ahli pembelajaran dan media pembelajaran, serta uji lapangan, yaitu uji coba efektivitas penggunaan model e-Learning dalam pembelajaran membaca cepat pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 dan 3 Pasuruan. Desain yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini adalah desain deskriptif.
b. Subjek Uji Coba
            Sesuai dengan disain uji coba, subjek uji coba penelitian pengembangan ini ada dua macam. Kedua subjek uji coba tersebut adalah guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1 dan 3 Pasuruan yang mengajar di kelas X dan sudah berstatus guru tetap, dan subjek yang kedua adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 dan 3 Pasuruan.
            Untuk subjek uji coba perorangan dipilih empat guru mata pelajaran bahasa Indonesia, yaitu dua guru kelas X dari satu guru SMAN 1 Pasuruan dan dua guru SMAN 3 Pasuruan.

5. Jenis Data
            Data dalam penelitian pengembangan ini berupa data kualitatif hasil observasi pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1 dan 3 dengan model e-Learning serta hasil penyebaran angket. Selain itu, dalam penelitian ini juga memiliki data kuantitatif berupa hasil pengukuran KEM siswa dengan menggunakan model e-Learning.

6. Instrumen Pengumpul Data
            Dalam penelitian pengembangan ini, instrumen pengumpul datanya adalah peneliti sebagai instrumen untuk mengobservasi pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1 dan 3 Pasuruan. Selain itu, dalam penelitian ini juga digunakan instrumen tes dan nontes. Instrumen tes digunakan untuk mengetahui KEM siswa dengan model e-Learning, sedangkan instrumen nontes berupa pedoman observasi, pedoman wawancara, dan angket untuk mengetahui proses pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1 dan 3 Pasuruan dengan model e-Learning.

            Secara ringkas, instrumen pengumpul data dalam penelitian pengembangan ini adalah sebagai berikut.

NODATAINSTRUMENKETERANGAN
1.Pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1 dan 3Peneliti dan guru.
2.Kemampuan membaca cepat siswa SMA Negeri 1 dan 3Tes dan nontes.
3.Kemampuan siswa dalam membaca cepat dengan model e-learning Software membaca cepat.
4.Keefektivan penggunaan software membaca cepatAngket dan pedoman wawancara.


7. Teknik Analisis Data
            Data yang diperoleh dari uji ahli, uji kelompok,dan uji lapangan selanjutnya dianalisis sebagai bahan untuk melakukan revisi produk. Teknik analisis data, baik yang berupa data verbal maupun data nonverbal ini didasarkan pada teknik analisis deskriptif dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Mengumpulkan data verbal tulis yang diperoleh dari hasil lembar pencatatan lapangan     dan lembar observasi pelaksanaan pembelajaran membaca cepat di SMA Negeri 1 dan 3     Pasuruan.
b. Mengumpulkan data berupa perkembangan hasil uji lapangan produk penelitian     pengembangan dalam pembelajaran membaca cepat para siswa dengan menggunakan     model e-Learning.
c. Menganalisis data yang telah dikumpulkan untuk dilakukan revisi produk apabila     diperlukan dengan berdiskusi dengan para ahli, guru, dan pengguna produk.
d. Penyusunan produk baru sesuai dengan hasil analisis dengan memperhatikan hasil     masukan dari ahli media, guru, siswa.

8. Waktu dan Lokasi Penelitian
            Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan pada semester ganjil tahun pelajaran 2009/2010, dimulai bulan September 2009 sampai dengan Februari 2010. Penelitian dilaksanakan di dua sekolah menengah atas negeri di kota Pasuruan, yaitu SMAN 1 Pasuruan dan SMAN 3 Pasuruan.

9. Jadwal Penelitian
    Adapun jadwal yang direncanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


10. Personalia Penelitian
            Personalia penelitian terdiri atas 2 (dua) orang, yaitu:
     a. Ketua Peneliti


     b. Anggota Peneliti


11. Biaya Penelitian
     Biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :
     a. Biaya Operasional                                                               Rp.   5.500.000,-
     b. Bahan Habis Pakai                                                              Rp.   2.000.000,-
     c. Manajemen LEMLIT                                                          Rp.   1.500.000,-
     d. Lain-lain                                                                            Rp.   1.000.000,-
         ________________________________________________________________
         Jumlah                                                                            Rp. 10.000.000,-

     Rincian biaya penelitian di atas adalah sebagai berikut.
     a. Pembuatan Software MC Rp 2.000.000,-
     b. Biaya Operasional
         1) Pembuatan proposal penelitian Rp. 700.000,-
         2) Pembuatan lembar observasi Rp. 400.000,-
         3) Pengadaan CD Pembelajaran Rp. 500.000,-
         4) Perjalanan lokal untuk 2 orang Rp. 400.000,-
         5) Sewa internet dan print out Rp. 300.000,-
         6) Pengadaan literatur (Jurnal dan Buku) Rp. 500.000,-
         7) Dokumentasi Rp. 600.000,-
         8) Seminar lokal Rp. 500.000,-
             ______________________________________________________________
             Jumlah Sub Rp. 4.100.000,-

     c. Bahan Habis Pakai
         1) Kertas A4, 4 rim @ Rp. 30.000,- Rp. 120.000,-
         2) Kertas HVS F4, 2 rim @ Rp. 30.000,- Rp. 90.000,-
         3) Kertas folio bergaris, 4 rim @ Rp. 30.000,- Rp. 120.000,-
         4) Balpoin, 12 batang @ Rp. 2.500,- Rp. 30.000,-
         5) Balpoin transparasi, 2 set @ Rp. 49.500,- Rp. 99.000,-
         6) Plastik transparasi, 50 lembar @ Rp. 2.000,- Rp. 100.000,-
         7) Tinta Printer Rp. 136.000,-
         8) Spidol Whiteboard, 1 dos Rp. 70.000,-
         9) Lem Kertas Rp. 5.000,-
         10) Map Plastik, 4 buah @ Rp. 10.000,- Rp. 40.000,-
         11) Tip-ex (correction pen) Pentel, 4 buah @ Rp. 10.000,- Rp. 40.000,-
         12) CD-RW, 5 keping @ Rp. 10.000,- Rp. 50.000,-
         13) Flash Disk 2 buah @ Rp. 250.000,- Rp. 500.000,-
               ____________________________________________________________
               Jumlah Sub Rp. 1.400.000,-

     d. Manajemen LEMLIT Rp 1.500.000,-
     e. Lain-lain
         a. Pembuatan laporan, 13 rangkap @ Rp. 60.000,- Rp. 780.000,-
         b. Pembuatan artikel, 5 rangkap @ Rp. 30.000,- Rp. 180.000,-
         c. Pengiriman Rp. 40.000,-
         ________________________________________________________________
             Jumlah Sub Rp. 1.000.000,-

DAFTAR RUJUKAN
Alexander, J.E. (Ed.). 1988. Teaching Reading. Boston: Scott, Foresman, and Company.
Anderson, J., Durston, B.H., dan Poole, M.E. 1969. Efficient Reading, a Practical             Guide. Sydney: McGraw-Hill Book Company.
Anwas, O.M. 2003. Model Inovasi e-Learning dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan.             Jurnal Teknologi. 12 (VII): 28--63.
As-Sirjani, Raghib. 2007. Spiritual Reading. Solo: Aqwam.
Blair-Larsen, S.M. 1999. The Balanced Reading Program: Helping All Students Achieve             Success. USA: International Reading Association.
Burn, P.C., Roe, B.D., dan Ross, E.P. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary             School. Boston: Houghton Mifflin Company.
Cisco. 2001. e- Learning: Combines Communication, Education, Information, and             Training. http://www.cisco.com/warp/public/10/wwtraining/elearning.
Daves, F. 1995. Introducing Reading. London: Pinguin Group.
Departemen Pendidikan Nasional. 2000. Keterbacaan Kalimat Bahasa Indonesia dalam             Buku Pelajaran SLTP. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003a. Kurikulum 2004, Standar Kompetensi, Mata             Pelajaran Bahasa Indonesia, SMA dan MA. Jakarta: Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003b. Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus             Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran bahasa dan sastra             Indonesia. Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikdasmen.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003c. Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Umum             Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi SMA. Jakarta: Depdiknas, Ditjen             Dikdasmen.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Permen Diknas RI No 22, 23, dan 24. Jakarta:             Depdiknas.
DePorter, B. dan Hernacki, M. 1992. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman             dan Menyenangkan. Diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman. 2001. Bandung:             Kaifa.
Diptoadi, V.L., Teopilus, S., dan Tedjasukmana, H. 2003. The Influence of Learning Style             and Learning Strategies on the Reading Achievement of Person Using English as             a Foreign Language. Jurnal Teknologi Pembelajaran, Teori dan Penelitian. 11 (1):             36--51.
Flood, J. (Ed.). 1984. Understanding Reading Comprehension. Newark, Delaware:             International Reading Association, Inc.
Fry, E. 1965. Teaching Faster Reading. London: Cambridge University Press.
Funnell, E. (Ed.). 2000. Case Studies in the Neuropsychology of Reading. London:             Psychology Press.
Gunning, T. G. 1992. Creating Reading Instruction for all Children. Boston: Allyn and             Bacon.
Hafni. 1981. Pemilihan dan Pengembangan Buku Pengajaran Membaca. Jakarta:             Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hernomo (Ed.). 2003. Quantum Reading. Bandung: MLC.
Joyce, B., dan Weil, M. 1980. Models of Teaching. London: Prentice Hall International,             INC.
Kamarga, H. 2002. Belajar Sejarah melalaui e-Learning: Alternatif Mengakses Sumber             Informasi Kesejarahan. Jakarta: Inti Media.
Konstant, T. 2003. Speed Reading. Chicago: Hodder & Stoughton Ltd.
Koran, J.K.C. 2002. Aplikasi e-Learning dalam Pengajaran dan Pembelajaran di             Sekolah Malaysia. 8 November 2002. www.moe.edu.my/smartshool/ neweb/             Seminar/kkerja8.htm.
Milan, D.K. 1988. Improving Reading Skills. New York: Random Hause.
Miles, M. B., dan Huberman, A. M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of             New Methods. London: Sage Publication, Beverly Hills.
Moleong, L.J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Mudhoffir. 1996. Teknologi Instruksional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nunan, D. 1999. Second Language Teaching and Learning. Massachusettts: Heinle &             Heinle Publishers.
Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: CV Sinar Baru.
Nuttall, C. 1982. Teaching Reading Skills in a Foreign Language. London: Heinemann             Educational Books.
Oka, I.G.N. 1983. Pengantar Membaca dan Pengajarannya. Surabaya:Usaha Nasional.
Purbo, O.W. 2001. Masyarakat Pengguna Internet di Indonesia. Available, http://             www.gwocities.com/inrecent/project.html. (4 November 2002).
Purwanto, M.N., dan Alim, Dj. 1977. Metodologi Pengajaran Bahasa Indonesia di             Sekolah Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rahardi, S. 2004. Penerapan Information Communication Technology (ICT)             Mengahadapi Perkembangan Teknologi Pendidikan. Makalah disajikan dalam             seminar sehari “Pendidikan Berorientasi Information Communication             Technology dalam Menghadapi Perkembangan Teknologi Informasi” di STKIP             Pasuruan. Pemerintah Kota Pasuruan, Dinas Pendidikan Kota Pasuruan,             Pasuruan, 8 Januari 2004.
Robinson, H.A. 1975. Teaching Reading and Study Strategies: The Content Areas.             Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Roe, B. D., Stoodt, B. D, and Burns, P. C. (1995).Secondary School Reading Instruction:             The Content Areas. Fifth Edition. Boston: Houghton Miflin Company.
Rose, C. 1999. Kuasai Lebih cepat, Buku Pintar Accelerated Learning. Diterjemahkan             oleh Femmy Syahrani. 2002. Bandung: MMU.
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Satyananda, D. 2004. e-Learning, Teknologi Terbaru dalam Pendidikan. Makalah             disajikan dalam seminar sehari “Pendidikan Berorientasi Information             Communication Technology dalam Menghadapi Perkembangan Teknologi             Informasi” di STKIP Pasuruan. Pemerintah Kota Pasuruan, Dinas Pendidikan             Kota Pasuruan, Pasuruan, 8 Januari 2004.
Schaffzin, Nicholas Reid. 1996. Reading Smart, Advanced Techniques for Improved             Reading. New York: Random House, Inc.
Singh, B. 1979. Improving Speed and Comprehension in Reading. Forum, 17: 42-- 43.
Soedarso. 2001. Speed Reading. Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: PT             Gramedia.
Soekamto, Toeti dan Winataputra, Udin Saripudin. 1997. Teori Belajar dan Model-model             Pembelajaran. Jakarta: PAU-PPAI.
Soekarwati. 2003. Prinsip Dasar e-Learning, Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Jurnal             Teknologi. 12 (VII): 5 -- 27.
Subyakto, S.U. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan             dan Kebudayaan.
Sugiarso. 2004. Strategi Pembelajaran Kognitivistik, Kajian Teoritik dan Temuan             Empirik. Ponorogo: Reksa Budaya.
Sulaeman, D. 1988. Teknologi/Metodologi Pengajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan             dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Suparman, A. 1997. Desain Instruksional. 1997. Jakarta: Departemen Pendidikan dan             Kebudayaan.
Syafi’ie, I. 1999. Pembelajaran Membaca di Kelas-kelas Awal SD, Pidato Pengukuhan             Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pengajaran Bahasa dan Seni. Disampaikan pada             Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang pada 7 Desember 1999. Malang:             Universitas Negeri malang.
Tampubolon, D.P. 1990. Kemampuan Membaca, Teknik Membaca Efektif dan Efisien.             Bandung: Angkasa.
Wainwright, Gordon. 2001. Speed Reading Better Recalling. Diterjemahkan oleh Heru             Sutrisno. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Widyamartaya, A. 1992. Seni Membaca untuk Studi. Yogyakarta: Kanisius.
Wiener, H.S., Bazerman, C. 1988. Reading Skills Handbook. Boston: Houghton Mifflin             Company.




PEMBELAJARAN MEMBACA CEPAT DI SMA
DENGAN MODEL E-LEARNING







PROPOSAL PENELITIAN






OLEH
IMRON ROSIDI, M.Pd








SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI PASURUAN
2009






PEMBELAJARAN MEMBACA CEPAT DI SMA
DENGAN MODEL E-LEARNING






PROPOSAL PENELITIAN
Disusun untuk diajukan dalam penelitian
Dosen muda





OLEH
IMRON ROSIDI, M.Pd








SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP PGRI PASURUAN
2009







KATA PENGANTAR




            Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hadiyah-Nya kepada penulis sehingga legenda yang berjudul “Pembelajaran Membaca Cepat di SMA dengan Model e-Learning” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.
            Proposal penelitian ini disusun untuk pengajuan proposal penelitian dosen muda. Proposal penelitian ini berisi tentang pembelajaran membaca cepat dengan menggunakan software MC. Software ini dibuat melalui cara berkolaborasi dengan seorang programer. Software MC menggunakan program visual basic.
            Dalam penelitian ini, penyusunan proposal penelitian ini, peneliti mendapat dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, peneliti ucapkan terima kasih kepada:
1) Ketua STKIP PGRI Pasuruan,
2) Pembantu Ketua 1 STKIP PGRI Pasuruan,
3) Kepala Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP PGRI Pasuruan,
4) Semua dosen jurusan pendidikan bahasa Indonesia STKIP PGRI Pasuruan,
5) Mas Ridwan selaku programer yang membantu peneliti, dan
6) Semua pihak yang tidak tersebutkan satu per satu.
            Peneliti menyadari bahwa di dalam proposal ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan. Untuk itu, saran dan kritik dari pembaca sangat peneliti harapkan. Atas saran dan kritiknya, peneliti ucapkan terima kasih.


Peneliti,









DAFTAR ISI


                                                                                                       HALAMAN
KATA PENGANTAR …………………….......………...................………… VI
DAFTAR ISI ……………………………………………..................……….. VII
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......…………………………….…..................…….......... 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………..………..................……… 4
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………….....................….. 4
1.4 Asumsi dan Keterbatasan ...................................................................... 5
1.5 Definisi Operasional ............................................................................. 5
1.6 Kajian Teori tentang Media Pembelajaran ................................................ 6
BAB II METODE PENELITIAN
2.1 RANCANGAN PENELITIAN ............................................................... 8
2.2 SUBJEK PENELITIAN ........................................................................ 9
2.3 PROSEDUR PENELITIAN .................................................................. 9
2.4 JENIS DATA .................................................................................... 10
2.5 INSTRUMEN PENGUMPUL DATA .................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 38











LAMPIRAN



DAFTAR LAMPIRAN



Lampiran                                                                                         Halaman

1. Instrumen Pengukuran Kemampuan Siswa dalam
    Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen .................................................. 33

2. Foto-foto Kegiatan dan Penelitian ....................................................... 35

3. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ......................................... 36

4. Angket Terbuka untk Guru Bahasa Indonesia ....................................... 38

5. Instrumen Analisis Unsur Intrinsik Cerpen ........................................... 40










HALAMAN PENGESAHAN
USULAN PENELITIAN MEDIA PEMBELAJARAN




Pasuruan, 6 April 2009
Mengetahui,

Ketua STKIP PGRI                                                                 Ketua Peneliti



Dra. Dies Nurhayati, M.Pd                                                    Imron Rosidi
NIP. 132001842

Meyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian


Drs. Sudarwanto









UNIT PENGEMBANGAN PENELITIAN & PENGABDIAN
PADA MASYARAKAT (UP3M)
STKIP PGRI PASURUAN


SURAT KETERANGAN
KETUA LEMBAGA PENELITIAN




            Dengan ini, saya sebagai Ketua Lembaga Penelitian STKIP PGRI Pasuruan menerangkan bahwa :

            Nama                : Drs. Suwadi
            Dosen Prodi       : Pendidikan Bahasa Indonesia
            Fakultas/Jurusan : FKIP/ Pendidikan Bahasa Indonesia

            Saat ini tidak sedang terikat dengan perjanjian penelitian di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas.

            Surat keterangan ini dibuat sebagai kelengkapan pengajuan usulan Penelitian dosen muda tahun 2009.


                                                                         Pasuruan, 6 April 2009
                                                                         Ketua Lembaga Penelitian



                                                                         Drs. Sudarwanto







PERKUMPULAN PEMBINA LEMBAGA PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI
PGRI PASURUAN
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Jl. Ki Hajar Dewantoro 27-29, Telp. (0343) 421948 Pasuruan - 67118

SURAT KETERANGAN KETUA



            Dengan ini, saya sebagai Ketua Lembaga Penelitian STKIP PGRI Pasuruan menerangkan bahwa:

            1. Nama            : Imron Rosidi, M.pd
                Dosen Prodi  : Pendidikan Bahasa Indonesia

            Saat ini tidak sedang mengikuti perkuliahan (teori) S-2 atau S-3 dan terikat kontrak sebagai dosen detasering.

            Surat keterangan ini dibuat sebagai kelengkapan pengajuan usulan Penelitian Dosen Muda tahun 2009 dengan judul Pembelajaran Membaca Cepat di SMA dengan Model e-Learning.


                                                                         Pasuruan, 6 April 2009
                                                                         Ketua Lembaga Penelitian



                                                                         Drs. Sudarwanto






Komentar :

ada 2 komentar ke “contoh proposal penelitian”
Ratna Lakuary mengatakan...
pada hari 

Elearning Universitas Gunadarma
Anda bisa melihat beberapa koleksi ebook yang bisa anda kunjungi pada alamat :
http://elearning.gunadarma.ac.id

Materi Ajar (bentuk Tayangan PDF)
yang bisa Anda download di alamat :
http://ocw.gunadarma.ac.id

semoga bermanfaat :)

Google Honeymoon mengatakan...
pada hari 

keren mas bro

Posting Komentar