aliran linguistik

BAHASA SEBAGAI FAKTA SOSIAL
Oleh: Imron Rosidi dan Mislinatul Sakdiyah


A. Pengantar
Pendekatan modern terhadap kajian bahasa dilakukan sejak terbitnya buku Course de Linguistique Generale (1916) karya sarjana Swiss, Ferdinan de Saussure. Beliau dianggap sebagai pelopor linguistik modern dan linguis pertama yang mampu menjawab pertanyaan ontologis yang berhubungan dengan linguistik. Linguistik tidak perlu mengambil paradigma dari cabang ilmu lain sebagaimana yang telah dilakukan pada kajian-kajian linguistik sebalumnya. Pemikiran de Saussure inilah yang menjadi landasan pijak pengembangan linguistik selanjutnya, baik tradisional maupun struktural.

Asumsi Saussure yang terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian pertama yang dilakukan Saussure adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini dilakukan karena Saussure menganggap bahwa bahasa sebagai satu struktur sehingga pendekatannya sering disebut Structural Linguistics. Kedua, Saussure mengembangkan pikirannya ke dalam enam dikotomi tentang bahasa, yaitu (a) dikotomi sinkronik dan diakronik, (b) dikotomi bentuk (form) dan substansi, (c) dikotomi Signifian dan signifie, (d) dikotomi langue dan Parole, (e) dikotomi individu dan sosial, dan (f) hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik.

Saussure mengistilahkan bahasa-bahasa sebagai fakta-fakta sosial. Fakta sosial adalah istilah dari pendiri sosiologi, Émile Durkheim, dalam Rules of Sociological Method (1895), untuk mengacu kepada fenomena gagasan-gagasan dalam ‘minda kolektif’ dalam suatu masyarakat, yaitu yang di luar fenomena psikologis dan maupun fisikal. Fakta sosial bisa berupa konvensi dan bisa aturan-aturan. Contoh fakta sosial yang konvensional adalah kecenderungan orang Arab berdekatan secara fisik dengan lawan bicara atau kecenderungan orang Amerika mengambil jarak fisik dengan lawan bicara. Contoh fakta sosial yang berupa aturan-aturan adalah sistem hukum suatu masyarakat. Bahasa bisa disetarakan dengan sistem hukum atau struktur konvensi. Datanya berupa fenomena-fenomena fisikal atau parole, sedangkan sistem umumnya adalah langue atau ‘bahasa’ (dibedakan dari yang tanpa tanda kutip). Data kongkrit parole diproduksi oleh pengujar-pengujar secara indivual. Karena penguasaan bahasa tiap orang berbeda-beda, suatu bahasa tidak pernah lengkap pada diri seseorang; keberadaan lengkapnya secara sempurna hanya di dalam kolektivitas. Jadi, fakta sosial menurut Saussure bukan berupa minda kolektif maupun gagasan kolektif seperti yang diterangkan oleh Durkheim. Akibat perbedaan tersebut, muncul dua pendekatan, yaitu pendekatan ‘individualisme metodologis’ yang berseberangan dengan pendekatan Durkheim ‘kolektivisme metodologis’.

Gagasan Saussure dapat dipakai acuan baru dalam studi bahasa, bahwa kajian linguistik hendaknya dilakukan secara diakronik dan sinkronik karena untuk
dapat memotret pada suatu waktu tertentu diperlukan pemahaman tentang bahasa itu untuk satu rentangan waktu. Sebagai pemakai, bahasa dapat ditelaah dari “keberadaan” bahasa itu sendiri tanpa terikat oleh rentangan waktu yang berbeda. Kajian diakronik dianggap terlalu sederhana karena hanya mendeskripsikan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah, sedangkan kajian sinkronik dipandang lebih rumit karena harus mendeskripsikan bahasa itu sendiri.

Dikotomi antara bentuk dengan substansi, Saussure menekankan bahwa kajian linguistik harus ditinjau dari segi bentuk dan substansi. Bagi Saussure, substansi penting, namun bentuk lebih penting. Oleh karena itu, dalam kajian bahasa, nilai suatu unsur (langsung atau tidak langsung) sangat bergantung pada nilai unsur lain.

Dikotomi antara signifiant dengan signifie, Saussure berpendapat bahwa bahasa meliputi suatu himpunan tanda satu lambang yang berupa menyatunya signifiant (signifier, bagian bunyi ujaran) dengan signifie (signified, bagian makna).
Kedua bagian itu tidak dapat dipisahkan karena ujaran dan makna ditentukan oleh adanya kontras terhadap lambang-lambang lain dari sistem itu. Bahasa tanpa suatu sistem tidak akan ada dasar yang dapat dipergunakan untuk membedakan bunyi-bunyi yang ada ataupun konsep-konsep yang ada.

Dikotomi antara individu dan sosial, Saussure mengatakan bahwa perilaku berbahasa anggota masyarakat sangat ditentukan oleh kelompoknya, meskipun ciri perilaku berbahasa masing-masing anggota berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan perilaku individu tidak akan menyimpang dari perilaku kolektif yang ada pada kelompok.
Dikotomi antara langue dan parole dan dikotomi antara sintakmatik dan paradigmatik sebagai bukti bahwa bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realitas sosial bahasa sangat terikat oleh collective mind bukan individual mind. Sebagai collective mind, bahasa merupakan perpaduan antara parole dan langue. Parole mengacu pada tindak ujar dalam situasi yang sesungguhnya oleh masing masing individu. Langue ialah sistem bahasa yang dipakai secara bersama-sama oleh masyarakat penuturnya. Selanjutnya, hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang menyatakan adanya kemampuan mengganti unsur dalam suatu lingkungan yang sama, sedangkan hubungan sintakmatik adalah hubungan yang menyatakan adanya kemampuan mengombinasikan ke dalam konstruksi yang lebih besar.

Pendekatan ini juga diikuti oleh sarjana-sarjana pada dekade berikutnya, seperti Franz Boas (1858–1942) sarjana Antropologi Amerika kelahiran Jerman; Edward Sapir (1884 – 1939) sarjana Antropologi dan Linguistik; dan Leornard Bloomfield (1887 – 1949) sarjana Linguistik yang akhirnya tergabung dalam aliran linguistik struktural. Para sarjana tersebut mengembangkan kajian bahasa pada bahasa lain yang belum pernah diselidiki sebelumnya, bahkan mengembangkannya dengan membentuk aliran-aliran baru dalam kajian linguistik.

B. Sinkronik dan Diakronik
1. Sinkronik
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan, dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, linguistik sinkronis mempelajari bahasa sezaman. Fakta dan data bahasa adalah rekaman yang diujarkan oleh pembicara, atau bersifat horisontal. Linguistik sinkronis adalah mempelajari bahasa pada suatu kurun waktu tertentu, misalnya mempelajari bahasa Indonesia di masa reformasi saja.

Sinkronis dapat dipahami seperti dalam bahasa Perancis, tekanan selalu terletak di suku kata terakhir, kecuali kalau suku kata terakhir mengandung e pepet (seperti “ə”). Ini adalah fakta sinkronis, yakni suatu hubungan antara himpunan kata bahasa Perancis dan tekanan, tetapi fakta ini juga berasal dari keadaan masa lalu (diakronis).

Saussure mengemukakan bahwa kajian bahasa secara sinkronis amat perlu, meskipun beliau banyak berkecimpung dalam kajian diakronis. Bahkan baginya, kajian sinkronis bahasa mengandung kesistematisan tinggi, sedangkan kajian diakronis tidak. Bahkan bagi penggunanya, sejarah bahasa tidak memberikan apa-apa kepada pengguna bahasa mengenai cara penggunaan bahasa. Ada yang perlu bagi pengguna bahasa, yaitu état de langue atau suatu keadaan bahasa. Suatu keadaan bahasa terbebas dari dimensi waktu dalam bahasa yang justru memiliki watak kesistematisan.

Kajian sinkronis justru lebih serius dan sulit. Sistem keadaan bahasa ‘sinkronik’ seperti sistem permainan catur. Setiap buah catur (setara dengan suatu unit bahasa) memiliki tempat tersendiri dan memiliki keterkaitan tertentu dengan buah lain, dan kekuatan serta pola gerak/jalan tersendiri. État de langue adalah jaringan keterkaitan yang menentukan nilai suatu elemen benar-benar tergantung, langsung atau tak langsung pada nilai elemen-elemen yang lain.

2. Diakronik
Kata diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui, dan khronas yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, yang dimaksud dengan linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Studi diakronis bersifat vertikal, misalnya menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia yang dimulai sejak adanya prasasti di Kedukan Bukit sampai kini.

Linguistik diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi. Ada berbagai contoh untuk melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis), misalnya, kata Latin “cripus” (berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar Perancis crép-, yang membentuk kata kerja crépir ‘melepa’, dan décrépir, ‘mengupas lepa’. Pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin décrepitus, ‘usang karena usia’, untuk membentuk décrépit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.
Contoh yang lain terdapat dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa Jerman tinggi kuno, kata jamak gast, ‘tuan rumah’, semula adalah gasti, dan jamak hant ‘tangan’ semula adalah hanti, dll. Akan tetapi, di kemudian hari, i- tersebut menjadi umlaut yang mengakibatkan a menjadi e dalam suku kata terdahulu: gasti menjadi gesti, hanti menjadi henti, tetapi kemudian (lagi) i- kehilangan bunyinya dan menghasilkan gesti menjadi geste, dst. Akibatnya, sekarang terdapat kata Gäst: Gaste, Händ: Hande, dan sejumlah besar kelompok kata yang menampilkan bentuk jamak dan tunggal. Hal ini adalah dimensi linguistik diakronis. Diakronis tidak mengubah sistem karena kata yang berubah pun adalah sistem dalam bentuk yang lain dengan sistem sebelumnya. Perubahan kata terjadi di luar kemampuan siapa pun.

Ada kasus khusus dalam linguistik sinkronis dan diakronis, contoh: pouter dalam bahasa Yunani berarti kuda betina, sekarang pengertiannya berubah menjadi “tiang penunjang” (jadi maknanya berubah). Kata tersebut tetap, tetapi pengertian masyarakat akan kata itu yang berubah. Jadi fakta historis atau diakronis mengikuti fakta sinkronis. Oleh karena itulah, sinkronis menganggap gast beroposisi dengan gäste, gebe beroposisi dengan gib, dst, sedangkan diakronis menganggap gast berubah menjadi gaste. Diakronis hanya hadir dalam parole karena segala perubahan pertama kali dilontarkan individu sebelum masuk dalam kelaziman. Misalnya, bahasa Jerman memiliki: ich war, wir waren, sedangkan bahasa Jerman kuno sampai abad XVI menafsirkannya: ich was, wir waren dan dalam bahasa Inggris: I was, we were. Nah, bagaimana terjadinya substitusi dari war ke was? Saussure mengatakan, pasti ada beberapa orang yang terpengaruh oleh waren, kemudian menciptakan war dengan jalan analogi. Ini adalah fakta dalam parole. Karena kata tersebut sering diulang dan diterima oleh masyarakat, maka kata tersebut menjadi fakta dalam langue.
Jika seseorang hanya melihat sisi diakronis bahasa, maka yang ia lihat bukan lagi langue, melainkan sederet “peristiwa” yang notabene merupakan parole. Linguistik diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama.

C. Langue dan Parole
Gagasan Saussure tentang fakta sosial, langue, dan parole, menjadi pilar-pilar konsepnya mengenai struktur gagasan yang amat kontroversial. Para bahasawan tertarik berkomentar. Pendekatan Saussure kembali mengemuka ketika dihadapkan pada pandangan Noam Chomsky. Pandangan Chomsky (1964) yang amat berpengaruh adalah yang membedakan kompetence dari performance. Pembedaan tersebut tampak ada kemiripan dengan pembedaan langue dan parole oleh Saussure. Bahkan, Chomsky sendiri menyamakan konsep linguistic competence yang diperkenalkannya dengan konsep langue. Namun, sesungguhnya kedua konsep tersebut berbeda.

Konsep langue dan parole menyisakan masalah besar dalam sintaksis. Meskipun tidak disebut dalam bukunya, unit-unit (abstrak) yang bermakna sepeti morfem dapat dimasukkan ke dalam langue, masuk dalam sistem, disediakan untuk dipakai dengan jumlah terbatas. Morfem disediakan dalam langue dan dapat digunakan untuk membedakan suatu morfem dengan morfem yang lain. Sintaksis juga unit abstrak bermakna. Kita perlu membedakan dan memilih sintaksis satu dari sintaksis yang lain ketika hendak berkomunikasi. Bedanya dari morfem adalah bahwa jumlah struktur kalimat – sintaksis – tidak terbatas dan bisa terus bertambah. Jika demikian, sintaksis tidak masuk dalam langue, melainkan dalam parole.

1. Langue
Langue mengacu pada sistem bahasa yang abstrak. Sistem ini mendasari semua ujaran dari setiap individu. Langue bukanlah suatu ujaran yang terdengar, tulisan yang terbaca, melainkan suatu sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata. Langue adalah totalitas dari sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari ingatan pemakai bahasa dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak setiap individu.

Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama oleh semua warga masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole, seperti yang kita ketahui bahwa parole adalah wicara aktual, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue.
Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya apabila seseorang mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode, suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penurut terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.

Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindera dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan. Contoh: Pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi! dapat juga kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau dengan tanda-tanda militer.

Langue seperti permainan catur, apabila buah caturnya dikurangi akan berubah dan bahkan permainan akan kacau, demikian halnya dalam langue. Jika struktur (sistem) kita ubah, maka akan kacau balau juga. Misalnya: saya makan nasi, jika kalimat ini diubah menjadi: nasi makan saya, kelihatannya kalimat tersebut, janggal. Atau dalam bahasa Latin: laudate (terpujilah), tentu jika kita mengubahnya tidak sesuai dengan aturan main dalam bahasa Latin, akan kacau balau. Langue tidak tergantung pada aksara. Misalnya, kata: tōten, fuolen dan stōzen; kata-kata ini di kemudian hari berubah menjadi tölen, füolen dan stōzen. Perubahan itu dari mana? Nah, langue tidak mau tahu dengan perubahan itu, yang penting apa yang telah dipakai secara konvensional, ya itulah langue.

Langue perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk. Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah parole, tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu.

Langue bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1 + 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu. Menurut Alwasilah (1983), langue adalah tata bahasa + kosakata + sistem pengucapan. Langue bersifat stabil dan sistematis.

Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua masyarakat bahasa.

Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah, tetapi para penutur tidak mungkin mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi, tetapi terbuka bagi perkembangan. Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi, melainkan benda konkret. Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah, putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk bunyi).

2. Parole
Parole adalah bahasa tuturan, bahasa sehari-hari. Intinya, parole adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur dan pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole adalah perwujudan langue pada individu. Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Bahasa parole misalnya, gue kan ga suka cara kayak gitu, loo emangnya siape?, dst. Jadi, parole adalah dialek. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar, termasuk kata apapun yang diucapkan oleh penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan unsur-unsur berikut.

Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku, perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).

Kedua, mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Parolelah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole. Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi. Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ + 1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun akan dilafalkan secara berbeda, baik orang yang sama maupun oleh banyak orang.

D. Signifiant dan Signifie
1. Signifiant
Bahasa adalah sistem lambang dan lambang itu sendiri adalah kombinasi antara bentuk (signifiant) dan arti (signifie). Signifiant merupakan bentuk bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem. Signifiant juga sebagai perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud dasar sistem fonologi suatu bahasa. Jadi, signifiant (penanda) merupakan citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.

2. Signifie
Signifie merupakan kandungan mental atau citra mental suatu bahasa. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna suatu bahasa. Signifie (petanda) merupakan pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Setiap tanda tidak dapat dipisahkan dari tanda yang lain karena baik lafal maupun maknanya dipahami atas perbedaanya dari yang lain.

Dari segi mental, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa manusia. Dari segi fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat suatu tabung dalam alat bicara manusia. Jadi, bahasa merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat manusia melalui alat-alat bicaranya. Misalnya gambar kuda dilambangkan dengan kuda (ind), jeren (mdr), jeran (bawean), dan jaran (jawa).

Apabila ada berujar kuda dan kita mendengar rentetan bunyi /k, u, d, a/ itulah yang disebut signifiant, sedangkan bayangan kita terhadap seekor kuda disebut signifienya, yaitu seekor binatang berkaki empat, memiliki bulu di leher, dengan tenaga yang begitu kuat.

E. Sintakmatik dan Paradigmatik
1. Sintakmatik
Hubungan sintakmatik adalah hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu tindak bicara. Unit-unit kebahasaan dapat digabungkan menjadi bangun yang lebih panjang. Misalnya, apabila kita berkata rumah bagus itu akan dijual, maka kita melihat bentuk rumah yang dihubungkan dengan bentuk lain yang berbentuk suatu keutuhan.

2. Paradigmatik
Hubungan paradigmatik adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari unit bahasa. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antarelemen yang dapat saling menggantikan dalam slot yang sama dalam struktur kebahasaan, seperti yang tampak di bawah ini.
mesin
bermesin
mesinnya
permesinan
Kata mesin dengan bentuk di bawahnya memiliki hubungan paradigmatik.


Kepustakaan
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Ibrahim, Abd. Syukur. 1985. Aliran-aliran Linguistik. Surabaya: Usaha Nasional.

Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum, Historis Komparatif dan tipologi Struktura. Jakarta: Erlangga.

Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik, Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.

Wahab, Abdul. 1990. Butir-butir linguistik. Surabaya: Alirlangga Universitas Press.

Wahab, Abdul. 1995. Isu Linguistik, Pengajaran bahasa Indonesia dan Sastra. Surabaya: Airlangga Universyty press.

Komentar :

ada 2 komentar ke “aliran linguistik”
Anonim mengatakan...
pada hari 

mau tanya..
kalau kalimat tidak langsung masuk dalam linguistik apa yah??

Anonim mengatakan...
pada hari 

kajian linguistik seperti dikotomi termasuk ke dalam kajian dialek kah? atau hanya sebagai ilmu semantik semata yang berdasar pada pembagian-pembagian beberapa cabang ilmu linguistik yang masih bisa diperdalam lagi kejiannya...? mohon kerjasamanya.

Posting Komentar