MEMBANGUN WAWASAN TENTANG FILSAFAT
Oleh: Imron Rosidi



A. Pengantar
Dunia ini adalah sebuah pangggung yang berisi berbagai makhluk hidup yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan hidupnya. Hanya saja, dalam berinteraksi kadang kala di anatarnya terjadi kesalahpahaman, yang satu menyalahkan yang lain. Hal ini terjadi di semua ranah kehidupan, mulai dari politik, sosial, sejarah, budaya, dan agama. Hal ini mungkin dapat dianggap wajar karena setiap manusia yang berinteraksi memiliki tujuan dan cara pandang yang berbeda satu dengan lainnya. Untuk mengurangi bentuk keangkuhan dengan selalu merasa benar diperlukan filsafat.

Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 S.M. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada [agama] lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Akan tetapi, filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat.
Mengenai pengertian, sejarah, dan cabang-cabang filsafat secara harafiah mungkin di antara kita sudah memahami. Akan tetapi, untuk memahami secara batiniah tentang filsafat, kita perlu mempelajari secara saksama makalah ini, kemudian mendiskusikan atau mendialektikakan. Hal inilah cara kerja filsafat.

B. Pengertian Filsafat

Sebelum memahami pengertian filsafat, kita perlu mengetahui terlebih dahulu asal kata filsafat. Kata filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan adaptasi dari bahasa Arab ةفسلف. Kata filsafat juga diambil dari bahasa Yunani Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa Yunani, kata philosophia merupakan kata majemuk yang berasal dari kata-kata (philia/philos: persahabatan, cinta, suka) dan (Sophia: kebijaksanaan, kearifan, dan pengetahuan). Secara harafiah, kata filsafat berarti seorang “pencinta kebijaksanaan, kearifan, dan pengetahuan”. Kata Filsafat juga diambil dari kata philosophy dari bahasa Inggris dan filosofi dari bahasa Belanda. Untuk itu, dalam bahasa Indonesia, seseorang yang mendalami bidang filsafat disebut "filsuf".
Untuk dapat memahami hakikat filsafat, kita tidak cukup hanya mengetahui asal usul dan arti istilah yang digunakan, tetapi juga perlu memerhatikan konsep dan pengertian yang disampaikan para filsuf. Pendekatan etimologis tidak dapat mencapai pengertian yang hakiki dan hanya mencapai ciri luarnya saja, bukan substansinya. Padahal, Aristoteles mengatakan bahwa pengertian (definisi) adalah esensi dari sesuatu (definition is essential of think). Untuk itu, dalam kesempatan ini, kami akan menyajikan beberapa pengertian filsafat beserta penjelasannya.
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar (Hidayat, 2006:11). Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan masalah secara tepat, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektika. Untuk itu, dalam studi filsafat mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, filsafat didefinisikan sebagai: (1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya; (2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; (3) Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisikan, dan epistemologi; dan (4) Falsafah (KBBI, 2008:392). Dengan demikian, orang dikatakan berfilsafat apabila dia sedang berpikir secara radikal (mendasar sampai ke akar-akarnya) dengan memberikan argumen yang bernalar. Argumen yang bernalar tersebut membutuhkan sebuah media yang berupa bahasa dan logika, seperti yang telah dilakukan oleh al-Ghazali dalam mengkaji pemikiran para filsuf muslim.
Para filsuf pra-Socrates memberi pengertian sebagai ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas dengan mengandalkan akal budi. Menurut plato (427-347 SM), filsafat adalah suatu ilmu yang membicarakan hakikat sesuatu, sedangkan Aristoteles mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang kebenaran yang meliputi: logika, fisika, metafisika, dan pengetahuan praktis. Hanya saja, filsafat bukan sekadar ilmu yang mencoba mencari hakikat kebenaran dari sesuatu, tetapi hakikat kebenaran dari seluruh ilmu pengetahuan.
William James mengartikan filsafat sebagai sejumlah kumpulan pertanyaan yang belum pernah terjawab oleh sains secara memuaskan. Menurut Mulder, filsafat adalah pemikiran teoretis tentang susunan realitas yang membuat susunan itu menjadi sasaran pemikiran, sedangkan Fung Yu Lan mengatakan bahwa filsafat adalah pikiran sistematis dan merupakan refleksi tentang hidup.
Para filsuf muslim abad pertengahan memberikan pengertian filsafat sebagai ilmu yang meneliti tentang hakikat segala sesuatu yang ada (al-maujudah) dengan cara menggunakan akal sempurna. Untuk itu, seorang filsuf harus selalu berpikir kritis dengan logika yang benar, tidak terkesan ingin menang sendiri untuk mencapai kebenaran yang diinginkan.
Para filsuf Indonesia mengartikan filsafat sebagai ilmu (tentang segala sesuatu) yang menyelidiki keterangan atau sebab yang sedalam-dalamnya , sedangkan Sidi Gazalba mendefinisikan filsafat sebagai sistem kebenaran tentang segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil berpikir secara radikal, sistematis, dan universal. Ali Maksum menyimpulkan beberapa pengertian filsafat dari ahli filsuf sebagai proses berpikir secara radikal, sistematis, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Pengertian yang disampaikan Ali Maksum di atas tampaknya melengkapi pengertian yang disampaikan Sidi Gazalba.
Dari berbagai pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa: (1) filsafat adalah sebuah ilmu atau teori, (2) filsafat merupakan kumpulan pertanyaan, (3) filsafat adalah proses berpikir secara radikal, (4) filsafat merupakan hasil karya manusia, dan (5) filsafat bertujuan untuk menanamkan cinta kebijaksanaan dan kebenaran.

C. Cara Kerja Filsafat
Cara kerja filsafat adalah dialektika (dialectic), yaitu suatu kajian konseptual dengan mengajukan berbagai pertanyaan, sejumlah jawaban, dan membangun berbagai implikasi dari jawaban-jawaban itu secara berkelanjutan dan tanpa akhir. Cara kerja ini dikenal dengan dialektik Socrates. Menurut Socrates, cara terbaik untuk mendapatkan pengetahuan adalah lewat pembicaraan secara teratur sebagai stimulus agar orang lain mau berikir serius. Hal ini disebabkan filsafat mengkaji tentang esensi, bukan bentuk lahiriah sebuah ekspresi.
Beberapa model dialektika sebagai cara kerja filsafat kami tampilkan dalam tulisan ini. Pertama, model dialektika yang diperkenalkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831). Beliau ini adalah salah satu filsuf Jerman yang termasyhur dan menjadi rujukan dari pemikiran Idealisme pada masa sekarang ini. Idealisme yang dimaksud adalah salah satu jenis pemikiran yang mengutamakan ide atau gagasan sebagai sumber kebenaran. Biasanya, Idealisme dibandingkan dengan Empirisisme atau jenis pemikiran yang mengutamakan pengalaman atas kenyataan sebagai sumber kebenarannya.
Model dialektika Hegel merupakan salah satu yang tersulit dipahami dalam sejarah filsafat modern. Ini dikarenakan Hegel berbicara dalam tingkatan yang sangat teoretis dan tidak membicarakan hal-hal yang bersifat praktis. Apalagi, filsafat Hegel memiliki dasar pemikiran pada sesuatu yang sangat abstrak, yaitu filsafat "roh". Model dialektika Hegel ini adalah yang lazim dikenal sebagai: tesis - antitesis – sintesis. Tesis secara sederhana dipahami sebagai "suatu pernyataan atau pendapat yang diungkapkan untuk sesuatu keadaan tertentu", misalnya: "Tanah ini basah karena hujan". Antitesis adalah "pernyataan lain yang menyanggah pernyataan atau pendapat tersebut", misalnya: "Hari ini tidak hujan". Sintesis adalah "rangkuman yang menggabungkan dua pernyataan berlawanan tersebut sehingga muncul rumusan pernyataan atau pendapat yang baru", misalnya: "Oleh karena hari ini tidak hujan, tanah ini tidak basah karena hujan."
Model dialektika ini sebenarnya sudah banyak kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pikiran yang satu disanggah dengan pikiran yang lainnya. Namun, rumusan ilmiah atas itu memang baru dibuat secara "hebat" dan mulai terkenal dalam pemikiran filsafat semenjak diperkenalkan Hegel untuk menopang pandangan filsafatnya.
Akan tetapi, membaca pikiran Hegel itu tidak mudah. Membaca Hegel, sama dengan membaca pikiran tiga orang filsuf sebelumnya, yaitu: Immanuel Kant (1724 - 1804), Johan Gottlieb Fichte (1762 - 1814), Friedrich Wilhelm Joseph Schelling (1775 - 1854). Pada dua orang terakhir ini, Hegel mengambil saripati pikiran yang dikembangkan sebagai model dialektika. Sebagai gambaran sederhana, saya akan ringkaskan sedikit pandangan bagaimana Hegel itu sendiri "berdialektika" dengan Ficthe dan Schelling di bawah ini.
Pendapat Fichte yang terutama terletak pada pemahaman atas diri yang disebut "Aku" atau "Ego". Menurutnya, Aku merupakan unsur terpenting dalam diri manusia. Hal itu karena Aku adalah pribadi yang dapat melakukan perenungan. Ini seibarat pendapat Rene Descartes (1596 - 1650) yang mengatakan bahwa Aku berpikir, maka Aku ada (bahasa latinnya, yaitu: Cogito ergo sum). Namun, dalam pikiran Fichte, Aku ini tidaklah sendiri. Aku ini menjadi sadar karena ada sesuatu yang di luar Aku. Dalam konteks ini, sesuatu yang di luar Aku dapat berupa Aku yang lain ataupun alam. Dengan pergumulan Aku yang lain inilah, Aku menjadi sadar kalau dirinya terbatas. Begitu pun sebaliknya dengan Aku yang lainnya itu. Bahasa sederhananya, ketika kita menyadari kehadiran orang lain, kita menjadi sadar kalau kita tidak sendiri. Dengan menyadari ketidaksendirian itu, kita pun menjadi sadar kalau kita dibatasi ataupun membatasi orang lain. Kita maupun orang lain menjadi tidak bebas.
Dalam model dialektika, pola pikir Fichte terumus demikian: Aku ini sadar (tesis) - Ada Aku lain (antitesis) - Aku dan Aku lain saling membatasi (sintesis).

Dalam pikiran Schelling, hal ini terungkap dalam kaitannya dengan permasalahan identitas. Schelling menolak Fichte yang mengutamakan Aku atas alam. Menurutnya, identitas Aku itu tidaklah bersifat subjektif (berciri "roh") ataupun objektif (berciri "materi"). Aku mengatasi keduanya. Oleh karena itu, Aku berciri mutlak atau absolut. Maksudnya, secara sederhana, andaikan saja Aku ini bukan pribadi, Aku akan mendapatkan ciri yang sangat abstrak karena ketika tadi dipahami bahwa alam adalah Aku yang lain, alam yang bukan pribadi mendapatkan status yang sama dengan manusia yang pribadi. Jadi, tidak ada bedanya antara manusia dan alam karena keduanya dapat dipandang sebagai Aku.
Dalam model dialektika, pola pikir Schelling terumus demikian: Aku yang lain atau alam (tesis) - Aku individu atau manusia (antitesis) - Aku yang bukan materi dan roh (sintesis).

Berusaha mengatasi perdebatan antara Fichte dan Schelling, Hegel lalu merumuskan sesuatu yang "sederhana" dibandingkan dua pendapat filsuf itu. Pada satu sisi, ia mengkritik pandangan Fichte yang tidak menyelesaikan masalah pertentangan antara Aku dengan Aku yang lain. Sementara pada sisi yang lain, walaupun kagum dengan filsafatnya Schelling, Hegel mengatakan bahwa pendapat Schelling memiliki kelemahan karena tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Aku absolut itu sendiri. Hegel lalu merumuskan pemahamannya atas masalah ini menjadi: Idea (tesis) - Alam (antitesis) - Roh (sintesis). Inilah yang dimaksudkan sebagai Aku absolut menurut pandangan Hegel.

D. Cabang-cabang Filsafat
Pada awal perkembangannya, semua ilmu pengetahuan tergolong filsafat. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, tepatnya pada masa Renaisance abad ke-17, ilmu-ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang dangat pesat dan memisahkan diri dari filsafat dan filsafat menjadi sebuah ilmu tersendiri yang mencoba untuk memecahkan masalah yang tidak terpecahkan oleh sebuah ilmu.
Sebagaimana pengertian filsafat, pembagian cabang-cabang filsafat oleh para filsuf juga berbeda-beda. Dalam tulisan ini akan disajikan cabang-cabang filsafat menurut M.J. Langeveld, De Vos, Alburey Castell, Will Durrant, dan Aristoteles. M.J. Langeveld membagi filsafat dalam tiga masalah utama, yaitu: (1) Lingkungan masalah-masalah keadaan (metafisika manusia, alam, dan segala ciptaan Tuhan, (2) Lingkungan masalah-masalah pengetahuan (teori kebenaran, teori pengetahuan, dan logika, dan (3) lingkungan masalah-masalah nilai ( teori nilai, etika, estetikan, moral, dan religi).
De Vos menggolongkan cabang-cabang filsafat menjadi: metafisika, logika, ajaran tentang ilmu pengetahuan, filsafat alam, filsafat budaya, filsafat sejarah, etika, estetika, dan antropologi. Alburey Castell membagi masalah filsafat menjadi: theological problem, metafisikal problem, epistemological problem, ethical problem, political problem, dan historical problem, sedangkan Will Durrant mengemukakan lima cabang filsafat, yaitu: logika, estetika, etika, politika, dan metafisika. Aristoteles membagi filsafat ke dalam tiga bidang, yaitu: (1) filsafat spekulatif atau teoretis (fisika, metafisika, biopsikologi), (2) filsafat praktika (etika, politik), dan (3) filsafat produktif (sastra, retorika, dan estetika).
Dari berbagai pembagian dari para Filsuf di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat dapat dibagi ke dalam beberapa cabang, yaitu sebegai berikut.
a. Epistemologi, yaitu filsafat tentang ilmu pengetahuan yang mempersoalkan sumber, asal mula, dan jangkauan, serta validitas dan reliabilitas dari berbagai klaim terhadap pengetahuan.
b. Metafisika, yaitu filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, tentang hakikat yang bersifat transeden, di luar jangkauan indera manusia (ontologi, kosmologi, teologi metafisik, dan antropologi). Misalnya, persoalan hidup setelah mati. Hal ini sulit untuk dijelaskan.
c. Logika, yaitu studi tentang metode berpikir dan penelitian, yang meliputi: obeservasi, introspeksi, deduksi, dan induksi, hipotesis dan eksperimen, analisis dan sintesis.
d. Etika, yaitu studi tentang tingkah laku yang ideal, termasuk aksiologi. Pertanyaan pokok dalam etika adalah Apa yang harus kita lakukan?
e. Estetetika, yaitu studi tentang bentuk ideal dan keindahan, yang biasa disebut filsafat seni.
f. Filsafat khusus, misalnya filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat alam, filsafat pendidikan, dan sebagainya.

E. Mengapa Perlu Belajar Filsafat?
Tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak memiliki manfaat, termasuk mempelajari filsafat. Dengan mempelajari filsafat diharapkan kita bisa lebih bijaksana, artinya kita selalu menggunakan akal budi, arif, dan tajam pikiran; pandai dan selalu ingat apabila sedang menghadapi kesulitan. Apabila kesulitan itu hinggap pada diri kita, maka kita perlu mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan kesulitan tersebut. Jadi, sudahkah Anda membuat pertanyaan itu?
Misalnya begini. Apakah yang dinamakan blog itu? Secara sederhana tentu kita dapat menjawab bahwa blog adalah "satu tempat kita dapat berekspresi secara bebas di dunia digital", atau mungkin Anda punya jawaban ini, blog adalah "diari elektronik".
Nah, dari pertanyaan sederhana tentang blog saja kita sudah mendapat dua jawaban yang berbeda. Jawaban pertama tampak terlalu formal, dan jawaban yang kedua lebih mudah kita ingat. Ini sudah menimbulkan sedikit masalah sebenarnya karena kita mungkin bingung untuk memilih jawaban yang pertama apa jawaban kedua atau mungkin Anda mempunyai jawaban lain.
Bertambahnya jawaban, walaupun hanya satu, menandakan bahwa pikiran kita yang bingung mulai berkembang untuk mengatasi masalah tersebut. Ada jawaban A, B, hingga Z mungkin. Oleh karenanya, dibutuhkan kemauan dan kesanggupan kita untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam konteks ini, filsafat sebenarnya membantu kita untuk menata persoalan. Dalam kasus di atas, kalau kita memiliki jawaban lain yang mengatakan bahwa blog itu adalah "cara baru untuk bertegur sapa", mengapa tidak kita coba saja membandingkannya dengan jawaban di atas.

A --> Blog adalah "satu tempat yang di dalamnya kita dapat berekspresi secara bebas di dunia digital".

B --> Blog adalah "diari elektronik".

C --> Blog adalah "cara baru untuk bertegur sapa".

Tiga pengertian ini kalau kita ambil yang pokoknya akan terdiri dari beberapa istilah penting, yaitu: tempat, ekspresi, bebas, dunia digital, diari, elektronik, cara, dan tegur sapa. Istilah-istilah ini bisa dirangkai lagi menjadi pengertian baru menjadi:
Blog adalah cara berekspresi di dunia digital atau diari yang kita buat secara elektronik dan menjadi tempat baru untuk bertegur sapa dengan bebas.

Akhirnya, jawaban baru di atas merupakan rangkuman semua jawaban yang sudah ada sebelumnya. Inilah gambaran sederhana bagaimana kita berfilsafat. Filsafat itu adalah cara untuk memahami sesuatu. Untuk memahami blog, kita dapat memformulasikan berbagai jawaban sebelumnya untuk menghasilkan sebuah jawaban baru yang lebih baik dan lengkap.
Hal inilah salah satu alasan mengapa kita perlu belajar filsafat. Kita butuh satu cara untuk lebih memahami masalah-masalah kita; memahami keluarga, saudara, kerabat, sahabat, teman, teman dekat, pacar, kolega, orang asing, dan macam-macam orang yang sejenis dengan "manusia"; juga yang terpenting memahami tujuan hidup kita sendiri.
Pada tingkat yang lebih jauh, dengan belajar filsafat atau tepatnya belajar memahami secara lebih baik, kita tidak akan menjadi egois atau mengaku yang paling benar. Kalau ada di antara kita yang senang menyalahkan orang lain berarti dia belum belajar filsafat. Dia hanya "belajar teori filsafat". Jadi, Anda perlu belajar filsafat.

F. Filsafat Bahasa
Filsafat adalah proses berpikir secara radikal tentang suatu realitas. Dalam hal ini berpikir adalah berbahasa, dan yang dipikirkan adalah realitas. Sementara realitas merupakan sesuatu yang disimbolkan lewat bahasa. Bahasa tidak sekadar urutan bunyi yang dapat dicerna secara empiris, tetapi juga kaya dengan makna yang sifatnya non-empiris. Dengan demikian, bahasa merupakan sarana penting dalam berfilsafat, yakni sebagai alat untuk mengejawantahkan pikiran tentang fakta dan realitas yang disimbulkan lewat simbol bunyi. Tanpa bahasa para filsuf tidak akan pernah berfilsafat. Namun, tanpa filsafat kita tetap mampu berbahasa. Sebaiknya sebelum ide dikatakan benar atau salah, perlu dikaji lebih dahulu apakah bahasa yang digunakan menentukan maknanya. Jadi, makna menjadi fokus analisis linguistik dalam penyelidikan filsafat.
Ada dua kelompok filsafat bahasa, yakni: pertama, perhatian para filsuf terhadap bahasa dalam menjelaskan berbagai objek filsafat. Artinya, objek material filsafat adalah bahasa itu sendiri, sedangkan objek formalnya adalah sudut pandang falsafi terhadap bahasa itu. Cara kerja ini lazim disebut filsafat analitik atau filsafat analitik bahasa.
Kedua, perhatian terhadap objek bahasa sebagai objek materi dari kajian filsafatseperti halnya filsafat hukum, filsafat seni, filsafat manusia, filsafat agama, dan sebagainya. Filsafat bahasa atau filsafat bentu-bentuk simbolis berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti hakikat dan fungsi bahasa, hubungan bahasa dan realitas, jenis-jenis sistem simbol, dan dasar-dasar untuk mengevaluasi sistem bahasa. Dari kelompok kedua inilah berkembang teori-teori linguistik selama ini. Ada beberapa alasan, mengapa filsafat bahasa jarang dibahas, yaitu: (1) filsafat bahasa dianggap kurang relevan karena idak terkait langsung dengan persoalan praktik di lapangan, (2) kurangnya tenaga pengajar yang berminat terhadap filsafat bahasa sehingga regenerasi dan reproduksi minat dan komitmen terhadap filsafat bahasa menjadi lamban.

G. Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan adalah suatu teori yang mendasari alam pikiran ihwal pendidikan atau suatu kegiatan pendidikan. Pertanyaan yang harus dijawab oleh filsafat pendidikan adalah apakah tujuan pendidikan itu. Untuk itu, perlu mengkaji metafisik, epistimologis, moral, dan politik. Selan itu, peranyaan yang harus dikaji adalah: Apa hakikat manusia? Bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan? Apa standar moral yang harus dipegang manusia? Bagaimana semestinya masyarakat diorganisir? Jadi tidak sekadar mengkalimatkan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan harus dirinci secara jelas sehingga metode untuk mencapai tujuan itu jelas.
Cerminan dari filsafat pendidikan dituangkan dalam kurikulum. Lebih spesifik lagi adalah apa yang diajarkan oleh guru di kelas. Kaitan antara filsafat dan kurikulum adalah bahwa kurikulum menggarap aspek tertentu dari filsafat dan melihat manusia dalam bingkai mikrokosmos, sementara filsafat merupakan teori umum ihwal pendidikan dan melihat manusia dalam bingkai makrokosmos. Karena itu, tim pengembang kurikulum harus membuat sejumlah keputusan cerdas tentang tiga perkara, yaitu: (1) hakikat realita (ontologi), (2) hakikat pengetahuan (epistimologi), dan (3) hakikat nilai baik dan buruk (aksiologi).

H. Filsafat Pendidikan Bahasa
Filsafat pendidikan bahasa adalah sinergi antara foilsafat pendidikan dan filsafat bahasa. Pemikir pendidikan bahasa mempelajari filsafat bahasa secara historis, sistematis, analisis, dan intuitif. Jadi, filsafat pendidikan bahasa adalah teori yang mendasari alam pikiran manusia tentang pendidikan bahasa atau suatu kegiatan pendidikan bahasa. Berdasarkan filsafat pendidikan bahasa inilah, maka berkembanglah teori-teori, pendekatan-pendekatan, metode-metode, dan teknik-teknk mengajar bahasa. Jadi, setiap kebijakan engajaran di kelas dapat ditelusuri asalnya, yakni melalui filsafat pendidikan bahasa. Pendidikan bahasa sangat penting kedudukannya dalam pendidikan lain karena sukses dalam penguasaan mata pelajaran sangat bergantung pada penguasaan bahasa lisan dan tulis atau literasi, karena pembelajaran berbagai mata pelajaran mesti menggunakan bahasa.


I. Hakikat Dasar Keilmuan
Ilmu (science) merupakan salah satu cabang dari pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) yang mempunyai karakteristik tersendiri. Karakteristik tersebut mencirikan hakikat keilmuan. Ilmu pengetahuan merupakan konsekuensi usaha manusia yang antara lain bertujuan untuk: (a) memahami realitas kehidupan dan alam semesta, (b) menyelesaikan permasalahan hidup yang dihadapi, dan (c) mengembangkan dan melestarikan hasil yang sudah dicapai oleh manusia sebelumnya.
Ilmu bukan merupakan suatu bangunan abadi, namun merupakan sesuatu yang tidak pernah selesai. Ilmu tidak lepas dari keterbukaan terhadap koreksi, meskipun didasarkan pada kerangka objektif, rasional, sistematis, logis, dan empiris. Kebenaran ilmu bersifat relatif, bukan merupakan kebenaran mutlak. Alternatif pengembangan ilmu menyangkut aspek metodologis, ontologis, aksiologis, dan epistemologis. Karena itu pengembangan ilmu yang dilahirkan validitas dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan baik berdasarkan context of justification maupun context of discovery.
Pengembangan ilmu tidak hanya dapat dirumuskan dari konteks ilmu itu sendiri, namun harus disinkronisasikan dengan akar budaya suatu bangsa. Nilai sebuah pengembangan ilmu dapat dilihat dari sejauh mana esensi ilmu tersebut mampu memberikan nilai lebih terhadap kemakmuran kehidupan manusia tanpa harus meninggalkan tata nilai, etika, moral, dan filosofi di mana manusia tersebut berada. Jadi, nilai budaya pada hakikatnya dapat dijadikan kerangka landasan pengembangan ilmu. Selain itu, ilmu dapat merupakan sumber nilai terhadap pengembangan kebudayaan.
Yang menjadi persoalan adalah sejauh mana pengembangan ilmu pengetahuan ini adalah sejauh mana spiritualitas, moralitas, dan norma-norma etika mampu berperan sebagai dasar pengembangan ilmu itu sendiri. Apakah tata nilai ilmu pengetahuan mampu mengembangkan budaya dan pola pikir manusia sehingga tidak terjebak dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kering yang hanya bersifat fisik semata. Dalam hal inilah pemahaman terhadap filsafat ilmu sangat diperlukan.
1. Pengetahuan
Pengertian pengetahuan secara luas adalah mencakup segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek, terminologi generik yang mencakup segenap cabang pengetahuan seperti seni, moral, dan ilmu. Manusia mendapatkan pengetahuan tersebut lewat berpikir, merasa, dan mengindera. Selain itu juga lewat intuisi dan wahyu.
Secara garis besar, pengetahuan dapat ditinjau dari kegunaannya dan dari sumbernya. Ditinjau dari kegunaannya, ada tiga kategori utama pengetahuan. Ketiga kategori tersebut adalah: (1) etika, yakni pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk; (2) estetika, yakni pengetahuan tentang apa yang indah dan jelek; dan (3) logika, yakni pengetahuan tentang apa yang salah dan benar. Selanjutnya, sumber pengetahuan adalah pikiran, perasaan, indra, intuisi, dan wahyu.
Untuk mengetahui, menyusun, dan memanfaatkan pengetahuan, ada tiga ciri pembeda pengetahuan. Ketiga ciri pembeda tersebut adalah: (1) apa (antologi), (2) bagaimana (epistemologi), dan (3) untuk apa (aksiologi). Ketiga ciri pembeda inilah yang mencirikan hakikat pengetahuan, sekaligus membedakannya dengan jenis-jenis pengetahuan yang lain.
2. Penalaran
Penalaran adalah suatu kegiatan berpikir berdasarkan suatu aturan (logika). Tujuan utama penalaran adalah mengembangkan kemampuan untuk mencirikan dan membedakan buah pikiran berdasarkan konsep pemikiran tertentu. Karena itu, dalam mengembangkan kemampuan penalaran ilmiah, harus dikembangkan konsep kemampuan untuk menguasai konsep hakikat keilmuan dan mempergunakannya untuk membedakan ilmu terhadap cabang-cabang pengetahuan lainnya. Hal ini memungkinkan kita untuk meletakkan ilmu prespektif yang benar di tengah prespektif pengetahuan secara keseluruhan dan kita dapat menganalisis kaitan ilmu dengan pengetahuan lainnya seperti moral dan humaniora. Pendekatan seperti ini akan menghasilkan ilmuwan yang mempunyai keahlian tinggi dan berkepribadian luhur yang mencerminkaan pembentukan manusia seutuhnya secara intelektual, moral, dan sosial.
Berpikir logis merupakan suatu kegiatan berpikir secara teratur berdasarkan logika. Proses berpikir logis tersebut ddisebut sebagai kegiatan analisis. Analisis ini merupakan suatu proses yang harus ditempuh dalam kegiatan berpikir agar kesimpulan yang ditarik sahih ditinjau dari logika tertentu.
Tidak semua kesimpulan ditarik lewat kegiatan analisis, misalnya dalam berpikir intuitif. Kegiatan berpikir secara intuitif mengandung kelemahan, yakni kita tidak bisa menjelaskan alasan mengapa kita bisa sampai kepada kesimpulan tersebut. Kadang kegiatan intuisi mempunyai peranan yang lebih besar daripada kegiatan analisis. Hal itu merupakan salah satu penghambat pengembangan berpikir ilmiah. Kesimpulan ilmiah harus didasarkan pada analisis epistemologi keilmuan dan bukan pada intuisi yang bersifat memintas penalaran.
Perasaan efektif bagi seni dan moral, tidak dapat diandalkan dalam menyusun pengetahuan ilmiah. Perasaan cenderung bersifat subjektif, sedangkan ilmu bersifat objektif. Perasaan memegang peranan dalam kebudayaan. Hal ini merupakan penghambat kedua dalam berpikir keilmuan. Jadi, tidak mungkin mengembangkan ilmu dan teknologi berdasarkan perasaan yang subjektif dan intuisi yang mem-by pass penalaran.
Kemampuan untuk mencirikan dan membedakan hakikat keilmuan harus ditunjang oleh pengembangan subkultur keilmuan. Hal ini merupakan tumpuan pokok untuk mengembangkan ilmu dan teknologi.
3. Ilmu dan Kebenaran
Ilmu merupakan kategori yang ketiga (logika) secara luas. Pengertian logika secara sempit adalah cara berpikir menurut suatu aturan aatau disiplin tertentu. Hal ini karena ilmu dikenal sebagai disiplin pengetahuan yang relatif teratur dan terorganisasikan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Hal itu memungkinkaan kita untuk meramalkan dan mengontrol apa yang akan terjadi. Ilmu membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah pengalaman manusia. Objek penjelajahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancainderanya.
Ilmu menafsirkan realitas objek penelaahan sebagaimana adanya (das sein). Secara metafisik ilmu bersifat bebas nilai. Ilmu secara otonom dapat mempelajari alam sebagaimana adanya. Jadi, antologi keilmuan bersifat bebas nilai.
Secara epistemologis, ilmu memanfaatkan kemampuan pikiran dan indra manusia dalam menjelajah alam. Epistemologi keilmuan merupakan gabungan antara berpikir rasional dan berpikir empiris dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran.
Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah: (1) koherensi, (2) korespondensi, dan (3) pragmatisme. Koherensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri pada kriteria tentang konsistensi suatu argumentasi. Bila ada konsistensi dalam alur berpikir, maka kesimpulan yang ditarik adalah benar. Bila terdapat argumentasi yang tidak bersifat konsistensi, maka kesimpulan yang ditarik aadalah salah.
Argementasi yang konsisten harus koheren untuk disebut benar. Artinya, argumentasi yang konsisten harus terpadu secara utuh (koheren). Demikian juga bila dikaitkan dengan pengetahuan sebelumnya yang dianggap benar. Landasan koherensi ini untuk menyusun pengetahuan yang bersifat sistematis dan konsisten.
Korespondensi merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri pada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan tersebut. Teori ini menghubungkan kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Jadi, teori ini mensyaratkan adanya kesesuaian antara materi yang terkandung dalam pernyataan itu dengan kenyataan sebenarnya.
Sifat salah atau benar dalam teori korespendensi disimpulkan dalam proses pengujian (verifikasi) untuk menentukan sesuai tidaknya suatu pernyataan dengan kenyataan yang sebenarnya. Dalam menyusun pengetahuan yang bersifat rasional, konsisten, dan sistematis, ilmu mengandalkan pikiran dan pancaindera untuk menguji kesesuaian pernyataan dengan kenyataan. Jadi, pengetahuan ilmiah selain bersifat rasional, konsisten, dan sistematis juga teruji kebenarannya, sehingga ilmu pengetahuan dapat diandalkan.
Pada kenyataannya, kebenaran ilmiah tidaklah bersifat mutlak, melainkan bersifat pragmatis. Teori keilmuan dipandang benar pada kurun waktu tertentu, mungkin akan dipandang salah pada kurun waktu lain. Namun, hal itu tidak masalah, sebab dalam menilai kegunaan pengetahuan yang disusunnya, ilmu mendasarkan diri pada kriteria pragmatisme.
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang berfungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Bila suatu teori secara keilmuan mampu menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol suatu gejala alam tertentu, maka secara pragmatis teori itu adalah benar.
Nilai kegunaan pengetahuan didasarkan kepada preferensi teori yang satu dibandingkan dengan teori yang lain. Dunia keilmuan memberikan preferensi kepada teori yang bersifat umum (universal) dibandingkan dengan teori-teori sebelumnya. Bila suatu pengetahuan ilmiah bersifat fungsional dalam kurun waktu tertentu, yang mencerminkan situasi peradaaban manusia waktu itu, maka secara relatif pengetahuan itu benar.
4. Penarikan Kesimpulan yang Sahih
Proses kegiatan keilmuan merupakan serangkaian argumentasi yang membuahkan kesimpulan yang sahih. Pengetahuan ilmiah disebut benar apabila argumentasi yang dikemukakannya sahih ditinjau dari kriteria koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Ilmu merupakan upaya manusia untuk menemukan kebenaran. Untuk itu, ilmuwan harus menguasai dengan benar langkah-langkah dalam menemukan kebenaran tersebut serta perangkat yang memungkinkan penarikan kesimpulan yang sahih. Langkah-langkah dalam menemukan kegemaran ilmiah tersebut disebut metode ilmiah. Perangkat ilmiahnya terdiri dari bahasa, logika, matematika, statistika, dan lain-lain.
Penelitian ilmiah merupakan penjabaran secara utuh dari langkah-langkah yang ditunjang oleh perangkat ilmiah. Penelitian ilmiah mencerminkan kegiatan profesional ilmuwan dalam memproses pengetahuan yang dapat diandalkan. Selain itu sebagai sarana pendidikan yang ditujukan kepada penguasaan langkah dan perangkat keilmuan. Oleh karena itu, kegiatan penelitian ilmiah merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan, baik dalam kegiatan profesional ilmuwan, maupun dalam proses pendidikan. Pengembangan paradigma penelitian ilmiah merupakan landasan bagi kemajuan ilmu dan teknologi.
5. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan langkah-langkah dalam memproses pengetahuan ilmiah dengan menggabungkan cara berpikir rasional dan empiris dengan jalan membangun jembatan penghubung yang berupa pengajuan hipotesis. Hipotesis merupakan kesimpulan yang ditarik secara rasional dalam sebuah kerangka berpikir yang bersifat koheren dengan pengetahuan-pengetahuan ilmiah sebelumnya. Fungsi hipotesis sebagai jawaban sementara terhaap permasalahan yang ditelaah dalam kegiatan ilmiah. Hipotesis merupakan suatu kesimpulan dari suatu proses berpikir dan bukan dugaan yang dikemukakan secara asal-asalan. Penarikan kesimpulan tersebut harus memenuhi persyaratan kriteria kebenaran koherensi yang merupakan tolok ukur kesahihan cara berpikir rasional. Perangkat yang digunakan dalam hal itu disebut logika deduktif.
Logika merupakan alur pikiran dalam sebuah penalaran yang teratur atau prosedur dalam kegiatan berpikir agar kesimpulan yang ditarik bersifat sahih. Logika deduktif merupakan prosedur penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum menjadi pernyataan yang bersifat khusus. Logika deduktif menjamin konsistensi dalam argumentasi yang dipersyaratkan oleh kriteria kebenaran koherensi. Argumentasi ilmiah harus mendasarkan diri pada pengetahuan ilmiah sebelumnya dalam menarik kesimpulan yang berupa hipotesis.
Jadi, pengetahuan ilmiah berfungsi sebagai sumber informasi dalam menyusun kerangka berpikir yang membuahkan hipotesis yang berfungsi sebagai jawaban sementara terhadap pernyataan yang dipermasalahkan. Bila pengetahuan ilmiah dalam argumentasi deduktif tidak berfungsi menyebabkan penguasaan kita terhadap ilmu bersifat dangkal.
Hipotesis secara intuitif dan tanpa argumentasi menyebabkan kesahihan pengetahuan ilmiah diragukan, mematikan kegiatan berpikir analitis, dan memberikan persepsi yang salah terhadap fungsi pengetahuan ilmiah. Pada akhirnya dapat menyebabkan tidak adanya kesesuaian antara pengetahuan ilmiah yang dikuasai dengan sikap dan tindakan dalam kegiatan sehari-hari.
Secara rasional, berbagai hipotesis dapat diajukan sebagai dugaan terhadap permasalahan yang diajukan. Karena itu, bagaimanapun meyakinkannya suatu argumentasi yang disusun dalam menyimpulkan hipotesis, kesimpulan tersebut hanya merupakan salah satu dari sejumlah hipotesis yang mungkin disusun dalam menjawab permasalahan itu. Kesimpulannya hanya bersifat dugaan atau jawaban sementara yang kebenarannya harus diseleksi atau dinilai kembali berdasarkan kriteria tertentu, yakni kriteria korespondensi.
Secara sederhana, hakikat metode ilmiah adalah: “Timbang dengan akal lalu dengan indera”. Sebaliknya, mengamati kenyataan tanpa “konsepsi” yang dibangun pikiran kita tidak akan menghasilkan apa-apa, malah mungkin kita menyimpulkan pernytaan yang tidak-tidak. Metode ilmiah merupakan langkah-langkah yang memporoskan troika: (a) penyusunan kerangka berpikir berdasarkan logika deduktif; (b) pengajuan hiptesis sebagai kesimpulan dari kerangka berpikir tersebut; dan (c) pengujian (verifikasi) hipotesis. Metode ilmiah dikenal sebagai proses logiko-hipotetiko-verifikatif atau dedukto-hipotetiko-verifikatif. Metode ilmiah yang didiskripsikan secara sistematis sangat penting untuk tujuan edukatif.
Langkah-langkah metode ilmiah adalah sebagai berikut.
(1) Perumusan masalah, merupakan pernyataan tentang objek empiris yang mempunyai lingkup/batas permasalahan yang jelas, yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
(2) Penyusunan kerangka berpikir, merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan teoritis antara faktor-faktor yang merupakan permasalahan dengan mempergunakan pengetahuan ilmiah dengan tujuan untuk menyimpulkan hipotesis yang berfungsi sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang diajukan.
(3) Pengajuan hipotesis, merupakan kesimpulan yang ditarik dari kerangka yang telah disusun.
(4) Pengujian hipotesis, merupakan pengumpulan data yang relevan untuk menilai kesesuaian antara materi pernyataan yang terkandung dalam hipotesis dengan kenyataan empiris yang sebenarnya.
(5) Penarikan kesimpulan, menilai apakah kenyataan empiris sesuai atau tidak dengan hipotesis yang diajukan. Jika data mendukung hipotesis, maka pernyataan dalam hipotesis dianggap benar. Sebaliknya, jika data yang dikumpulkan tidak mendukung hipotesis, maka hipotesis tersebut ditolak.
6. Sarana Kegiatan Ilmiah
Ilmu memerlukan seperangkat alat dalam melakukan kegiatannya agar penarikan kesimpulan yang dilakukan dalam memproses pengetahuan ilmiah bersifat sahih dan membuahkan pengetahuan yang akurat serta dapat diandalkan. Sarana kegiatan ilmiah yang harus dikuasai secara memadai adalah: (1) bahasa, (2) logika, (3) matematika, dan (4) statistika.
Proses berpikir ilmiah hakikatnya merupakan kegiatan berpikir analitis agar membuahkan kesimpulan yang sahih dengan mempergunakan logika deduktif atau logika induktif. Logika deduktif, merupakan cara penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum kepada pernyataan yang bersifat khas (khusus). Pengetahuan ilmiah merupakan pernyataan secara umum (universal), sedangkan masalah konkret dalam kehidupan praktis biasanya bersifat khas. Karena itu, logika deduktif diperlukan untuk menerapkan pengatahuan ilmiah tersebut kepada masalah-masalah praktis.
Logika induktif, merupakan cara penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat individual (khas) kepada pernyataan yang bersifat umum. Logika induktif dipergunakan dalam melakukan pengujian terhadap hipotesis. Logika induktif merupakan sarana yang dipergunakan untuk melakukan generalisasi tersebut.
Kekacauan mengenai logika menyebabkan kesimpulan yang ditarik menjadi tidak sahih. Hal ini terutama terjadi dalam proses pengujian sering terjadi kesimpulan mengenai data empiris berdasarkan logika deduktif. Terlihat pada seseorang yang tidak menguasai statistika, penarikan kesimpulan induktif dari data yang dikumpulkan biasanya tidak representatif. Karena itu, pengetahuan statistika sangat diperlukan. Statistika merupakan sarana berpikir ilmiah yang membantu kita untuk melakukan generalisasi secara sahih dari data empiris yang dikumpulkan.
Penarikan kesimpulan deduktif membutuhkan sarana lain, yakni matematika yang merupakan sarana berpikir deduktif yang canggih (sophisticated) dan lebih dapat diandalkan karena ada unsur pengukuran. Lambang matematis berfungsi sebagai sarana komunikasi ilmiah di samping bahasa verbal.
Kemampuan berbahasa merupakan syarat mutlak untuk melakukan kegiatan ilmiah karena bahasa merupakan sarana komunikasi ilmiah yang pokok. Dengan bahasa ilmuwan dapat mengomunikasikan gagasannya kepada pihak lain, menyampaikan informasi serta berargumentasi. Bahasa memang mempunyai beberapa kelemahan karena bahasa mempunyai beberapa fungsi dalam kehidupan manusia.
Ada tiga jenis pesan yang ingin disampaikan dengan bahasa, yakni (a) emosi, (b) sikap, dan (c) pikiran (termasuk penalarannya). Aspek pikiran inilah yang membedakan bahasa manusia dengan binatang. Aspek emosi dan sikap sangat dipengaruhi oleh kebudayaan.
Kemampuan menggunakan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi ilmiah sangat kurang, apalagi dalam komunikasi tulisan. Kekurangmampuan ini juga disebabkan oleh proses pendidikan kita yang kurang memperhatikan aspek penalaran dalam pengajaran bahasa.

Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Hidayat, Asep Ahmad. 2006. Filsafat Bahasa. Mengungkap Hakikat bahasa, makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat: Dari masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Mustasyir, Rizal. 1988. Filsafat Bahasa: Aneka Masalah Arti dan Upaya Pemecahannya. Jakarta: Prima Karya.
Thoyibi, M. 1999. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Preess.

Komentar :

ada 1
Saifuddin Syadiri mengatakan...
pada hari 

ustad bagaimana cara buat blog seperti punya jenengan? saya punya blog tapi gak tahu cara ngatur tata letaknya. Artikel dan Cerpennya amburadul.

Posting Komentar